XVI

9.9K 669 26
                                    

"Perasaan kau gak pernah pinjam apa-apa beberapa hari ini, Buk." Dia menyembunyikan kesedihannya dengan mencoba bersikap biasa, layaknya sedang tidak terjadi apa-apa.

Kurogoh tas selempang di lengan kananku. Mengambil buku note berwarna coklat muda. Meletakkan di meja rendah di depannya.

"Ini bukumu, Nim. Mungkin ketinggalan pas kamu nginep kemarin." Tatapanku masih tertuju pada buku yang tak terlalu tebal itu.

"K-kok bi-bisa?" ekspresi kagetnya terlihat jelas.

"Mungkin jatuh dari tasmu. Dan ... Maaf, a-aku lancang membacanya tanpa seizinmu," jelasku dengan tangan yang gemetar halus, "Ta-tapi bukan maksudku berlaku lancang, Nim. Aku hanya ingin memastikan kepemilikan buku itu, namun tak kutemui coretan nama satupun di dalamnya. Hi-hingga ku pastikan itu milikmu, setelah aku membaca tulisan di dalamnya. Ma-maafkan aku, Nim." lanjutku.

"K-kau membacanya, Sya?" suaranya terdengar lirih.

"Ma-maaf, Nim"

Tak ada jawaban.

Kualihkan pandanganku dari meja kecil ini, memandang Hanim dengan sendu. Dia terlihat mengusap ujung matanya yang mulai basah. Memandangku dengan mata yang berkaca-kaca dengan bibir yang berkerut menahan isak tangis.

Dia memelukku, tanpa kata. Memelukku erat, menumpahkan tangisnya di bahuku. Badannya bergetar karena isakan tangis yang terlalu keras. Kupeluk gadis konyolku erat. Menguras tangis di waktu yang bersamaan.

Masih tanpa kata.

Gadis konyolku terdiam. Pelukannya mulai sedikit merenggang.

"Apa aku terlalu cengeng karena hal sekecil ini?" Dia melepaskan pelukkannya. Menatapku dengan senyum merekah yang dipaksakan.

Aku menggeleng.

"Kita seperti bocah yang nangis gak jelas saat rebutan mainan ya?" Dia kembali tersenyum, hampir terlihat tertawa.

Aku mengangguk.

Melihat dia kembali tersenyum. Kuhapus sisa-sisa air mata yang menggenang di ujung mata. Aku memandangnya, tersenyum.

"Sudah, abaikan saja rasa gak jelasku pada kak Raihan, Sya." Dia memegang tanganku lembut, tangannya dingin.

"Ta-tapi, Nim. Biar aku yang mundur aku tak apa, Nim." Kutatap wajahnya dengan senyum.

"Jangan gila, Sya! Ngawur kamu!" Tawanya ringan.

"Ta-tapi, Nim ... "

"Sudahlah, Sya. Cinta yang bagaimana yang kau pilih? Bagaimana jika kau tidak bisa memilih, tapi hanya bisa menerima yang Tuhan pilihkan untukmu?" tanyanya mengintrogasi.

"Aku percaya, apa yang Tuhan pilihkan tidak akan pernah main-main, Nim" jawabku menatapnya.

"Lah maka dari itu! Kak Raihan itu sudah di pilihkan Gusti Allah untukmu, Nona!" Nada bicaranya sudah mulai membaik tanpa terdengar parau sebab tangis.

"Kamu?" tanyaku memastikan hati dan cintanya.

"Halah, gak usah dipikirkan! Lagian aku juga takut kalau sampai nikah sama kak Raihan." ungkapnya.

Takut? Apa kak Raihan terlihat begitu menakutkan? Atau, Hanim mengetahui sesuatu yang tidak baik dari kepribadian kak Raihan, yang belum kuketahui?

"Takut?" tanyaku penasaran.

"Iya, kak Raihan kan putra dari seorang Kyai yang punya pondok besar. Takut kalau nanti pas jadi istrinya kak Raihan di suruh ngajar diniyah, apalagi pas pelajaran Nahwu, Shorof, Balaghoh, Faroid sama Mantiq. Biyuuh! Bisa puyeng-puyeng aku, Sya" Tawanya menggelegar.

Gadis Tanpa GelarDonde viven las historias. Descúbrelo ahora