9. Takdir tak Diduga

3.5K 270 0
                                    

"Apa, Bah?" Menatap abah dengan wajah pucat pasi. Abah menghela napas pelan. Mengangguk samar. Membalas tatapan anak lelakinya dalam.

Suasana hening beberapa saat. Mereka larut dalam pikiran masing-masing. Seperti tersambar petir, badan Faris mematung. Kaku seperti tidak bisa digerakkan. Urat-urat nadinya seakan berhenti tanpa toleransi. Ini nikmat ataukah azab? Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, ia sudah disajikan oleh berita tak sedap terkait perjodohan yang tanpa pengetahuannya.

Ia menunduk, menghirup udara dalam-dalam. Apakah sekali ini saja aku tidak usah menuruti perkataan abah? tanyanya dalam hati.

Bulunya mengerjap sekali, menatap lamat-lamat lantai yang terbuat dari pualam itu.

Beberapa detik kemudian legang. Tiada siapa pun yang berani mengusik hati Faris. Baik umi, maupun abah. Mereka tahu, anak lelakinya itu sedang ada di tahap-tahap sulit. Semua orang akan begitu. Shock apabila ada di posisi Faris. Tidak ada hujan tidak ada badai, tiba-tiba diberitahu jika ia telah dijodohkan.

"Tapi, Bah .... Faris tidak yakin jika Faris sanggup melakulannya. Faris ... Faris belum siap, Bah ...." Faris berkata lirih sembari menunduk dalam-dalam.

"Le. Dengarkan abahmu ini. Abah cuma khawatir kalau kamu tidak bisa membentengi dirimu sendiri. Abah khawatir kalau-kalau kamu terkena tipu muslihat hawa nafsu, Le. Abah tahu kamu sekarang sudah mulai lalai dalam menjaga pandangan. Memandang seseorang yang jelas-jelas bukan mahram itu haram, Le. Bagaimana abah tega melihatmu mulai didesak oleh fitnah dunia?"

Suara abah tenang. Menggema di langit-langit ruangan. Melengkapi bisu sang mentari yang menyeret kehangatan cahaya.

"Tapi ... besok .... " Faris menggeleng, seperti masih tak percaya dengan apa yang dialami.

"Lebih cepat lebih baik, Le. Siapkan dirimu. Kamu akan melamarnya besok. Jangan lupa murajaah hafalanmu. Ia menginginkan mahar itu, Le."

Abah pergi, meninggalkan Faris yang masih tergugu di tempat. Keringat mengucur deras di sekujur tubuh pemuda itu. Sepertinya, waktu terlalu cepat berlalu.

Bumi seakan berlari, meraih masa depannya. Matahari turut menyorot, menatap setiap pertumbuhan yang telah ia alami.

Benarkah masa remajanya akan direnggut oleh perjodohan ini?

Umi yang sedari tadi duduk di sampingnya menatap pilu. Melihat Faris yang sedang mengalami pergulatan batin. Ia tahu, pasti tidak mudah menerima kenyataan ini.

"Ris ...." Umi memajukan sedikit badan hingga semakin dekat dengan Faris. Membiarkan bahunya sebagai tempat bersandar dari keluh kesah sang buah hati.

Perasaan ibunda turut berduka. Menatap gurat mata kesedihan dari Faris. Jemari lentiknya mengusap rambut tak tertata milik sang putra.

Faris masih diam. Merasakan sekujur tubuhnya mulai hangat saat tangan halus umi mulai menyentuh badannya. Sedikit menenangkan, tetapi belum cukup.

"Abah cuma kepingin kamu jadi orang yang tidak terlena dengan manisnya dunia. Tidak akan terjerumus dan tergoda oleh godaan setan. Tetaplah berpegang teguh kepada agama, Ris. Peluklah dalam-dalam iman di hatimu."

Faris mendongakkan kepala, menatap umi yang juga menatapnya penuh cinta. Wanita itu tersenyum di antara keriput wajah yang ada. Sesungging senyum yang mampu menentramkan hati. Faris tersenyum, paksa.

Katanya, surga ada di telapak kaki sang umi. Ia juga tak bisa terlahir tanpa darah daging dari abah. Insya Allah, ia akan berusaha meraih surga walaupun dengan hati yang lara.

Semoga saja, mereka menyukainya.

***

"Umi ...." Seorang gadis tersenyum sembari mengaduk sup dari panci yang ada di kompor. Api menyala-nyala, berkobar membakar semangat sang gadis untuk belajar memasak.

Wanita yang dipanggil umi mengulas senyum. Tangannya terampil menguasai dapur.

