Senyum

152 32 1
                                    

Setelah kondisinya dinyatakan baik oleh dokter, Astrid kembali ke ruangan melati, tempat ia dirawat sebelumnya.

"Zat, kok Syiffah nggak ke sini?" Tanyanya pada Izzat, sahabatnya.

Izzat menghembuskan nafasnya berat. Jangankan meminta Syiffah ke sini, di hubungi saja tidak bisa. Padahal sudah 4 hari setelah Astrid kritis, Syiffah belum juga menampakkan batang hidungnya di Rumah Sakit.

"Lagi banyak kasus yang harus dilaporkan, makanya nggak bisa ke sini" jawab Izzat dengan alibi yang baru saja ia buat.

Syiffah merupakan seorang jurnalis di salah satu tv swasta. Sudah hampir 2 tahun ia bekerja di tempat tersebut.

Astrid hanya mengangguk. Ia tahu bahwa sahabatnya itu super sibuk dan sulit dihubungi, karena itu ia tidak mau terlalu menuntuk agar Syiffah menjenguknya.

"Assalamualaikum." Naufal baru saja masuk.

Astrid dan Izzat bersamaan menjawab salam Naufal.

"Udah selesai?" Tanya Izzat.

Tadi, keduanya sedang mengobrol tapi tiba-tiba saja Naufal di panggil untuk melihat kondisi pasien lainnya.

Naufal hanya mengangguk.

"Thanks yah, udah jagain Astrid" ucapnya.

"Santai aja. Astrid sahabat saya juga" balas Izzat sedikit terkekeh.

"Coba ada Syiffah, pasti lebih seru. Kayak reunian gitu, apalagi Izzat nggak sibuk sekarang," ceplos Astrid menyayangkan kekurangan personil geng mereka.

Naufal dan Izzat menoleh bersamaan ke arah Astrid yang masih pucat.

"Nanti saya coba hubungi dia lagi buat ke sini" ucap Izzat agar Astrid bisa sedikit lebih senang.

"Nggak usa!"

Kening Izzat dan Astrid membentuk kerutan.

"Kenapa?"

"Mungkin dia lagi sibuk, jangan di ganggu," ucapnya sambil berjalan ingin duduk di kursi samping bedy Astrid

"Lagipula, peduli apa dia soal Astrid?" Lanjutnya.

"Naufal!" Bentak Izzat, rahangnya mulai mengeras.

Naufal hanya mendecih. Sementara Astrid menatap takut pada keduanya.

"Becanda doang kalik, Zat. Tegeng amat" kekeh Naufal dengan ekspresi yang Izzat sulit artikan.

"Yakali Syiffah nggak peduli sama anak lalot ini, ya nggak?" Lanjutnya menatap tulus ke arah Astrid.

Izzat tidak merespon. Ia tahu bahwa yang dikatakan Naufal tadi bukanlah candaan, ia kenal betul bagaimana sifat sahabatnya ini. Tapi, ia tidak tahu apa yang membuat Naufal bisa mengatakan itu. Yang ia tahu, Syiffah sangat peduli terhadap persahabatan mereka apalagi kepada Astrid.

"Udah, nggak usa dipikirin. Saya cuman becanda doang kok" ucap Naufal memandangi Astrid yang terlihat bertanya-tanya terhadap apa yang diucapkannya.

Detik berikutnya mereka terdiam, cukup lama hingga Astrid memecahkan keheningan diantara mereka bertiga.

"Kalian pulang aja, ummi mau ke sini. Makasih dan maaf saya sering ngerepotin" ucap Astrid menundukkan kepalanya.

"Jangan bilang kayak gitu, Strid. Kita ini sahabat kamu" kata Izzat.

"Saya pulang deluan kalau gitu, ada kasus baru! Fal, lo juga keluar gih, nggak baik berduaan. Belom halal!" Kata Izzat sedikit terkekeh.

"Strid, salam buat Ummi" lanjutnya mendapat anggukan dari Astrid.

Kemudian Izzat keluar dari kamar rawat Astrid yg ternyata disusul Naufal.

***

Sudah tiga hari Syiffah izin tidak masuk kantor. Badannya benar-benar lemas dan tidak mampu untuk beraktifitas lebih. Naik turun tangga saja ia kadang minta di bopong umminya.

