Awal

291 24 47
                                    

Seperti hari-hari sebelumnya, aku harus bangun pagi untuk pergi sekolah. Aku biasanya pergi menaiki angkot, tetapi pagi ini entah kenapa aku ingin sekali pergi sekolah dengan berjalan kaki.

  "Ma, pa, Melisa pergi dulu ya"

Aku mencium tangan kedua orang tua ku. Itu adalah kebiasaan yang tidak bisa aku tinggalkan saat bertemu dengan orang yang lebih tua. Karena Mama ku bilang, suatu saat aku akan menjadi orang tua. Dan jika nanti aku ingin dihormati maka aku harus menghormati orang tua.

Bukan hanya Mama  ku yang mengajari sopan satun, Papa ku juga tetapi caranya yang berbeda. Papa ku orangnya keras. Dia selalu membimbing anak nya meski kadang-kadang Papa melakukan hal yang keterlaluan. Misalnya saat aku tidak belajar, maka aku akan dihukum. Tetapi dari situlah aku belajar, bahwa apa yang Papa lakukan adalah yang terbaik untuk ku.

Diluar sana banyak anak yang berfikir bahwa orang tua nya tidak menyayangi dirinya. Aku pun sempat berfikir begitu, tetapi aku salah besar. Tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Hanya saja anak nya yang tidak mampu memahami kemauan orang tua nya.

  "Kalau jalan liat-liat dong!" Ucap laki-laki bermotor yang tidak aku kenal.

  "Ih apaan sih!" Ucap ku.

  "Liat kalau disini ada aku yang mencintai mu" setelah mengatakan hal itu laki-laki itu pergi begitu saja.

Aku menyadarkan diriku saat aku mulai senyum-senyum. Membayangkan ucapan dan wajah tampan laki-laki itu.

  "Melisa sadar Melisa. Kamu gak kenal anak itu, bahkan kamu baru melihat dia sekali ini, jadi jangan terbawa gini dong" ucap ku dalam hati.

Aku terlalu larut membayangkan laki-laki itu sehingga aku tidak sadar bahwa sejak tadi ada yang memanggil nama ku. Dia adalah Azam. Azam adalah seorang laki-laki yang menyukai aku, tetapi entah kenapa aku sama sekali tidak menyukai Azam. Padahal Azam termasuk laki-laki yang tampan dan dia menjadi juara umum di sekolah.

  "Maaf Zam, tadi aku melamun" ucap ku.

  "Kamu melamun karena laki-laki tadi ya?" Tanya Azam.

  "Bukan kok Zam bukan. Kenal aja enggak" ucap ku.

  "Kamu gak kenal sama dia. Dia itu Irza salah satu anak motor, yang suka tawuran di belakang sekolah" ucap Azam.

  "Ha! Kamu serius Zam?" Tanya ku.

  "Iya aku serius. Kabarnya sih nanti pulang sekolah mereka mau tawuran sama anak sekolah sebelah" ucap Azam.

Sepanjang perjalanan aku selalu membayangkan ucapan Azam. Aku tidak percaya dengan apa yang dikatakan Azam. Meski aku tau Azam tidak mungkin berbohong. Tetapi mana mungkin anak laki-laki bernama Irza, senakal itu. Aku jadi bingung memikirkan nya.

Sesampainya di sekolah aku menceritakan kejadian pagi ini kepada sahabat ku yaitu Puput. Aku juga bertanya soal Irza, karena aku yakin Puput pasti mengenalnya.

  "Oh Irza, anak ternakal yang punya hobby tawuran di belakang sekolah" ucap Puput.

Aku mencubit pipi ku. Sudah dua orang mengatakan hal buruk tentang Irza. Tetapi aku seperti tidak percaya dengan apa yang dikatakan Puput dan Azam. Memang aku belum mengenal Irza tetapi aku sangat yakin bahwa Irza tidak seburuk itu.

  "Kamu Melisa ya?" Tanya seorang anak laki-laki yang tak aku kenal.

  "Iya, aku Melisa" ucap ku.

  "Dapet titipan surat" ucap laki-laki itu sambil memberikan aku selembar kertas yang dilipat kecil.

  "Dari siapa?" Tanya ku sambil mengambil benda itu.

Dilan 2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang