Limabelas.

142 21 37
                                    


"Tenang, Ka. Biar dia pulang sama gue."

Seketika semua menjadi diam. Sedangkan mata Zalia membulat sempurna saat melihat kehadiran Zidan.

"Aduh, gimana ini? Kalau gue ga pulang sekarang, gue pasti disuruh Azka pulang bareng dia. Kalau gue pulang sekarang, kesempatan gue bareng Dio berakhir dong." batin Zalia bimbang.

Zalia mulai merutuki dirinya sendiri. Namun, seketika ia teringat kata Rara saat itu.

"Eh? Hm, gu-gue udah selesai kok ini. Ya kan, Yo? Ya kan?" ucap Zalia sembari mengerjapkan matanya berkali-kali pada Dio. Sedangkan yang diberi isyarat hanya menatap gadis itu bingung.

Akhirnya Zalia memutuskan untuk menginjak kaki kiri Dio. Namun, ia berjanji bahwa tindakannya itu tidak akan menyakitkan kaki cowok itu.

"Aduh," Dio meringis.

"Jawab iya, jawab iya!" ucap Zalia sedikit berbisik.

"Hah?"

Zalia memutar bola matanya malas. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang. "Sebentar, gue ambil tas dulu," ucap Zalia sebelum beranjak ke dalam ruang OSIS.

Setelah mengambil tasnya, Zalia keluar dari ruangan itu. Namun, ia tidak mendapati Dio dan Azka. Yang tersisa hanyalah Zidan.

"Abang lo udah pulang," kata Zidan.

Zalia terkejut mendengar kata-kata Zidan itu. Bagaimana bisa Azka tega meninggalkan adiknya ini?

Tunggu,

"Abang? Kok dia tau Azka abang gue?" batin Zalia.

"Kok dia ninggalin gue sih?" ucap Zalia pada dirinya sendiri. Namun, Zidan masih dapat mendengarnya.

"Lo pulang sama gue, Zal. Azka ada urusan katanya," ucap Zidan. Kini dengan senyum yang menghiasi wajahnya.

"Sialan lo, bang!" geram Zalia dalam hatinya.

"Bukannya lo ada latihan?"

"Hah? Latihan? Latihan apa?"

"Tadi gue liat Angga latihan di ruang musik."

"Itu mah gampang."

"Tapi, tadi dia nyariin lo di ruang OSIS," bohong Zalia.

"Itu ga penting. Yang penting itu lo."

Seketika pipi Zalia memerah. Zidan yang melihat perubahan ekspresi wajah Zalia pun tersenyum.

"Kok pipi lo merah, sih?"

"What? Merah? Kok bisa? C'mon Zal. Aduh malu gue." Zalia merutuki dirinya sendiri. Kini gadis itu menunduk.

Zidan terseyum, kemudian menarik dagu Zalia untuk menatap wajahnya. "Ayo pulang."

Tanpa merespon ucapan Zidan, Zalia langsung beranjak pergi meninggalkan cowok itu.

"Zal, tungguin gue lah," teriak Zidan dari belakang Zalia. Namun, Zalia malah semakin mempercepat langkahnya.

Zidan pun berlari untuk menyamakan posisinya dengan Zalia. Kemudian meraih tangan kiri gadis itu.

"Jangan jauh-jauh dari gue," ucap Zidan sedikit berbisik.

Zalia yang tidak nyaman dengan kondisi ini langsung melepaskan tangan Zidan. Kemudian nafasnya terdengar menggebu-gebu.

"Lo tuh kenapa sih? Gue risih," tanyanya kemudian langsung beranjak pergi.

"Gue suka sama lo," teriak Zidan yang suaranya terdengar sangat jelas di telinga Zalia.

Zalia langsung menghentikan langkahnya saat mendengar kalimat itu. Ini pertama kalinya ada orang yang menyatakan perasaan suka padanya. Selama ini, Zalia terus berusaha menghindar saat ada orang yang berusaha mendekatinya dan menyusun rencana agar orang yang mendekatinya itu tidak menyatakan perasaannya. Karena bagi Zalia, hal itu dapat mengganggu konsentrasi belajarnya. Maka dari itu, Zalia lebih suka menjadi Silent Admirer yang menyukasi seseorang dalam diam, walau ia tau resikonya.

Tidak lama setelahnya, Zidan sudah berada di samping Zalia.

"Udah gausah dipikirin. Gue juga lebih suka kayak gini kok," ucap Zidan kemudian kembali berjalan.

"Hah? Kayak gini? Kayak gini gimana? Maksudnya apa sih?" batin Zalia.

Gadis itu kembali berjalan untuk mengikuti Zidan dari belakang, dengan jarak yang sangat jauh. Sekarang, Zalia bingung harus berbuat apa.

Melihat Zidan berjalan ke arah gerbang sekolah, Zalia langsung berlari menghampiri cowok itu dan menahan tasnya.

"Kenapa?" tanya Zidan.

"Kok kesini, sih?"

"Kan mau pulang."

"Maksud gue, kenapa ga ke parkiran?"

"Gue ga bawa motor."

Zalia langsung membulatkan matanya saat mendengar pernyataan Zidan itu. Lalu, bagaimana dirinya bisa pulang sedangkan hari sudah semakin sore?

"Tenang, masih ada angkot terakhir kok," ucap Zidan santai. "Kita tunggu disana," lanjutnya sambil menunjuk sebuah halte yang terletak di seberang sekolah.

Zalia mendengus pasrah kemudian berjalan mengikuti Zidan yang sudah terlebih dahulu menuju kesana.

Sudah lima menit, Zidan dan Zalia menunggu di halte tersebut. Namun, kendaraan umum itu tidak kunjung lewat. Zalia mendengus.

"Mana nih angkotnya? Kok ga ada sih?" ucap Zalia sembari menyilangkan kedua tangannya pada kedua lengannya. Gadis itu kedinginan karena memang angin yang cukup kencang sore itu.

"Lo kedinginan ya?" tanya Zidan tanpa melirik Zalia.

Zalia menoleh. "Mana bisa lo tau, lo kan ga ngeliat gue," balasnya.

"Suara lo bergetar."

Zidan terlihat mengeluarkan sesuatu dari tas nya. Itu adalah sebuah jaket berwarna hitam dengan plat merah miliknya. Lalu Zidan memberikannya pada Zalia.

"Nih pake."

Namun, Zalia hanya memperhatikan Zidan dan jaket itu secara bergantian.

"Kenapa? Gamau? Yaudah," balasnya santai lalu memeluk jaket itu.

Zalia yang melihatnya pun hanya terdiam.

"Gausah kode minta dipakein deh," Zidan terkekeh."

"Apaan sih lo!" Zalia memutar tubuhnya. Kini Zalia membelakangi Zidan dengan wajah kesal.

"Tuh kan," kini Zalia dapat mendengar suara tawa yang cukup kencang dari arah belakangnya. Itu suara Zidan.

Lima detik kemudian, Zidan langsung memakaikannya pada tubuh Zalia. Jadilah Zalia menggunakan jaket Zidan dengan tangan yang masih menggenggam tubuhnya sendiri. Zalia terlihat tenggelam saat menggunakan jaket itu. Jaket Zidan terlalu besar di tubuh gadis itu.

"Gausah malu gitu. Kalau lo sakit, gue yang disalahin."

Zalia mendengus. "Kenapa jadi kayak gue yang salah ya?" batinnya.

"Ma-makasih."

Hey guys! Gimana part yang ini?! Baper gak sih? Hehe. Aku sendiri baper sama Zidan:(

Don't forget to vomment bellow!

Btw,

It's new year!!! Have a good year guys!!!

.Vichii

Silent AdmirerWhere stories live. Discover now