Mencintai Tapi Tak Dicintai

1.6K 108 18
                                    

Lebih menyakitkan ketika kita mencintai seseorang yang tidak ingin dicintai. Tapi, bukankah cinta itu memberi tanpa balas?

-Zahra-

*****

"Zahra, menurut lo lebih menyakitkan mana? Memperjuangkan seseorang yang enggan untuk diperjuangkan atau mencintai seseorang yang tak ingin dicintai?" pertanyaan Edy membuat Zahra terdiam seribu bahasa.

"Dua-duanya sama-sama menyakitkan. Begini saja deh, untuk apa memperjuangkan seseorang yang enggan diperjuangkan? Lalu, untuk apa mencintai seseorang yang tak ingin dicintai? Bukankah, jika diteruskan hanya akan membuat sakit hati?" jawaban Zahra sukses membuat Edy terdiam.

Edy terdiam bukan karena tak mampu membalas perkataan Zahra. Lelaki itu berpikir jika selama ini dia terlalu bodoh untuk memperjuangkan Zahra yang bahkan tak perduli dengan perjuangannya. Gadis itu bahkan tak ingin dicintai sama sekali. Edy memikirkan kata-kata apa yang pas untuk membalas pernyataan gadis itu.

"Bukannya, kita nggak bisa milih mau jatuh cinta sama siapa?" tanya Edy sarkastis.

"Kita emang nggak bisa milih mau jatuh cinta sama siapa, tapi kita bisa milih siapa yang pantas buat kita perjuangin. Kalo misalnya kamu perjuangin dia yang nggak cinta sama kamu, ibarat mengenggam air, sampai kapanpun kita nggak akan pernah bisa mengenggam air. Jadi, seharusnya kita perjuangin seseorang yang sedia berjuang bersama kita, jangan malah boro-boro cinta, peduli aja nggak. Intinya, kita perlu sadar diri." Zahra selalu mampu membuat lawan bicaranya bungkam karena ucapannya.

Edy tahu benar ucapan Zahra seakan menyindir dirinya agar cepat sadar diri. Andai saja gadis itu tahu, bahwa mengikhlaskan itu sangatlah berat. Melupakan itu tidak semudah jatuh cinta. Lelaki berjambul itu menatap Zahra yang sedang mengalihkan pandangannya ke arah lain. Gadis yang sangat sempurna seperti Zahra memang tidak pantas untuk dirinya.

"Memangnya gue nggak pantas ya buat dicintai atau mencintai seseorang?" suara Edy terdengar sendu.

Zahra yang menyadari perubahan suara Edy mulai mencari kata-kata yang pas agar tidak melukai lelaki itu.

"Kamu pantas kok buat dicintai atau mencintai seseorang. Hanya saja terkadang di saat kita mencintai seseorang, kita tak boleh berharap untuk dicintai kembali. Kata pepatah, di saat kita mencintai di situ kita akan belajar untuk mengikhlaskan. Kenapa begitu? Karena cinta itu tak melulu soal memiliki, sebab seharusnya kamu bahagia bisa merasakan jatuh cinta. Banyak orang di luar sana yang tak pernah merasa dicintai ataupun mencintai seseorang.

"Karena dalam hidup kita tidak ditakdirkan untuk dicintai semua orang. Yang benci, ya biarin aja. Benci dengan alasan mereka masing-masing. Yang penting kita harus tetap menebar kebaikan. Terus menebarkan cinta, tanpa harus takut dikucilkan ataupun ditinggalkan." Zahra menjawab dengan sangat bijak.

"Ya, nggak adil dong kalo kayak gitu caranya!" protes Edy tak terima.

"Adil-adil aja sih. Nabi Muhammad aja yang akhlaknya luar biasa sempurna, masih banyak yang nggak suka. Apalagi kita yang cuma manusia biasa, Dy." Zahra mengambil napas sejenak. "Nabi Muhammad banyak dicintai, tapi tak sedikit yang mencaci. Banyak yang merindukan, namun banyak juga yang menjelekkan sampai mengucilkan. Kesimpulannya, hidup memang begitu. Ada hitam ada putih. Ada gelap ada terang. Ada benci berati ada juga cinta. Yang terpenting kita tetap menebar cinta sampai mampu merubah dunia."

Edy tersenyum tipis mendengar penuturan dari Zahra yang amat bijak. Dia sampai tak tahu lagi harus merespon bagaimana, gadis di hadapannya ini benar-benar bagai bidadari tak bersayap yang dikirimkan Tuhan untuk dirinya. Tak hanya memiliki wajah yang cantik namun hatinya juga sangat baik.

Zahra melirik jam berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Saya duluan ya, masih banyak urusan yang harus diselesaikan. Tetap semangat! Karena masih banyak orang yang mencintai kamu, assalamualaikum," ucap Zahra sebelum berlalu pergi.

"Waalaikumussalam," jawab Edy seraya menatap punggung Zahra yang lamban laun menjauh.

-----

Letta menunggu di depan gerbang seraya mengecek ponselnya berulang kali. Tadi abangnya berjanji untuk menjemputnya, tapi sampai sekarang lelaki itu belum menunjukkan batang hidungnya. Gadis berambut pendek sebahu itu mulai kesal.

"Abang mana sih? Katanya dia mau jemput gue, awas aja kalo dia dateng ya!" gerutu Letta kesal.

"Letta, kamu lagi nunggu jemputan ya?" tanya Zahra yang datang tiba-tiba.

Letta mengangguk sambil memanyunkan bibirnya sebal. "Iya, gue lagi nunggu abang gue jemput nih. Tapi, belom dateng juga dari tadi, sampe jamuran gue nunggu di sini!"

"Yaudah saya tungguin deh ya, sampe abang kamu dateng," sahut Zahra sambil tersenyum menatap Letta.

"Boleh deh!" Letta mengangguk setuju. "Eh, btw nih ya, lo bisa nggak sih bicaranya santai aja kalo sama gue? Nggak usah terlalu formal kayak gitulah! Pake 'gue-elo' aja biar lebih enak gitu," lanjutnya lagi.

"Saya sudah terbiasa begini, menurut saya ini udah santai kok. Jika kamu merasa ini formal, beginilah apa adanya saya," balas Zahra dengan nada yang terdengar dingin.

"Oke, oke selow aja dong, mbaknya." Letta tertawa pelan untuk mencairkan suasana. "Eh, gue mau nanya deh sama lo. Sebenernya lo sama Edy beneran nggak ada hubungan apapun? Maksud gue—"

"Saya sama dia cuma temen," sergah Zahra cepat.

Letta mendengus sebal. "Motong omongan orang itu nggak sopan tau!"

"Maaf." Zahra meminta maaf karena menyadari bahwa dirinya salah.

"Eh, Zahra emang lo beneran nggak ada rasa sedikitpun sama Edy?" pertanyaan Letta membuat Zahra terdiam membisu.

Tbc.

Assalamualaikum, alhamdulillah akhirnya bisa updet lagi:)) Terimakasih untuk kesetian kalian menunggu cerita ini:") Tanpa kalian Cinta Suci Zahra bukan apa-apa:"

Bagaimana part ini? Masihkah ada yang kepo dengan kelanjutan ceritanya? Jangan lupa vote dan komen ya:))

Jazakumullah Khairon, see you💕

Cinta Suci Zahra✓Where stories live. Discover now