18. Takdir Cinta

3.2K 238 0
                                    

Seorang gadis tengah berdiri mematutkan diri di cermin. Sesekali membenahi gamis merah muda yang dipakai.

Wajah gadis itu memancarkan caya sendu. Matanya memerah akibat semalaman mencurhkan segala keluh-kesahnya kepada tetesan air mata.

Semalam, ia berharap jika hari ini ada keajaiban. Sayang, sampai detik ini pernikahan itu akan dilaksanakan.

Jahat memang, jika ia berharap seperti itu. Mengobrak-abrik pernikahan seseorang di dalam angan, berharap jika pernikahan itu tidak akan terjadi. Atau paling tidak diundur beberapa minggu lagi.

Kepalanya kembali terngiang ucapan Faris kemarin di taman. Jangan mencintaiku katanya? Gadis itu tersenyum getir di depan cermin. Air matanya menetes sedikit demi sedikit. Hatinya sesak, benar-benar sesak.

Jika sudah begini, siapa yang akan disalahkan? Faris yang memang berhak berkata sedemikian rupa, atau Allah, sang Mahapembolak-balikkan hati yang sudah menganugerahkan sebuah fitrah cinta yang saat ini ia rasakan. Bodoh jika ia menyalahkan Raja dari segala raja di muka bumi ini.

Bukankah cinta itu seperti bunga: indah dan menentramkan hati. Yang kadang-kadang akan bermetamorfosa seperti tombak yang mampu menikam sang pemilik hati?

Bukankah cinta itu seperti kaktus di gurun pasir, yang mampu menahan diri dari gersangnya matahari, tetapi tak mampu hidup di dunia beriklim dingin? Bukankah itu hukum alam? Benarkah ia salah menempatkan hatinya?

Oh atau ... cinta itu seperti narkoba, yang pertama-tama mampu mengobati beberapa luka tetapi jika dikonsumsi terlalu banyak akan membuat peminumnya seperti monster? Memiliki ketergantungan yang tinggi hingga bisa meregang nyawa secepat itu.

Tinggal ia sendiri yang memilih dan melakukan. Akan menjalin cinta berakhir tragis atau tidak. Itu adalah hukum alam. Hukum yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada makhluk-Nya. Hukum yang dijanjikan Sang Khalik kepada para hamba-Nya. Hak yang sedari dulu sudah tertanam dalam setiap jiwa manusia: memilih.

Pertanyaannya sekarang, apakah ia memilih jalan yang benar, atau jalan yang salah? Pertanyaan itu meletup-letup bagaikan popcorn di otaknya. Dan pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah mencintainya adalah jalan yang salah. Hingga ia mampu sesak dalam menjalaninya?

Ataukah sesak merupakan salah satu hukum alam mencintai seseorang?

Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk, sedetik kemudian berderit. Muncul Asiyah dari balik pintu.

"Sayang ... sudah selesai berbenah?" tanyanya sembari mengelus lembut jilbab yang dikenakan Aqila. Gadis itu tersenyum simpul, menunduk. Tak akan ia biarkan Asiyah menatap matanya yang memerah.

"Iya, Umi. Jangan khawatirkan Aqila. Sebentar lagi selesai, kok. Nanti Aqila menyusul ke ruang tamu." Aqila pura-pura mencari sepatu yang akan dikenakan. Ia tidak suka saat-saat seperti ini.

Saat di mana ia akan membiarkan hatinya tercabik-cabik hanya dengan melihat lelaki yang dicintainya melafalkan qabul. Lebih baik ia di rumah.

Benarkah ia akan baik-baik saja hari ini?

***

Suara iring-iringan hadrah masuk ke telinga. Padi-padi yang dilihat Aqila dua hari yang lalu kini berubah menjadi lebih megah. Kerumunan orang beberapa detik berikutnya akhirnya membuat barisan menyerupai segaris bidang lurus. Kaum wanita dengan Bu Nyai, dan yang laki-laki dengan Pak Kiai. Di samping Bu Nyai, sudah ada besan. Dan sebaliknya. Tradisi temanten Jawa belum saja hilang dari peradaban pondok ini.

Dada gadis itu bergetar saat melihat pelaminan di sana. Dari jauh ataupun dekat, efeknya tetap sama: menyesakkan. Ya, Aqila benar-benar sesak. Ia tak bisa membayangkan bagaimana Faris menjabat tangan Pak Kiai sembari melafalkan kalimat sakral itu yang dengan bodohnya ia berharap bisa mendapatkan itu.

Aqila [END]Where stories live. Discover now