7. Rimba

239 58 7
                                    

Roti tawar. Selai kacang. Sereal instan: rasa kacang hijau untukku, dan jahe untuk ayahku. Kopi instan untuk kami berdua (terkadang, ada malam-malam baik). Jus kotak. Susu kotak. Keripik kentang (ini favorit Dicky, tapi belakangan, aku mulai menyukainya juga). Mie instan (sebentar lagi musim hujan. Aku dan Dicky seringkali menyantap mie instan setiap kali hujan turun).

Aku meletakkan keranjang belanjaku di konter kasir sambil memeriksa jam digital di pergelangan tanganku.

Pukul 16:58

Kuketuk-ketukkan ujung jari di tepi keranjang. Aku harus cepat-cepat tiba di rumah. Jangan sampai ayahku tiba lebih dulu daripada aku. Aku harus segera meletakkan bahan-bahan makanan ini di kulkas, lalu bersikap seolah-olah aku sudah berada di rumah seharian.

Kuperhatikan bahan-bahan makanan yang kubeli, dan tiba-tiba aku teringat sesuatu. Jadi, aku meminta kasir swalayan untuk menungguku sebentar.

Aku menerobos antrean ibu-ibu yang mengeluh dan kembali ke dalam, setengah berlari menghampiri rak bumbu-bumbu instan. Aku mengambil beberapa bungkus bumbu yang kubutuhkan untuk membuat nasi goreng, ikan goreng, dan sayur tumis. Dalam sekejap, aku sudah kembali ke konter kasir. Ibu-ibu yang mengantre di belakangku menggerutu terang-terangan karena harus memberi ruang padaku untuk lewat, sekalipun aku sudah meminta maaf.

Kasir swalayan akhirnya menyerahkan uang kembalian padaku. Kuraih kantung belanjaanku dengan cepat dan berlari keluar. Rumah kami hanya berjarak dua puluhan menit jalan kaki dari swalayan ini. Kalau aku berlari, aku bisa mempersingkat waktu. Antisipasi kalau kemungkinan terburuk terjadi dan ayahku ternyata pulang lebih cepat hari ini.

Jam kerja ayahku berakhir tepat pukul lima sore. Jarak dari toko alat listrik tempatnya bekerja dengan rumah kami sekitar dua puluh hingga tiga puluh menit dengan motor tuanya, bisa juga lebih lama dari itu. Tergantung motornya mogok atau tidak atau apakah motornya sedang kehabisan bensin. Atau apakah tidak ada insiden kecelakaan di jalan raya. Atau apakah tidak ada acara pawai atau festival yang membuat jalur lalu lintas dialihkan sehingga ayahku harus mengambil jalan memutar yang cukup jauh. Dalam situasi normal, ayahku selalu tiba di rumah antara pukul setengah enam lebih dua puluh hingga tiga puluhan menit.

Aku memacu langkahku, berlari sekencang-kencangnya. Kubayangkan, jalanan adalah lintasan maratonku. Sinar matahari sore jatuh ke jalan beraspal. Bayanganku memanjang dan miring ke arah Barat. Lalu, entah bagaimana, bayangan gadis itu melintas di benakku.

Gadis itu! Yang kutemui di toko buku sekitar sejam yang lalu.

Aku mengingat caranya menatapku. Keterkejutan di matanya. Matanya yang sembab namun memancarkan kepolosan anak kecil. Rambutnya yang digulung sekadarnya. Anak-anak rambut di pelipisnya. Senyumnya yang murni. Buku Sebastian Narendra dalam pelukannya. Kebingungan di wajahnya saat aku meninggalkannya begitu saja. Gaunnya yang selutut berkibar perlahan. Jaket denim yang terlalu besar untuk tubuhnya yang kecil. Sepatu Converse-nya yang sedikit lusuh.

Aku bertanya-tanya, siapa namanya.

Untuk wajah yang seperti itu, nama seperti apa yang cocok untuk dia?

Aku tidak bisa memikirkan satu nama pun.

Astaga! Apa yang sedang kupikirkan? Aku sedang berduka. Temanku baru saja mati.

Kupercepat lariku, agar kilasan bayangan gadis itu lenyap dari benakku. Kantung plastik di kedua tanganku berkerisik seiring langkah kakiku berlari. Kupindahkan kantung plastik dari tangan kiri ke tangan kananku agar aku leluasa memeriksa jam tanganku.

Pukul 17:18

Sedikit lagi. Aku hampir tiba.

Nenek Rum, yang tinggal di seberang jalan di depan rumah kami, melambaikan tangan. Aku membalas lambaiannya.

You're My Splendid EscapeWhere stories live. Discover now