Lembaran Baru

11.5K 1.3K 323
                                    

Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan dan tahun pun berganti. Tidak banyak berubah dari diri Adit, hanya saja pria itu semakin tak tersentuh dan gila kerja terlebih dirinya kini di angkat menjadi CEO di tempat ia bekerja. Hubungan asmaranya dengan Rani berjalan sesuai keinginannya, mereka sudah bertunangan dan tinggal beberapa minggu lagi dirinya akan menjadi suami wanita yang diimpikannya. Namun entah mengapa, ia selalu merasa akhir-akhir ini keputusan yang di ambilnya salah. Di sudut hatinya yang terdalam ia masih merasa kosong. Pikirannya pun kini di penuhi dengan rencana-rencana untuk mendapatkan restu dari orang tuanya untuk menikah dengan Rani.

Semenjak dirinya membawa Rani ke hadapan orang tuanya, sang Ibu menentang keras hubungannya dengan Rani yang dirinya sendiri tidak tahu alasan apa yang membuat Ibu-nya tidak menyetujui. Namun bukan Adit namanya yang akan menyetujui saja perkataan sang Ibu, Adit justru semakin keras dengan keputusannya. Ia akan menikah dengan Rani meskipun tidak di restui, tapi sebelum pernikahan itu dilaksanakan dia akan selalu mencoba meminta restu dari sang Ibu. Karena bagaimana pun juga dia ingin Ibu nya hadir di pernikahannya menyaksikanya untuk menjadi seorang suami.

"Menikah dengan Tita atau Ibu tidak akan merestui!"

Lagi dan lagi hanya balasan seperti itu yang di berikan sang Ibu. Adit mengusap wajahnya dengan frustrasi, pekerjaannya yang semakin menggila sudah membuat kepalanya ingin meledak dan sekarang di tambah dengan penolakan sang Ibu yang entah ke berapa puluh kalinya. Adit benar-benar merasa lelah dengan semua ini. Sejak Ibu nya mengetahui hubungannya dengan Tita telah berakhir, dan mengetahui alasan kandasnya hubungannya. Ibu-nya begitu marah dan bahkan enggan untuk menemuinya, membuat dirinya bertanya-tanya mengapa sang Ibu bisa seperti itu.

"Kenapa Ibu tidak merestuiku dengan Rani? Apa yang salah dengan Rani? Bukankah Ibu juga tahu asal-usul keluarganya? Lalu mengapa Ibu tidak mengizinkan juga."

Sang Ibu hanya menatap Adit dengan tatapan marahnya, tak ingin kembali membicarakan hal yang membuat amarahnya naik, ia segera berjalan meninggalkan Adit yang tengah menatapnya dengan pandangan sendu.

Helaan napas lelah keluar dari mulut Adit, selalu seperti ini jika dirinya berbicara mengenai pernikahannya dengan Rani. Ibu nya akan meledak-ledak marah dan berakhir tanpa kepastian. Adit melirik jam dipergelangan tangannya, ia harus segera pergi menemui Rani-tunangannya sebelum wanitanya marah dan mendiamkannya. Sejujurnya ia merasa capek dengan sifat Rani yang terkadang egois dan tidak mau peduli. Sifat wanita itu juga terkadang membuat kepalanya sakit, mood swing yang berlebihan membuatnya muak. Puncaknya setelah mereka memutuskan untuk bertunangan lima tahun lalu. Rani semakin posesif, sensitif dan mudah sekali marah. Dan juga wanita itu selalu membesar-besarkan masalah.

Sekertaris baru nya saja sering dirinya ganti dengan alasan dia tidak menyukai sekertaris berjenis kelamin perempuan. Dan yang dirinya lakukan hanya menerima menghindari kemarahan wanitanya. Tiba-tiba saja pikirannya melayang pada nama wanita yang kini menghilang dari kehidupannya. Dia merasa menyesal dan bersalah karena selama berpacaran tidak pernah memerhatikan wanita itu, dia selalu fokus pada dirinya sendiri. Dia bahkan tidak tahu makanan kesukaan Tita, warna kesukaannya dan apa saja hal-hal yang membuat wanita itu suka dan tidak sukai.

Bahkan Tita tidak pernah marah kepadanya, mau dirinya tidak memberi kabar, atau jika dirinya terlambat menemuinya, Tita akan diam dan tidak banyak bicara. Kenapa dia merasakan jika Tita lebih mengerti dirinya dari pada Rani? Ia jadi merindukan celotehan wanita itu, wanita yang entah keberadaannya ada di mana.

_
_
_
_
_

Adit memijit pangkal hidungnya, kepalanya berdenyut sakit mengingat pertengkarannya dengan Rani beberapa saat lalu. Rani---wanitanya kembali mendebatnya perihal pesta pernikahan, dan dia selalu menuduh Ibu nya yang tidak-tidak. Dia jelas kesal dan terpancing emosinya mendengar calon istrinya berbicara yang aneh-aneh mengenai calon mertuanya, yang notabene-nya Ibu nya sendiri. Terlebih Rani kembali mengungkit Tita wanita yang dirinya campakan, wanita yang dia sia-siakan dan sakiti. Ia jadi teringat ucapan Ardan--sahabatnya, mungkin benar yang dikatakan Ardan jika mulut Dara itu kutukan, karena terbukti selama empat tahun ini dirinya tidak merasa bahagia, hatinya masih merasa kosong meskipun Rani berada di sampingnya.

Girlsfriend's best FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang