PROLOG

17.8K 466 6
                                    

"Mau sejauh apapun kaki melangkah atau sebanyak apapun waktu terbuang, jika ditakdirkan bersama pasti akan dipertemukan. Jika tidak di dunia semoga di akhirat kelak."

~ ~ ~

Angin sore yang berhembus pelan memberikan efek sejuk di kulit menjadi saksi bisu pembicaraan dua manusia beda usia di sebuah teras rumah bergaya minimalis. Halaman depan yang ditanami beberapa jenis bunga membuat rumah tersebut terlihat asri dan nyaman dalam pandangan.

Saat sedang asyik menyirami tanaman yang sejak lama sudah dirawat oleh almarhumah ibunya, tiba-tiba seseorang datang dengan niat ingin bertamu sehingga memaksa Raesha harus menghentikan rutinitas sorenya tersebut.

Awalnya Raesha merasa heran sebab setelah kedua orangtuanya meninggal dua bulan lalu, dirinya hampir tidak pernah lagi kedatangan tamu terlebih orang asing. Sampai akhirnya ia dibuat terkejut saat mengetahui kenyataan bahwa pria yang terlihat seusia ayahnya tersebut memperkenalkan diri sebagai orangtua dari pelaku penabrakan ayah serta ibunya hingga meninggal.

Karena sikap sopan santun yang sedari kecil selalu diajarkan oleh ibunya, Raesha pun mengajak bapak itu masuk dan mempersilahkannya duduk di teras rumah. Di mana memang tersedia satu set kursi kayu yang selalu digunakan ayah Raesha untuk bersantai sambil menikmati kopi di sore hari semasa hidupnya.

Meski sederhana, bukan berarti rumah Raesha tidak memiliki ruang tamu. Tapi, perempuan yang kini hidup seorang diri tersebut sengaja tidak mengundang tamunya masuk ke dalam rumah karena ibunya selalu mengingatkan agar tidak sembarangan membawa orang asing masuk terlebih jika posisinya ia hanya sendiri.

Walau Raesha yakin orang yang datang ke rumahnya itu sudah memiliki istri, anak, bahkan mungkin cucu, tetap saja Raesha tidak bisa membawa yang bukan mahramnya masuk ke dalam rumah dan membiarkan mereka berduaan.

Usai membuat secangkir kopi di dapur, Raesha kembali menghampiri sang tamu sambil menyuguhkan kopi buatannya tadi. Setelah beberapa menit berlalu dengan keheningan, akhirnya pria yang tadi memperkenalkan diri bernama Andres tersebut mulai menyampaikan tujuan utamanya datang menemui Raesha.

"Sebelumnya saya minta maaf karna mungkin sudah mengganggu kegiatan soremu, tapi seperti yang saya katakan di awal bahwa saya ada perlu dengan kamu namun baru sempat datang sekarang." Pak Andres berbicara di seberang kursi dengan meja sebagai pembatas antara dirinya dan Raesha.

Raesha hanya sesekali mendongak lalu tersenyum kemudian kembali menundukkan kepala seraya menatap ubin di bawah pijakan kakinya. Sampai sekarang Raesha masih belum tahu harus merespon apa ucapan orang di hadapannya tersebut. Apalagi kedatangan Pak Andres tidak pernah terbesit di dalam pikirannya.

"Rasanya cara asisten saya menyampaikan pesan kepada kamu saat itu tidak terlalu rinci sehingga mungkin kamu berpikir hal itu hanya sebuah inisiatif dari saya untuk mencari pembelaan serta perlindungan terhadap anak saya. Atau mungkin juga kamu berpikir bahwa saya tidak serius sebab hanya mengirimkan perwakilan tanpa menemuimu secara langsung ...." Pak Andres menjeda ucapannya untuk menarik napas lalu kembali melanjutkan.

"Tapi ketahuilah, Nak. Bahwa, saya Andres Abrizam tidak pernah bercanda dalam membuat sebuah keputusan. Tidak pernah ada niat main-main mengenai permintaan untuk menjodohkan kamu dengan anak saya."

Meski sudah mendengarnya sebanyak dua kali, yang pertama disampaikan oleh asisten Pak Andres di hari kedua setelah orangtuanya meninggal, kedua disampaikan langsung oleh Pak Andres hari ini. Tetap saja Raesha masih merasa terkejut.

Saat niat itu disampaikan untuk pertama kalinya, Raesha memang sempat berpikir bahwa permintaan keluarga Abrizam tersebut adalah sebagai bentuk mencari jalan damai dengan cara perjodohan. Terlebih ketika polisi menetapkan anak Pak Andres sebagai orang yang bersalah karena telah menyebabkan dua orang meninggal dunia dalam kecelakaan tersebut. Atas dasar itulah tanpa berpikir dua kali Raesha langsung menyatakan penolakan.

"Saya tahu, tindakan dengan mengirim asisten untuk menemui kamu adalah perbuatan yang salah, tapi saya tidak punya pilihan lain sebab seperti yang kamu ketahui di saat yang bersamaan saya juga sedang mengupayakan keberangkatan ke Singapura untuk menyegerakan perawatan untuk anak saya." Kali ini nada suara Pak Andres terdengar begitu menyesal dan bersalah.

Sebenarnya korban dalam kecelakaan maut tersebut bukan hanya kedua orangtua Raesha, tapi anak Pak Andres juga bisa dikatakan korban. Karena saat itu ia tidak tahu sedang mengendarai mobil yang remnya bermasalah, padahal baru saja selesai di servis. Anak Pak Andres yang saat itu sedang mengendarai mobil dengan kecepatan sedang tiba-tiba hilang kendali hingga tidak dapat menghindari pengendara lain di depannya. Dan sialnya yang menjadi korban terparah adalah dua orang pengendara sepeda motor suami istri yang tak lain adalah orangtua Raesha.

Saat kecelakaan terjadi, baik orangtua Raesha maupun anak Pak Andres sama-sama tidak sadarkan diri sehingga warga di sekitar lokasi kejadian langsung membawa mereka ke rumah sakit terdekat. Hanya saja dalam perjalanan kedua orangtua Raesha menghembuskan napas terakhir karena kehilangan banyak darah. Sementara anak Pak Andres masih selamat meski dinyatakan kritis.

Setelah cukup lama berperang dengan pikirannya, Raesha mulai mendongak dan berusaha melemparkan tatapan selembut mungkin kepada lawan bicaranya. Menimbang dan memilah kalimat terbaik agar apa yang akan dikatakannya nanti bisa cukup jelas didengar dan dimengerti dalam sekali ucap.

"Maaf, Pak." Raesha merasa gugup dengan tangan yang ikut bergetar. "Tapi, saya tidak bisa menerima perjodohan itu," ujarnya hati-hati. Meski nampak tenang di luar, tapi hatinya seakan remuk di dalam.

"Kenapa, Nak?" tanya Pak Andres lembut mencoba tenang.

"Saya tidak ingin menjadi beban untuk keluarga Bapak." Sudah pasti itu yang akan dikatakannya. "Saya tau sebenarnya di sini baik orangtua saya maupun anak Bapak sama-sama korban. Tidak ada yang patut disalahkan ataupun bertanggungjawab. Semua terjadi karna kuasa Allah." Raesha berusaha menyunggingkan senyum. "Saya tau anak Bapak juga melewati masa-masa sulit usai kecelakaan itu."

Raesha yang saat itu sampai di rumah sakit ketika orangtuanya sudah dinyatakan meninggal tentu tidak tinggal diam. Sudah terbesit di dalam pikirannya untuk menuntut pelaku serta meminta pertanggungjawaban. Tapi, ia kembali mengurungkan niat tersebut saat mengetahui kondisi pelaku penabrakan orangtuanya sangat kritis.

Atas dasar kemanusiaan, Raesha menarik tuntutan dan menutup kasus tersebut agar tidak perlu sampai ditangani polisi. Raesha semakin yakin dengan keputusannya setelah mengetahui kondisi lanjutan anak Pak Andres yang ternyata divonis oleh dokter mengalami pergeseran pada otak yang biasa disebut dengan Epidural Hematoma usai mengalami kecelakaan.

"Saya tahu Bapak adalah orang yang bertanggungjawab. Tapi ...." Raesha menggantungkan kalimatnya. Berusaha keras menarik napas sebanyak-banyaknya seolah sebentar lagi pasokan oksigen akan habis di bumi.

"Biarkan saya melanjutkan hidup dan melupakan kejadian tersebut."


🖤 🖤 🖤

Publish: 01 Februari 2019
Revisi: 21 Februari 2020
Repost: 01 Maret 2023

PERANTARA MENUJU SURGA (COMPLETED)Where stories live. Discover now