Jeon bastard

28.3K 2.6K 192
                                    

Keberanianku pupus sudah di Minggu pagi ini. Barangkali aku harus menjejakkan kaki keluar dari kamar hanya untuk mengisi perutku yang sudah keroncongan sebab melewatkan jam sarapan. Namun, aku urung kembali niatku itu secepat mungkin. Aku tidak mungkin keluar setelah apa yang ku perbuat kemarin. Tindakan ku memang tidak bisa ditolerir, tapi parahnya lagi tindakan tidak senonohnya yang patut dipertanyakan.

Jungkook itu sudah resmi menjadi ayah tiriku, apa wajar dia mencium ku dan berbuat intim seperti itu?

Kemarin adalah posisi intim yang pernah kurasakan seumur hidup. Aku tidak pernah berada dalam skala terdekat seperti itu dengan lawan jenis. Tipikal perempuan dengan perangai yang elok, aku termasuk di dalamnya.

Tertunduk lesu seraya mendudukkan diri di bibir ranjang, lantas mengacak-acak surai panjangku dan kembali mondar-mandir. Kebiasaan yang kulakukan saat dilanda kebingungan. Aku akan mondar-mandir dan menggigit pelan jemariku.

"Sial. Apa yang harus kulakukan?" Aku mendesah pelan. Memerhatikan perutku yang kembali berbunyi untuk kesekian kalinya. Beruntung saja ini hari Minggu. "Aish! Aku lapar."

Berada disini tanpa melakukan apapun tentu tidak akan mengubah apapun. Aku jelas harus bertindak sekarang. Tapi keluar dari kamar adalah opsi terburuk jika aku melakukannya. Aku tidak dapat membayangkan apa yang terjadi saat bertatap muka dengan si Jeon Jungkook itu. Ah, maafkan aku yang terdengar tidak sopan. Hanya saja, panggilan ayah untuknya barangkali tidak cocok untuk dilantunkan bibirku. Sebab, Jungkook terlihat masih muda. Dan mempunyai ayah dengan rentang umur yang tidak jauh denganku adalah hal yang tidak pernah aku bayangkan.

Aku merasa heran, apa yang dilakukannya sampai-sampai ibu jatuh cinta pada lelaki muda itu?

Merebahkan diri lagi ke atas ranjang seraya menekan pelan perutku guna mengganjal lapar kendati itu terdengar mustahil, aku menatap langit-langit kamar dengan perasaan yang berkecamuk tanpa sebab.

Kemarin, Jungkook sempat meminta pertanggungjawaban setelah aku menendang aset berharganya.

Maka dari itu, kemungkinan terbesarnya aku memang tidak bisa keluar seharian ini dari kamar. Ah, maksudku selama tidak adanya ibu—what! Itu artinya seminggu?!

Refleks aku terduduk dengan wajah menegang. Tidak. Tidak bisa. Aku pasti akan mati tanpa makan, minum dan aktifitas lainnya.

Geez!

"Tidak tidak," aku bergumam penuh angkara. Berjalan menuju cermin dan memerhatikan refleksi ku yang tidak karuan di sana. "Aku harus keluar dari sini. Mengambil makanan sebanyak mungkin dan cemilan di lemari pendingin sebagai persediaan sampai tengah malam nanti. Lalu selanjutnya aku akan aman di dalam sini, dan tidak akan keluar lagi," putusku mantap. Mengulas senyum puas, "Ya! Itu ide yang bagus!"

Aku menyugar surai depanku yang berjatuhan, menyisir rambut asal menggunakan jemariku. Lantas menarik napas dalam-dalam, meyakinkan diri sendiri bahwa keputusan yang aku ambil tidaklah salah.

Baiklah. Jangan skeptis. Aku harus melangkah pasti keluar sana.

Jika saja Jungkook berani berbuat macam-macam lagi, aku akan melawannya. Memiting leher besar itu, memukul, menendang aset berharganya lagi lebih kuat—empiris yang menakjubkan.

Perlahan tungkai ku mulai melangkah menuju pintu kamar bercat cokelat tua. Mengulum bibir sejenak begitu sampai di sana dan menghentikan langkah.

"Tenang, Jiyeon. Tenang," ujarku menenangkan diri sendiri. Mengepalkan kedua tangan ke depan sebagai bentuk penyemangat ku. "Aku pasti akan baik-baik saja."

Baiklah, ini tidak buruk. Aku mulai memutar kunci kamar dan membuka daun pintu perlahan-lahan lantaran menghindari sebisa mungkin decitannya.

Melongok sejemang seraya menyembulkan kepala di celah kecil pintu. Memerhatikan rumah besar itu yang diselimuti keheningan dan kehampaan. Tidak ada masalah apapun. Aku belum disuguhi presensi Jungkook. Semoga ia tidak berada di rumah kendati itu terdengar mustahil. Sebab, ini adalah hari Minggu. Jungkook tidak akan bekerja di hari libur.

ʏᴏᴜɴɢ ᴅᴀᴅᴅʏ ✓Where stories live. Discover now