"Supnya sudah matang, La. Bantu umi menaruhnya ke mangkok besar itu." Jemari lentik Asiyah menunjuk sebuah mangkuk sup besar di rak. Aqila mengangguk, mengambil.

Aroma tercium sampai meja makan. Ilham mengusap perut. Pulang bekerja lalu menunggu hidangan adalah hal yang nikmat baginya. Sedangkan nenek, duduk-duduk di depan tv masih membaca Alquran.

Aqila tersenyum, membawa mangkuk besar penuh sup itu menuju sang ayah angkat.

Seminggu telah berlalu. Cepat sekali bumi berotasi. Hari telah bermetamorfosa menjadi minggu. Keluarga itu akrab, seiring berjalannya waktu. Tak ada satu pun yang mengungkit kenyataan jika Aqila adalah anak angkat di rumah itu.

"Aqila pinter masak ternyata," kata Ilham sembari mencium aroma kuah yang masih ada di tangan Aqila.

Semburat rona merah hadir di kedua pipi mungilnya. Hidungnya kembang kempis. Ilham yang notabenya menjadi abi angkat Aqila tertawa renyah. Gadis remaja itu lucu.

Perlahan nenek hadir di tengah-tengah mereka. Suasana kembali menyelimuti keluarga harmonis itu. Sesekali diiringi tawa pecah dari mereka saat mengobrolkan sesuatu yang tidak terlalu penting.

"Bagaimana kerjanya, Ham?" Nenek menatap Ilham yang masih sibuk memasukkan sesuap nasi. Mereka menunggu hingga selesai mengunyah.

"Alhamdulillah, Mi. Sejauh ini tidak ada halangan apa pun. Doakan saja tidak ada. Ya Humaira," panggil Ilham kepada Asiyah.

Aqila tertawa dalam hati, menatap umi angkatnya sedang berperang melawan rona pipi dengan memalingkan wajah.

"Duh, romantisnya." Aqila tertawa terpingkal-pingkal saat melihat Asiyah salah tingkah hampir menendang meja. Keduanya mengekori.

"Jangan ditiru abimu yang suka menggombal ini ya, La?" Nenek angkat bicara setelah mulai berhenti tertawa. Napasnya kembali teratur. Ia menyeka air mata akibat kebanyakan tertawa.

Sementara Asiyah, sebagai pusat perhatian, mulai menjawil Ilham. Senyumnya masih dihiasi rona, tetapi ia coba sembunyikan.

Sayang, Ilham tahu akan hal itu. Lelaki itu malah tambah tertawa.

"Lihat-lihat itu. Hidungnya kembang kempis," kata Ilham sembari memegangi perutnya yang sepertinya sakit akibat banyak tertawa. Asiyah melengos, mendengkus kesal.

Mereka kembali tertawa.

Aqila menatap mereka satu per satu. Semburat kebahagiaan hadir di wajah mereka.

Mungkin ia akan jadi gadis paling bahagia di dunia ini. Memiliki mereka.

Lamunannua terpecah saat Ilham memanggil. Aqila yang tadi menyangga kepalanya kini sedikit mendongak. Mereka menatap Aqila penuh cinta.

"Selamat Sayang, minggu depan kamu sekolah." Ilham memandang anak angkatnya penuh arti. Gadis yang malang, pikirnya.

Lawan bicaranya membelalakkan mata. Tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Ilham barusan.

"Apa, Bi?"

"Sekolah, Sayang ...." Asiyah menghampiri Aqila, lalu mengusap jilbab gadis itu penuh sayang.

"Bukankah ini terlalu berlebihan? Aku, kan—" Ucapannya terhenti saat melihat ekspresi mereka yang menurutnya sendiri aneh.

"Kamu sekarang sudah jadi bagian dari kami, Nduk." Nenek yang sedari tadi diam menikmati setiap dialog kami kini memilih untuk bergabung.

Sepersekian detik berikutnya, Aqila mulai tersenyum. Kembali menatao mereka satu per satu yang juga menatapnya penuh sayang.

Benar-benar keluarga yang baik, kata Aqila dalam hati. Beribu kata terima kasih terucap di bibirnya.

"Sekolah mana jika boleh tahu?" Mata Aqila berbinar, semangat telah menguasai hampir separuh dirinya.

"Madrasah Aliyah Negeri 1 Randuacir."

Deg!

Sekolah itu .... Sekolah dekat pondok pesantrenku dulu, keluh Aqila dalam hati.

Aqila [END]Where stories live. Discover now