5+ADIK KELAS

1.3K 36 2
                                    

Matahari tampaknya sangat bergembira untuk sekedar menyapa bumi. Cahayanya yang menyilaukan membuat hati siapa saja bergembira. Aldo baru saja hendak meletakkan helmnya, sebuah getaran dari hp mengalihkan dunianya.

Saat melihat siapa pengirim pesan membuat harapannya pupus. Ia mengira pesan tersebut dari gadis yang berhasil menghancurkan hari-harinya ternyata bukan.

"Huft..." Aldo menghela napas lesuh. Kembali ia menyimpan hpnya di dalam saku celana. Langkah kakinya menuju lapangan sekolah yang tak jauh jaraknya dari parkiran sekolah. Lantai berwarna hijau itu dihiasi dengan dua ring basket di pinggir lapangan. Banyaknya tanaman hijau menambah kesejukan sekolah. Tak jauh ia melihat sosok gadis berbadan mungil berjalan bersama teman-temannya.

Seketika sakit itu kembali menyerang hatinya. Apalagi ketika tak sengaja ia melihat gadis itu tersenyum. Hampir saja dirinya terbuai dengan senyuman gadis itu kalau saja ia lupa gadis itu sudah dimiliki oleh orang lain.

"Nggak! Aku harus lupain dia!" gumam Aldo menyakinkan dirinya.

"Ngapai kau geleng-geleng kepala?" Aldo terkejut saat kemunculan suara seseorang yang sudah berdiri di sampingnya.

"Ah? Bikin kaget orang aja," ujar Aldo seraya mengelus dadanya yang rata.

"Habis kaunya gila! Geleng-geleng kepala, kek orang ikut konser dangdut!" ejek Dina. Aldo menghiraukan ejekan bendahara kelasnya itu dan melanjutkan langkahnya menuju kelas.

"Dasar aneh!" gumam Dina memandangi punggung ketua kelasnya yang sudah pergi duluan.

Saat sudah di dalam kelas terbarunya, Aldo langsung disambut dengan aroma yang sangat memabukkan bagi siapa saja yang tak sengaja menciumnya. Dengan sigap lelaki itu menutup hidungnya.

Mungkin sudah ada sekitar lima bulan mereka menepati kelas baru membuat radar indera penciuman mereka berkurang. Sepertinya hidung mereka sudah beradaptasi dengan lingkungan beraroma aneh tersebut. Buktinya saja sebagian besar murid XI MIPA 7 dapat bertahan lama di dalam kelas tanpa menyadari kehadiran aroma aneh tersebut.

"Din! Woy! Beli pewangi ruangan kek! Bau kali nih kelasnya!" Teriak Julang saat melihat Dina yang baru saja masuk kelas.

"Ya! Yang penting kau bayar uang kas aja!" sahut Dina. Julang yang mendengar sindiran bendahara kelasnya itu hanya menyengir kuda.

"Enak banget tuh cocot kalau ngomong! Bayar uang kas aja nunggak-nunggak!" omel Dina.

"Sabar ya Din," ucap Ani yang mendengar omelan Dina.

"Sabar kali pun aku, Ani." Dina sudah menjabat sebagai bendahara kelas selama dua priode. Dari kelas X sampai kelas XI. Sebenarnya dahulu ia pernah bercita-cita hendak menjadi sekretaris kelas tapi apalah nasib wali kelasnya memilih Dina sebagai bendahara karena pada saat itu tidak ada yang ingin menjadi bendahara kelas.

Dengan berat hati Dina menerima jabatan tersebut. Saat di kelas XI Dina sudah ingin mengundurkan diri tetapi balik lagi seperti masalah sewaktu kelas X tidak ada satu pun teman Dina yang ingin menjadi bendahara kelas. Memang nasib badan. Dina bukan seperti bendahara yang kebanyakan di cerita wattpad. Dia bukanlah tipe bendahara yang sangar, suka marah-marah, ditakuti oleh warga kelasnya, bahkan dikategorikan gadis yang pemalu. Jadi bayangkan kalau dirinya menjabat sebagai seorang bendahara kelas.

"Aku pikir dulu aku bakalan jadi sekretaris kelas kayak di wattpad yang aku baca, tapi nyatanya jadi bendahara kelas," keluh Dina.

Dina kesal dan sebenarnya tidak menerima semua ini. Namun setidaknya namanya terkenal di kalangan sekolah. Meski dirinya bukan termasuk the most wanted di sekolahnya.

"Din?! Aku nanti izin ya," ucap Aldo yang berdiri di depan meja Dina.

"Kenapa lagi kau izin? Izin apa dulu nih? Aku nggak mau ya kalau kau izin ke kantin. Nanti kek mana aku bilang sama Ibu?"

Bukannya Dina tak mau memberi izin tetapi hampir semua temannya memiliki kewarasan di bawah rata-rata. Pernah sekali temannya meminta izin untuk pergi ke kantin. Saat diabsen oleh guru Dina bingung harus menjelaskan apa.

