Seberkas Cahaya (4)

16.4K 618 9
                                    


Suasana kamar itu cukup hening. Hanya ada dua pasien yang sedang di rawat. Satu Zanna dan satu lagi seorang anak sebelas tahun yang dirawat karena gejala tipes. Ranjang mereka berjauhan, percakapan pelan tidak akan mengganggu anak dan ibunya yang sudah terlelap tidur.

Zanna masih belum bisa memejamkan matanya hingga pukul sebelas malam. Ia baru saja keluar dari kamar mandi dibantu seorang perawat yang bertugas.

"Nduk, kamu masih melek tho?"

"Nggih, Abah." Zanna kembali duduk diranjangnya setelah mengucapkan terimakasih pada perawat baik itu.

Setelah Abah duduk sang perawat meninggalkan mereka.

Mata Zanna tidak henti mengamati buku ditangan Abahnya. Sejak dulu Abah memang suka sekali membaca buku. Buku jenis apapun bisa Abah selesaikan dalam waktu singkat. Bahkan koleksi buku di perpustakaan kecil di rumahnya lumayan lengkap. Rupanya Abah menularkan virus itu pada dua putrinya, Sekar dan Zanna. Dan saat ini Sekar sedang menempuh master di London seorang diri. Kepergiannya terdorong oleh alasan lain, yaitu untuk menghindar dan mengobati diri dari rasa sedih, sebab suaminya telah meninggal akibat kecelakaan saat ia sedang mengandung.

"Ini buku Tasawuf, karya Profesor Hamka, Nduk." Abah memberi tahu.

Zanna lanjut membaringkan dirinya, sementara Abah duduk di kursi terdekat. Zanna kembali teringat penyebab kenapa dia berada di rumah sakit ini. Sungguh memalukan, ia kalah oleh perasaannya sendiri sampai terkapar di ranjang ini. Suasana hening dan dingin, bau obat yang menyengat, sepi sekali. Sakit itu tidak enak, Zanna ingin pulang.

Abah sudah berkali-kali membalikkan lembaran bukunya. Kali ini ia berdeham, sekilas Abah memandang wajah putrinya yang nampak risau. "Ada yang sedang kamu pikirkan, Nduk?"

Zanna menggeleng. Apa yang sedang ia lamunkan? Mas Fajar-nya, yang mungkin sedang bersama Wanda dalam satu selimut? Atau... ah, sudahlah. Mengingat Fajar membuat sakitnya tidak akan sembuh.

"Abah bacakan sesuatu, kamu mau dengar?"

Zanna mengangguk, matanya tak lepas mengamati wajah Abahnya yang mulai keriput.

"Buya Hamka nulis begini, janganlan merasa paling sengsara dan banyak penderitaan." Abahnya memulai. Entah kenapa suasana menjadi semakin sunyi dan pas sekali untuk merenung. "Ujian kita belum seberat ujian mereka, para pendahulu kita."

Zanna masih mendengarkan.

"Yakub dipisahkan dari Yusufnya. Yusuf diperdayakan seorang perempuan. Ayub di timpa penyakit yang parah. Daud dan Sulaiman kena bermacam-macam fitnah. Demikian juga Zakaria dan Yahya, yang memberikan jiwa mereka untuk korban keyakinan. Isa Al-Masih pun demikian pula. Ujian Muhammad lebih-lebih lagi. Pernahkah mereka mengeluh...?"

"Cukup, Abah!" sentak Zanna. Ia menutup mulutnya dengan dua tangan, kaget karena telah membentak abahnya sendiri. Sunguh dia tidak bermaksud begitu, dia hanya merasa bahwa tulisan itu sangat membuatnya malu.

Abah segera menutup buku yang belum rampung dibaca. Ia bangkit mendekati Zanna, mengelus lembut kepala anaknya yang tertutup jilbab instan.

Zanna merasa rendah. Sebagai manusia ia sungguh tidak bersyukur pada Robb-nya yang telah memberikan kesempatan untuk mencicip rasa bahagia. Ia telah kufur pada nikmat bahagia di waktu dulu, waktu sebelum hatinya sehancur sekarang.

Bahkan para kekasih Allah pun di uji. Lalu siapa dia yang mengaku paling sengsara seujung dunia, sementara ada manusia utusan Allah yang juga lebih berat ujian hidupnya. Dan mereka tidak mengeluh pada Robbnya. Benar, Zanna hanya manusia biasa, tetapi ada pula manusia zaman sekarang yang ujian hidupnya lebih berat darinya. Seperti janda di kampung sebelah yang ditinggal suaminya menikah lagi, sedangkan ia harus banting tulang menghidupi dirinya dan dua orang anak. Ada pula Mang Wari yang tidak disayang anak-anaknya, sebab dia hanya lelaki pikun yang tua, ia terlantar begitu saja di rumah gubuknya yang reot.

Kini ia merasa seperti debu, bukan apa-apa. Di mana imannya selama ini? Di mana rasa syukurnya itu?

Allah... maafkan Zanna... tetiba ia merasa sangat-sangat berdosa.

***

Pagi itu matahari terbit dengan sempurna, cahayanya menembus kaca jendela, menyilaukan wajah Zanna. Ia menutup mata menikmati sentuhan lembut sang mentari yang gagah menampakkan diri.

Derap langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Abah datang, ia masih tidak konsen mengajar hingga memilih untuk mencutikan diri, dan meminta bantuan para asistennya untuk menggantikan dirinya sementara waktu.

"Nduk, kamu sudah nggak krasan di rumah sakit?"

Zanna segera menoleh. Matanya memancarkan binar terang, ia menatap Abahnya tanpa berkedip.

"Kamu bisa pulang hari ini asal ada sayaratnya?" Abah duduk, lalu ia melanjutkan. "Kamu harus manut sama Ibumu, makan yang teratur ya, Nduk. Supaya nggak sakit lagi. Opo enake dadi wong sakit?"

Zanna mengangguk, ia melepaskan senyum yang lama tersembunyi.

"Abah mau bicara serius sama kamu." Abah menarik napas perlahan. "Kalau kamu ngerasa susah tinggal di rumah karena harus melihat masmu dan Mbak Wanda, Abah mau sarankan kamu lanjut kuliah saja ya. Kamu bisa ambil S2 di Jogja atau Surabaya sekalian. Abah bisa titipkan kamu ke saudara jauh di sana. Gimana, Nduk?"

"Zanna... aku tidak tahu, Bah. Aku bingung."

"Abah ngerti. Ya sudah, kemasi barang-barangmu dulu, pikirkan apa yang Abah tadi sampaikan."

Zanna menganggukpatuh.    

Nafas Cinta Zanna [Pindah ke Dreame]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang