Pesan

12 2 0
                                    

Sebuah cerita lahir dari tiga orang Veteran dan seorang Pemuda.

Latar tidaklah mewah saat itu, hanya sebuah ruangan berwarna putih dan bangku yang berisikan tiga orang ini. Berhadapan dengan mereka secara lansung dan tanpa tujuan memang meresahkan. Dua orang veteran ini sudah tua dengan seragam tentara Indonesia jaman dulu, sementara satu orang ini sangatlah asing. Beranggapan bahwa yang duduk di tengah adalah seorang tentara jepang.

Mengherankan tetapi unik. Mereka bisa akrab walaupun bermusuhan. Kebingungan ini semakin memuncak ketika mereka berbincang – bincang tentang hal yang tak kuketahui. Hingga, seorang veteran yang duduk di sebelah kanan menatapku. Raut wajahnya tergambar jelas, disusul dengan yang lainnya. Keriput dengan mata seakan memelas karena sudah dimakan umur.

Ia tersenyum, dan aku hanya menatapnya dengan berbagai pertanyaan memutari kepalaku. Aku tidak mengetahui nama beliau beserta temannya, apa yang kulakukan disini? Kenapa aku bisa di sini? Siapa mereka?

Tiba – tiba veteran itu mengeluarkan sebuah surat berwarna putih, lalu memberikannya kepadaku. Raut wajahku masih belum berubah saat menatapnya, masih dipenuhi oleh kebingungan.

“Dik, tolong antarkan surat ini…,” ucapnya dengan lembut.

Aku bukanlah pengantar surat atau barang, tapi aku menerimanya sambil tersenyum. Aku memperhatikan surat tersebut hanyalah putih yang sedikit kusam. Tidak ada tulisan dan keterangan di amplopnya yang mengharuskan aku mengantarnya ke mana.

Dengan ragu aku bertanya sesopan mungkin, “Maaf, surat apa ini?”

Mereka semua tersenyum. Seorang veteran yang duduk di sebelah kiri menjawab, “Surat Proklamasi.”

Terkejut bukan main saat aku mengetahui surat apa ini. Surat Proklamasi? Apakah ini teks yang sama dengan yang selama ini aku ketahui? Untuk apa surat ini diantarkan?

Bukankah kita sudah merdeka?

Apakah aku kembali ke masa lampau?

Tahun 1945?

Pertanyaan – pertanyaan itu memutari kepalaku hingga orang yang duduk di tengah-yang aku pikir bahwa dia orang jepang karena ciri – cirinya-berkata, “Antarkan kepada mereka… kalian berhak merdeka.”

Diam dan membeku. Perkatannya seakan menusukku perlahan karena dia sangat baik memberikan kami-Indonesia-sebuah ‘Kemerdekaan’. Apa yang ia lakukan? Bukankah itu akan membuat kerugian yang amat besar untuk negaranya?

Mengapa ia memberikan kemerdekaan itu dengan mudah?

Namun, masih menjadi pertanyaan kepada siapa aku harus mengantarkannya. Sang Proklamator kami? Tapi dia sudah tidak ada.  Tanpa basa – basi aku mengumpulkan niat mencari ‘Bapak Proklamator’ untuk membaca surat ini-walaupun aku tidak mempunyai petunjuk harus kuantar ke mana.

Di tengah perjalanan mencari ‘Bapak Proklamator’, seorang pemuda berdiri seperti menunggu sesuatu. Pemuda itu melihatku dan menghadangku, aku langsung berhenti dan menatapnya.

Tatapannya kosong dengan wajah datanya, aku sedikit takut awalnya. Perasaan buruk muncul di benakku mengenai pemuda yang menenteng tas di punggungnya dengan satu tangan.

“Apakah kau pengantar surat?” tanyanya.

Tentu saja aku menjawab “Tidak.”, karena aku hanyalah gadis yang kebetulan diberi kepercayaan untuk mengantarkan surat ini.

Pemuda itu terdiam lalu bertanya, “Lalu, surat apa itu?”

“Proklamasi.”

Ia tak ber-reaksi apapun saat mendengarnya. Ajaibnya, ketakutanku menghilang secara perlahan dan menganggap kalau pemuda ini adalah orang yang baik.

“Dari mereka ya?”

Aku tidak mengeti maksudnya, “Tiga orang tua itu?”

“Ya, kau tahu mereka?”

Aku menggelengkan kepalaku. Bagaimana aku bisa tahu, aku bahkan masih bertanya-tanya mereka itu siapa dan mengapa teks proklamasi ini bisa di tangan mereka.

Ia tersenyum, “Mereka Veteran.”

Dugaanku benar bahwa mereka adalah Veteran Perang. Tetapi, mengapa ada orang Jepang di antara mereka? Dan, bagaimana pemuda ini tahu? Apakah ia mengenal mereka?

“Apakah anda mengenal mereka?” tanyaku.

“Ya, hanya teman lama.”

Teman lama? Bagaimana bisa? Mereka sudah tua sementara dia kelihatan masih muda. Tetapi, aku tidak akan memperpanjang masalah itu.

“Bisakah aku menitipkan pesan juga?” pintanya.

Aku tidak yakin akan hal itu jika dia menitipkan pesannya dalam bentuk lisan. Karena, aku bukanlah orang yang memiliki ingatan yang bagus. Pemuda ini memakai kaos dan celana tentara sambil menenteng tas menatapku dengan penuh harapan. Mata itu, aku tak bisa menolaknya.

“Bisa, pesan apa?”

Akhirnya aku melihat senyumannnya.

“Terima kasih, pesanku hanya… bisakah kau mencari makamku? Jika menemukannya aku akan sangat berterima kasih karena kamu telah berkunjung.”

====================

Pesan

By : Kiddo (Nabila Ramadhani)

Thanks for reading!

====================

Around usWhere stories live. Discover now