Pernikahan (1)

59.3K 1.3K 20
                                    


Hari itu semua orang sibuk, wajah-wajah terlihat segar dan mata berbinar bahagia. Mereka juga mengenakan pakaian terbaik dalam koleksinya. Kebaya yang anggun, setelan celana dan kemeja yang licin karena disetrika, semua serba indah dan harum mewangi.

Tidak ada yang lebih bahagia dibanding dua keluarga besar yang akhirnya dipersatukan oleh ikatan suci, sebuah akad dalam pernikahan. Mempererat tali keluarga dan silaturahmi, menyatukan laki-laki dan perempuan atas nama cinta.

Cinta? Apa dia mencintai pengantinnya?

Fajar Wiratama, seorang anak salah satu guru besar dari universitas ternama di Jawa Tengah tidak tahu jawabannya. Jika ia menikah bukan atas dasar cinta, maka itu adalah takdir. Dia tetap akan menikahi perempuan yang dipilih oleh ayahnya, Hadid Wiratama. Barangkali memang sudah nasibnya menikah dengan perempuan yang belum membuatnya merasa tertarik, perhatiannya masih untuk oranglain. Ada gadis lain yang ia cintai.

Jujur saja, ia hanya sekilas mendengar bahwa calonnya anak keluarga termasyhur di Kota Semarang. Ia tidak bisa membuat alasan apapun demi menolak pernikahan ini. Menundanya barang sebulan saja ia tetap tidak bisa.

Fajar memang tidak sepenuhnya buta tentang Wanda Hamid, calon istrinya. Dia kenal perempuan itu tapi hanya sebatas kenal nama dan rupa, selebihnya ia tidak tahu. Ia percayakan pernikahan ini pada ayahnya, tidak mungkin ayahnya salah memilihkan jodoh untuknya. Usianya sudah cukup dewasa untuk membangun mahligai rumah tangga, 29 tahun ia tumbuh di keluarga Jawa. Tidak ada alasan lagi untuk menolak perjodohan yang ayahnya ajukan ini.

"Sudahlah Fajar, jangan banyak memilih. Nanti kamu malah dapat yang ndak baik. Wanda itu gadis yang baik. Dia cerdas dan berpendidikan, dari keluarga terpandang di Jawa Tengah. Kamu beruntung bisa dipilih keluarganya Wanda untuk menjadi calon menantunya. Tunggu apa lagi?" begitu Hadid membujuk anaknya untuk segera menikah.

Pernikahan ini memang bukan atas dasar cinta, tetapi juga tidak bisa dikatakan terpaksa, sebab Fajar memang terang-terangan menerima Wanda sebagai istrinya. Ia tidak punya pilihan, mungkin memang Wanda-lah yang menurut ayahnya pantas dijadikan istri olehnya.

Kini hatinya mencoba menepis bayang-bayang cinta yang tidak pernah terwujud, sampai hari ini Fajar belum jujur pada dirinya sendiri bahwa dia merasa betah dengan perempuan lain. Perempuan itu bukanlah Wanda Hamid, bukan perempuan yang akan ia nikahi hari ini.

Tidak ada waktu lagi, semua sudah berjalan sesuai rencana dua keluarga besar, keluarga Hamid dan Wiratama. Jika Fajar membatalkan semua ini, matilah riwayat keluarganya, nama baik ayah dan ibunya akan tercoreng. Dia akan dikatakan sebagai anak durhaka.

Fajar membuka matanya setelah berusaha menata perasaannya, tubuhnya mendadak tegang, aliran darah seolah mengalir lebih cepat, jantungnya mulai naik turun tak seperti dalam keadaan normal. Jantungnya rasanya sungsang. Suasana saat ini lebih menegangkan dibanding berada di meja operasi. Ya, Fajar adalah seorang dokter bedah yang sudah tiga tahun bekerja di sebuah rumah sakit besar di Kota Semarang.

Tangannya kini menjabat tangan calon mertuanya. Hamid tersenyum ramah padanya, ia membalas dengan senyum canggung dan gugup. Akad akan segera berlangsung, ia akan diamanahi tanggungjawab atas seorang perempuan yang akan mendampingi perjalanan hidupnya. Atas permintaan Wanda, Fajar akan melangsungkan ijab qobul itu dengan bahasa daerahnya, yaitu bahasa Jawa.

"Kulo tampi nikahipun Dewi Wanda Hamid binti Hamid Abdullah ing kulo piyambak kanthi mas kawin kasebut dibayar kontan." Kata Fajar dengan sekali tarikan napas.

"Sah?!" tanya seorang saksi.

Serempak semua orang menjawab. "Sah!"

"Alhamdulillah..." Orang-orang mengucap syukur. Dua keluarga besar itu pun turut berbahagia. Raut wajah mereka berseri-seri.

Nafas Cinta Zanna [Pindah ke Dreame]Where stories live. Discover now