"Ffah, buka pintunya". Syiffah berusaha bangun dari kasur untuk membuka pintu kamarnya.

"Iya, Ummi?" Tanyanya.

"Ada Izzat di bawah"

Kening Syiffah membentuk kerutan, ada apa Izzat ke sini.

"Iya, bilang ke Izzat tunggu bentar yha, Mi". Umminya mengangguk lalu keluar dari kamar anak sulungnya itu.

Setelah menunggu hampir sepuluh menit, akhirnya Syiffah muncul. Izzat cukup kaget melihat kondisi Syiffah yang ternyata jauh dari kata sehat.

"Ada apa ke sini Zat?" Tanya Syiffah saat baru saja berada di lantai bawah.

"Kamu sakit?" Bukannya menjawab pertanyaan Syiffah, Izzat malah melemparkan pertanyaan baru.

Syiffah duduk di kursi depan Izzat duduk, "Cuman capek aja, kemarin banyak yang harus saya laporin". Bohongnya.

Untungnya Izzat langsung percaya, sehingga Syiffah tidak perlu berbohong lebih banyak lagi.

"Kamu punya masalah sama Naufal?" Tanya Izzat to the point.

Syiffah membatin, ternyata ini yang membuat Izzat datang kemari.

Syiffah menggeleng sambil memperlihatkan kekehannya, "masalah apasih, ya enggaklah. Kayak anak kecil aja!" kekehnya berusaha menyembunyikan luka.

Izzat tersenyum hambar seolah tahu bahwa orang di depannya ini sedang berbohong.

"Besok siang saya jemput kamu, kita ke rumah sakit."

Syiffah diam. Menyebut Rumah Sakit mengingatkannya pada kejadian beberapa hari yang lalu, saat Naufal menyalahkannya.

"Kasian Astrid, dia nanyain kamu terus" ucap lagi Izzat.

Masih diam, Syiffah tidak tahu keputusan apa yang harus ia ambil. Ia rindu pada sahabatnya itu tapi disisi lain, dia tidak ingin bertemu dengan Naufal, meskipun sebenarnya ia juga rindu dengan senyum pria itu.

"Besok kamu nggak sibuk, kan?"

Syiffah mengangguk kecil.

"Yaudah, besok saya jemput. Saya pulang dulu, sebenarnya mau lama-lama di sini, tapi gimana yah, masa saya ngobrol sama patung" sindirnya.

Syiffah mengangkat wajahnya yang sejak tadi terus menunduk.

"Iyaiyaaa, nih saya ngomong. Awas kalau nggak datang, saya bonyokin tuh muka kamu" jawab Syiffah sedikit kesal.

"Nah gitu dong, kamu tuh lebih cocok jadi ember comberan daripada jadi biksu"

"Biksu?"

"Iya, kan biksu kebanyakan diam"

Syiffah mengangkat sudut bibirnya, "receh, garing kayak kerupuk di warung makan Mba Dul" celoteh Syiffah. Lalu terkekeh diikuti Izzat yang menertawai dirinya sendiri.

Setidaknya ada sedikit kelegaan di dada Izzat ketika melihat Syiffah bisa tersenyum karena dirinya. Meskipun receh dan garing yang penting hasil akhirnya gadis ini bisa tersenyum, ia bahagia.

Ia tidak tahu, sejak kapan melihat gadis ini tersenyum menjadi hobinya. Diam-diam, dia sering mencuri pandang untuk sekedar melihat wajah gadis ini, lalu kemudian beristighfar dan mengulangnya lagi. Ia mencintainya? Entahlah! Ia belum bisa memastikan.

Inilah Izzat, orang yang daridulu selalu lucu karena lelucon garingnya. Orang yang mampu menjadi penengah ketika adu mulut diantara mereka, dan tidak lupa, Izzat juga yang selalu menjadi sumber hidup, dia orang kaya dan sekarang dia adalah hakim, gajinya lebih besar dari mereka bertiga. Sumber kehidupan banget.

***

Alhamdulillah.

Jgn lupa bersyukur untuk hari ini😊.

Ryn.

Luvyu.

Al HubTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang