Sebuah Pernyataan

2.9K 157 2
                                    

Kamu hobi sekali menebar janji, tanpa berniat untuk menepati. Lebih baik tidak usah berjanji jika pada akhirnya hanya akan mengkhianati. Karena mempercayai sebuah janji lebih mudah dibanding menepatinya.

-rinaisendu

Zahra menghela napas pelan, membaca ulang apa yang sudah ia tulis di layar laptopnya. Mengapa akhir-akhir ini tulisannya menjadi serba galau seperti ini. Entahlah, dia juga bingung mengapa ia jadi seperti sekarang. Apa juga gunanya menulis kata-kata puitis seperti itu? Tiada gunanya bukan, tapi hati kecilnya sedikit berharap bahwa orang yang dia maksud membaca tulisan itu. Walau nyatanya itu tidak mungkin.

"Zahra, ada si kasep tuh!" ucap Ummi yang datang tiba-tiba membuat Zahra refleks menutup laptopnya.

"Astagfirullah, Ummi ngagetin aku aja! Kasep siapa, Mi?" Zahra mengernyitkan dahinya bingung.

"Itu lho si kasep yang pernah jemput kamu. Kalau nggak salah namanya Didi atau siapa lah Ummi lupa!" Wanita paruh baya itu menjawab dengan sangat antusias seakan memberi lampu hijau kepada lelaki dengan panggilan kasep itu.

Zahra terdiam sejenak. Apa benar lelaki yang dimaksud Ummi adalah Panji? Tapi, untuk apa dia datang ke rumahnya malam-malam begini? Atau lelaki itu adalah Edy? Ah, sudahlah Zahra sedang malas menerka-nerka yang tidak pasti.

"Eh, si budak malah ngalamun didiye!" suara Ummi membuyarkan lamunan Zahra.

"Aku pake kaos kaki sama handschock dulu. Abis itu nanti aku turun ke bawah,"  jawab Zahra sambil tersenyum tipis.

"Yaudah, Ummi tunggu di bawah ya! GPL!" sahut Ummi memperingatkan lalu keluar dari kamar Zahra.

Zahra langsung buru-buru memakai kaos kaki serta handschock dan tak lupa ia mengganti celana tidurnya dengan rok.

------

Zahra mendengar sayup-sayup orang sedang mengobrol sambil sesekali tertawa pelan. Di lima anak tangga terakhir, langkah kakinya menjadi ragu untuk kembali melangkah lagi. Rasanya dia ingin mundur dan berbalik arah menuju kamarnya. Tapi, rencananya itu harus kandas sebelum ia lakukan karena Ummi memanggilnya.

Gadis bermata hazel itu melangkah ragu-ragu mendekati malaikat tak bersayapnya itu. Dia melihat ada seseorang lelaki sedang duduk membelakangi dirinya, jadi ia tidak bisa melihat dengan jelas wajah lelaki itu. Zahra masih pada posisi berdirinya, dia enggan untuk duduk.

"Zahra, ternyata nama si kasep ini, Edy!" ujar Ummi memberitahu yang membuat Zahra membulatkan matanya saat lelaki itu menoleh dan menatap dirinya sambil tersenyum menyeringai.

"Yaudah, Ummi tinggal dulu ya! Anggap aja rumah sendiri ya, Dy!" ucap Ummi sebelum meninggalkan kedua insan itu dalam kecanggungan.

Zahra tidak mau berlama-lama dalam posisi seperti ini. Dia tidak mau semakin berdosa karena berduaan dengan yang mahramnya. Tapi, setelah menunggu hampir beberapa menit Edy masih enggan bersuara. Gadis berkerudung maroon itu memutuskan untuk memulai pembicaraan.

"Kamu mau apa malam-malam datang ke rumah saya?" tanya Zahra to the points tanpa basa-basi lagi.

"Gue mau meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di antara kita. Tapi, sebelumnya boleh minta betadine sama kasa?" Edy menjawab sembari menahan nyeri akibat luka di telapak tangannya.

Zahra mengernyit tak mengerti. "Betadine dan kasa untuk apa?"

