Nem

5 1 0
                                    

Saat itu adik sedang pergi ke sekolah bersama ibu. Dia sangat antusias, itu adalah hari di mana nem diumumkan. Kami semua tentu menunggu hasil. Aku yakin, sangat yakin dengan perjuangan dia,–yang bisa aku saksikan sendiri–dia bisa mendapatkan nem yang bagus. Sangat bagus melebihiku.

Sekitar jam 9 pagi mereka akhirnya tiba lagi di rumah. Dengan bangga–dan jarang–aku menyambut dia. Wajahnya sangat berseri-seri. Aku yakin dia membawa berita sangat bagus mengenai nemnya.

"Mbak, tebak, nem adek berapa?" tanyanya sambil tersenyum.

"28?" jawabku.

"Salah."

Wah, pasti lebih dari ini.

"30?"

"Salah."

Aku semakin yakin.

"35?"

"Salah."

Dan aku bingung.

"Mau tau gak dapat berapa?" tanyanya.

"Berapa?"

"23! Sama kayak mbak!"

Di situ, aku diam sejenak tidak tahu mau respon bagaimana. Yang aku pikrikan hanyalah bagaimana dia sudah mati-matian belajar, les sana-sini bahkan ia rajin sholat dan mengaji, dapat nem 23? Dan itu adalah nemku dulu.

"Hehehe... Lumayan kan? Ya lumayan lah gak papa... Ini salah adek juga gak bener mungkin ngerjainnya," lanjutnya.

Entah, rasa apa ketika mendengar ucapannya. Ia sepertinya mencoba menghibur dirinya yang kecewa dengan hasilnya, namun mengakui itu juga salahnya. Aku dulu sempat merasakan apa yang ia rasakan. Tapi, dia tetap percaya diri, itu yang aku salut. Mau terus berusaha.

Aku tersenyum dan mengajaknya masuk. "Woh gak papa... Masih ada SMP sama SMA... Lebih semangat lagi ya? Dah pengalaman intinya... Nanti kita makan starbucks ya?"

"Adek mau croissant!"

"Iya, mbak beliin...."

Around usWhere stories live. Discover now