VIII. LET'S CELEBRATE

3.7K 758 120
                                    

LET'S CELEBRATE.


Aku membuka pintu kamarku dan langsung mendapati Rosie sedang serius berkutat dengan buku sketsa dan pensil mekanik milikku.

Aku menaikkan salah satu alisku ketika melihat wajah seriusnya kini memunculkan kerutan-kerutan di bagian dahi. Bibir merahnya pun cemberut saat ia memperhatikan hasil gambar di buku sketsa yang sedang ia pegang. Telingaku lalu mendengar decakan halus dari lidahnya sebelum ia kembali menggoreskan pensil mekanikku ke atas buku sketsa.

Ternyata perempuan gila ini bisa juga bersikap serius. Kukira selama ini ia hanya menganggap hidupnya sebagai taman bermain atau lelucon. Tapi ternyata dugaanku selama ini salah.

Sudah dua hari ini Rosie tidak menggangguku dengan berteriak-teriak seraya mengetuk pintu kamarku keras-keras hanya untuk membangunkan tidur nyenyakku atau sekedar memintaku untuk menemaninya menonton tv.

Sejujurnya kebiasaanya yang sudah dua hari ini tidak ia lakukan membuatku bersyukur karena hidupku jauh lebih tenang tanpa suara cemprengnya di telingaku. Lagipula tidurku juga jauh lebih nyaman karena tidak ada gangguan.

"Kenapa liatin gue terus? Baru sadar ya kalau gue cantik? Atau sekarang lo udah mulai tertarik sama gue?" tiba-tiba saja pertanyaan Rosie sukses membuatku sadar dari lamunanku.

Aku melirik ke arah Rosie yang ternyata masih fokus menggambar. Aku mengedikkan bahuku dan menggelengkan kepala pelan walaupun aku tahu Rosie tidak akan melihatnya. Tapi itu refleks yang secara langsung ditunjukkan tubuhku untuk menyangkal pertanyaan perempuan gila itu barusan.

"Gak usah mimpi. Lo lanjutin aja tuh PR dari gue," balasku yang langsung membuat bibir bawah Rosie mencebik. Mungkin kesal dengan jawabanku.

Selama dua hari ini Rosie memang sibuk mengerjakan PR menggambarnya dariku. Kemarin dengan raut wajah bangga dan senyum lebarnya ia menunjukkan hasil gambarnya padaku. Memang sebelumnya aku menyuruhnya untuk membuat gambar kubus. Aku cukup tercengang saat melihat hasil gambarnya yang tidak buruk. Atau bisa aku sebut nyaris sempurna. Garis-garis yang ia torehkan sangat tegas walaupun tidak lurus sempurna. Sepertinya perempuan itu tahu bagaimana teknik memegang pensil dengan benar.

Lalu, semalam aku kembali memberikannya tugas untuk mengarsir kubus-kubus yang sudah ia gambar sebelumnya.

"Gue kira lo udah mulai tertarik sama gue. Kalau belum juga kapan dong gue bisa nagih kado ulang tahun gue?" tanyanya. Kali ini ia mendongakkan kepalanya untuk menatapku.

Aku mengerutkan dahiku karena tidak dapat memahami ucapannya barusan sebelum saraf-saraf otakku akhirnya connect dengan apa yang barusan ia ucapkan. "Cewek gila." hanya itu yang dapat kukatakan padanya.

Bukannya marah, ia malah tertawa mendengar umpatanku untuknya. "Susah juga buat bikin lo tergoda sama gue. Atau jangan-jangan lo beneran homo?" tanyanya lagi diiringi suara tawanya yang semakin keras.

Aku memutar kedua bola mataku. Kesal karena ucapannya. Enak saja mengataiku homo. Begini-gini aku masih normal. Dia tidak tahu saja jika beberapa kelakuannya selama ini sempat membangkitkan hormonku sebagai laki-laki yang akhirnya membuatku sakit kepala sendiri akibat ulahnya.

Tapi tidak mungkin kan aku berkata jujur di depannya. Bisa-bisa ia besar kepala. Untung saja aku bukan laki-laki mesum. Kalau tidak─

Ah udah deh gak usah di bahas.

Karena ucapan Rosie barusan, mood ku langsung turun drastis. Aku berjalan ke arah pantry dengan tampang sebal.

"Lo suka warna hitam atau merah?" tanya Rosie out of the blue. Sebenarnya aku malas meladeni pertanyaannya yang random. Tapi tubuhnya yang kini sudah berbalik kebelakang dan menyenderkan tubuh bagian depannya di punggung sofa yang letaknya berada di depanku dan wajahnya yang memelas seakan meminta jawabanku segera membuatku langsung mengurungkan niatku.

PRAGUE, FEBRUARY 2019Where stories live. Discover now