"Untuk mengobati luka di hati gue, bisa nggak?" Edy menatap Zahra dengan tatapan yang sulit diartikan yang membuat gadis itu diam seribu bahasa. Menyadari hal itu Edy langsung tertawa hambar untuk menghilangkan kecanggungan yang tercipta di antara mereka.

"Gue bercanda! Untuk ngobatin luka di sini," ujar Edy seraya menunjukkan telapak tangannya yang terluka kepada Zahra. Dalam hati ia berharap bahwa gadis itu akan mengobati lukanya, tapi sepertinya itu sekedar ekspetasi nan mustahil jadi pasti.

"Astagfirullah, itu tangan kamu kenapa? Bentar saya ambilkan betadine dan kasa." Zahra spontan berjalan dengan cepat menuju dapur untuk mengambil betadine dan kasa, dia sangat panik melihat luka di telapak tangan Edy. Tunggu dulu, mengapa dia harus panik begini? Memangnya siapa lelaki itu? Ah sudahlah, dibanding memikirkan itu lebih baik sekarang dia kembali ke ruang tamu dan segera mengobati luka Edy.

Zahra langsung duduk di sebelah Edy, tidak terlalu dekat masih sedikit berjarak. Lalu, dia menyodorkan kasa yang sudah dibasahi oleh air kepada Edy.

"Bersihin dulu luka kamu pake kasa itu," ucap Zahra pelan namun terdengar sekali nada memerintahnya. Edy hanya menurut dan mengikuti perintah Zahra tanpa membantahnya sedikitpun.

Zahra memerhatikan bagaimana Edy membersihkan lukanya. Melihatnya saja Zahra jadi ngilu sendiri. Dia jadi penasaran mengapa lelaki itu bisa terluka sedalam dan separah itu?

"Tangan kamu." Zahra memberi aba-aba agar Edy menyodorkan tangannya yang terluka. Lelaki itu segera menyodorkan telapak tangannya yang terluka. Jangan salah paham dulu, Zahra tidak menyentuh tangan Edy sedikitpun. Dia hanya meneteskan betadine ke luka Edy, lalu membantu lelaki itu untuk membalutkan kasa di telapak tangannya, tanpa bersentuhan sedikitpun.

"Pasti Lo mau nanya tangan gue kenapa," tebakan Edy sangat tepat dan tidak meleset sedikitpun. Seolah lelaki itu bisa membaca pikiran Zahra.

Zahra hanya terdiam dan tak menjawab seakan membenarkan tebakan Edy barusan.

"Oke, mungkin lo nggak penasaran, tapi gue tetep kasih tau—"

"Apa tujuan kamu datang ke sini?" Zahra  memotong ucapan Edy. Dia merasa risih berlama-lama dengan situasi seperti ini; berduaan dengan yang bukan mahram.

Edy mendengus keras lantas tersenyum kecut. "Lo nyuruh gue bertanggung jawab untuk apa?"

"Bukannya kamu yang lebih paham bertanggung jawab untuk apa?" Zahra malah balik bertanya dengan nada yang terdengar sarkastik.

"Lo denger obrolan gue dan Qilla tadi pagi?" tebak Edy menatap Zahra penuh selidik yang mampu membuat Zahra lagi-lagi tak berkutik. "Diamnya lo sebagai jawaban!" lanjutnya seraya mendengus keras.

"Ya, jadi hal apa yang sebenarnya ingin kamu jelaskan? Langsung ke intinya saja, tidak usah bertele-betele. Sebab, ini sudah malam dan takut menimbulkan fitnah." Suara Zahra terdengar pelan namun tegas.

"Bukan gue yang menghamili Qilla," ucap Edy singkat, padat, dan jelas. Lelaki itu benar-benar langsung berbicara ke intinya. Sebab, dia tak mau membuang-buang waktu lagi.

Zahra tersenyum getir. "Lalu, untuk apa kamu memberi tahu hal itu kepada saya? Memangnya saya siapa kamu?"

TBC.

Penasaran? Yuk baca kelanjutan ceritanya!:)

Cinta Suci Zahra✓Where stories live. Discover now