XXX ~Gelar yang Sesungguhnya~

20.1K 1K 173
                                    

"Pripun Ummah, diizini mboten?"

Pemuda ini memelas, duduk di atas karpet tebal berwarna merah ini dengan sesekali memijat lembut kakiku, merayu.

"Tidak, Ummah gak ngizinin pokoknya," tegasku.

Dia mendekatkan wajah melasnya itu di pangkuanku. Menyandarkan kepala dengan peci hitamnya itu di pinggiran shofa coklat susu yang saat ini kududuki. Sesekali dengan mengedarkan senyum sok manisnya sebagai rayuan maut.

"Ayolah Ummah, ini sudah Rayyan planing dari jauh-jauh hari." Melasnya sekali lagi.

Aku menggeleng sambil melanjutkan membaca buku tebal di depanku yang sempat terabaikan.

"Bah, rayukan Ummah dong, biar Rayyan diizini naik gunung."

Kini tatapannya beralih pada abahnya. Mencari pasukan untuk mencoba merayuku. Pemuda ini seolah tahu jika aku paling tidak kuat bertahan dalam pendirian jika abahnya yang merayu.

Yang dimintai pertolongan malah duduk di sampingku dengan senyum menggoda.

"Yang mau naik gunung siapa, yang harus ngerayu siapa," jawab abahnya mengejek.

"Ah ayolah, Bah."

"Coba saja rayu ummahmu sampai bisa, biar Abah lihat seberapa kuat pendirian ummahmu jika kamu yang merayu."

Abahnya malah menantang. Okey, Aisya! Kuatkan pendirianmu!

"Setidaknya kasih kisi-kisi bagaimana cara manjur merayu ummah, Bah."

"Kisi-kisi? Kamu pikir ummah soal ujian nasional!" rajukku.

"Oh ayolah Ummah!" rayunya dengan memainkan alisnya.

"Tidak!"

Aku masih sanggup mempertahankan tekadku dengan baik hari ini. Melihat betapa abahnya menantangku, membuat tekadku semakin bulat.

"Abah, njenengan pernah naik gunung mboten?" tanyanya pada abahnya.

"Pernah,"

"Berapa kali Abah naik gunung?"

"Sering, entah berapa kali."

Pemuda itu menampakkan senyum misteriusnya, seperti tengah menemukan sesuatu yang akan membuatnya menang dari peperangan.

Rayyan kembali menatapku dengan meraih tanganku yang memegang buku tebal bacaanku.

"Ummah, Abah saja sering naik gunung, masak Rayyan mboten pareng sih?"

"Rayyan, bulan lalu sampean sudah naik Gunung Penanggungan, bukan?" ingatku. Berharap pemuda itu mengingat bahwa dia sudah pernah berkali-kali naik gunung.

"Tapi ini lain, Ummah. Ini Semeru, gunung tertinggi di pulau Jawa," elaknya.

"Apa bedanya? Toh pemandangannya juga sama saja, sama-sama hutan."

Kubaikan bagaimana pemuda ini mengekspresikan wajahnya. Wajah yang mengguratkan ekspresi tak percaya, menahan tawa dan juga rasa kecewa yang ketara. Campur aduk.

"Astagfirulloh, Ummah mainnya kurang jauh!"

Dia tertawa, kali Abahnya juga ikut tertawa. Rayyan ini adalah cerminan Abahnya. Dari wajahnya, sifatnya, dan juga pola berpikirnya, hampir sama. Bahkan cara mengejeknya pun sama.

Aku sejenak terdiam.

"Leh, Ummah bukan bermaksud untuk melarangmu melakukan hal yang kamu sukai," aku menghela napas panjang sebelum melanjutkan ucapanku. "Ummah hanya khawatir saat sampean naik gunung, bagaimana kalau nanti ada apa-apa?"

Gadis Tanpa GelarDonde viven las historias. Descúbrelo ahora