"Enggak, aku serius! Aku izin ekskul PBB," ucap Aldo menyakinkan.

Lelaki itu memiliki kegiatan ekskul yang terbilang cocok untuk dirinya. Bagaimana tidak tinggi tubuhnya yang hampir dua meter begitu sayang jika tidak dimanfaatkan ke kegiatan yang baik. Meski harus berjemur di bawah sinar matahari tetapi lelaki itu memiliki fisik yang kuat.

"Oh... ya udah," jawab Dina cuek. Ketua kelas itu pun pergi meninggalkan kelasnya dan memberi tanggungjawab kelas kepada wakil kelasnya, yaitu Filipus.

Filipus adalah salah satu anak PADUS yang sudah terkenal seantoro sekolah. Siapa yang tidak mengenal lelaki yang memiliki banyak bakat dalam dunia musik. Suara yang merdu dan dapat memainkan segala jenis alat musik.

Aldo sudah berada di basecamp tempat anggota ekskul berkumpul. Belum ada seorang pun yang datang. Baru dirinya seorang disusul oleh Wira yang baru saja datang.

"Cepat kali kau," ucap Wira berbasa-basi.

"Nggak biasa aja," sahut Aldo cuek.

"Itu sih Nana kemarin ada nanya kau," cerita Wira yang sepertinya tidak menarik bagi Aldo. Tampak dari raut wajahnya.

"Jadi aku nanya balik ke dia ada apa rupanya? Biar aku sampaikan ke kau," lanjut Wira. Masih sama Aldo enggan mendengarkan. "Malahan dia bilang nggak jadi. Kan aneh," sambungnya.

"Eh Kak Aldo udah di sini." Orang yang barusan mereka ceritakan nongol dan membuat Wira diam.

Aldo menoleh sebentar ke arah gadis yang bernama Nana itu lalu memalingkan pandangannya ke arah pintu yang belum dibuka.

"Kak Aldo udah lama?" tanya Nana yang sekarang sudah berdiri di samping Aldo.

"Lama banget Kak Jansen datangnya!" ucap Aldo.

Nana yang merasa terabaikan langsung memberengut. Mulutnya yang mungil dimanyunkan ke depan seperti corong bebek. Wira yang kebetulan berdiri di sampingnya menggoda gadis itu.

"Minta dicium ya bibirnya?" dengan cepat Nana mengembalikan bentuk bibirnya semula.

"Maaf ya Adik-Adik sudah menunggu lama!" orang yang mereka tunggu datang membawa kunci dengan berlari-lari. Tampaknya lelaki itu masih kecapean setelah berlari terlihat dari deru napasnya yang tidak beraturan.

"Cepetan dikit dong Kak! Kasihan Kak Aldo udah kecapean," keluh Nana dengan nada yang manja.

"Iya-iya! Bawel amat sih nih anak orang!" Jansen segera membuka pintu basecamp. Saat sudah berada di dalam tanpa basa-basi Kakak Pembina mereka itu langsung mengutarakan maksud dan tujuan mereka dikumpulkan.

"Jadi bagaimana? Sudah mengerti?" Semua anggota mengangguk serempak.

"Kalau begitu sampai di sini saja pertemuan kita, Saya sudahi. Selamat pagi!"

"Pagi!" semua anggota PBB keluar dari dalam ruangan. Aldo yang sudah bersiap-siap ingin kembali ke kelasnya tertahan langkahnya karena suara seseorang.

"Kak Aldo tunggu!" Aldo menghela napas saat tau siapa pemilik suara tersebut. "Kita bareng ya ke kelasnya?" pintah Nana yang hanya dijawab dengan keterdiaman Aldo.

Nana tau sebenarnya lelaki itu enggan berjalan bersamanya namun ia tetap berusaha agar Kakak kelasnya itu menghargai perjuangannya. Gadis itu berjalan tepat di sebelah Aldo meski tetap ada jarak di antara mereka.

"Nih anak ngapai sih ngikuti," gumam Aldo kesal.

Mereka sudah berada di depan kelas Aldo. Dua ruang kelas dari kelas Aldo adalah ruang kelas Nana.

"Semangat ya Kak belajarnya!" ucap Nana sebelum akhirnya gadis itu pergi.

Tok... Tok... Tok...

Aldo mengetuk pintu sebelum akhirnya masuk ke dalam kelas atas seizin Pak Retno. Kali ini pria itu menjelaskan materi di depan kelas tanpa menyuruh murid XI MIPA 7.

"Cie... sapa tuh tadi? Ada yang baru ya?" Baru saja Aldo mendudukan diri. Kini temannya, Julang sudah melontarkan pertanyaan kepadanya.

"Apaan sih?" melihat temannya cuek membuat Julang semakin gencar bertanya.

"Yang kemarin dikemanai?"

"Yang kemarin udah ada pacarnya," jawab Aldo singkat.

Julang yang mendengarnya langsung bungkam. Dirinya tak berani untuk bertanya lebih apalagi ketika tau suasana hati ketua kelasnya itu.

Bendahara dan Ketua Kelas TB [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang