Bunga yang Mekar

52.5K 1.8K 593
                                    

Sudah dua minggu setelah kepulangan Keira kembali ke Magelang bersama Yuka dan Gunawan, kini Gadis itu tengah duduk dimeja makan bersama orangtuanya.

"Bagaimana rencana pembukaan praktek mu?" Tanya Gunawan sambil membersihkan sisa makanan dimulutnya dengan tissu, "atau kita masukkan kamu ke rumah sakit tentara Dr. Sudjono itu saja?"

Keira sembari menangkupkan sendok dan garpu langsung memasang wajah memelas, "buka praktek aja dong, pa.. Ya? Aku nggak mau terikat ke rumah sakit dulu. Maksudnya...ya buka praktek aja dulu. Kan aku butuh urus izin ini itu, yaaaa seenggaknya aku butuh waktu Pa, sebelum papa masukin ke rumah sakit itu. Kita urus izin buka praktek aja dulu."

"Kei, bukannya lebih mudah dapat izin kalau kamu udah punya pengalaman kerja?" tanya Yuka, "Mama sih milih kamu kerja di Rst, untuk masuk mungkin Papa bisa ngomong ke Direktur rumah sakitnya kan, iya kan Pa?"

Gunawan mengangguk.

Keira pasrah, apa yang dikatakan Yuka benar. Lagipula kerja Dokter Gigi nampaknya tak serumit dokter umum, Keira membayangkan harus menjadi dokter jaga yang kebingungan setiap malam. Namun Yuka menyanggahnya dengan tertawa, mengatakan bahwa dokter jaga tidak ada yang berasal dari dokter gigi. Yuka meyakinkan bahwa Keira hanya bekerja untuk Poli Gigi.

Keira mengangkat piring-piring ke tempat cuci, lalu menutup hidangan yang masih ada dengan tutup saji. Setelahnya, gadis itu naik ke atas dan masuk ke kamarnya.

Foto Damara dan dia mendomisili isi kamar, dimana saat di kost memang foto itu juga mengisi seluruh kamarnya.

Keira berjalan menuju kalender, sudah 14 hari yang disilangi olehnya. Artinya, semakin dekat dengan waktu kepulangan Damara. Hatinya seakan terasa ngilu. Ia begitu bingung dengan apa yang dirasakanny saat ini. Entah karena rindu yang terlalu membuncah atau kesal karena tak kunjung diberi kabar. 

Keira mencari ponselnya, mengetikkan nama Brama dan mencoba menghubunginya. Cukup lama nada sambung terdengar, lalu digantikan oleh suara operator karena telefon tidak diangkat. Disini pukul 7 malam maka ditempat Brama masih menjelang siang, artinya pria itu tengah kerja.

Keira mengetikkan satu nama lagi, Baby. Agak menggelikan mengingat wajah Damara dengan nama seimut itu di kontak Keira. Tapi, itu menjadi suatu kesenangan sendiri bagi Keira.

Setelah menekan tombol call, keira harus menelan ludah karena nomor yang dihubungi sedang tidak aktif. Ia mencoba hingga berkali - kali sampai akhirnya terhubung. Benar - benar terhubung, suara nada sambung itu berganti suara Damara. Keira sempat menjauhkan ponselnya sesaat.

"Assalamualaikum, Keira..."

....

"Kei..."

""Waalaikumsalam, Bang Damara. Apa kabar? Keira rindu banget bang. Abang kemana aja sih? Abang gak rindu Keira?"

Terdengar suara tawa renyah Damara.

"Kei abang sibuk banget. Kemarin bisa nelfon eh hp kamu sibuk. Oh iya, abang lupa bilang. Hp abang rusak keii..keinjek kaki abang sendiri, bodoh banget abang"

"Ha? Kok bisa, ceroboh banget sih abang. Bang? Abang jadi pulang kan dua minggu lagi? Keira beneran rindu bang."

"Insyaallah ya sayang, abang juga nunggu perintah. Bisa aja nambah waktu tapi semoga enggak. Kamu kira cuma kamu yang rindu? Aduh Keira abang hampir mati nahan rindu ke kamu. Oh iya, gimana? Rencana setelah ini kamu akan buka praktek atau kerja di rumah sakit?"

DAMARAWhere stories live. Discover now