XXI

11.1K 737 64
                                    

Satu bulan menikmati pernikahan yang tak pernah sekalipun terbesit dalam benak. Menikah dengan keluarga pesantren. Seperti hanya angan, angan-angan gila saat masih nyantri dulu. Berharap menjadi separuh hidup dari seorang Gus. Angan gila.

Tak juga terbesit pun dalam suasana seperti saat ini, saling melempar canda di tengah kegiatan masak di pagi hari bersama dengan ibu, ibu mertua. Ibu adalah sosok yang lembut, hangat dan pengertian kepada anak-anaknya, tak terkecuali anak mantu sepertiku. Seakan-akan tak ada bedanya mana anak dan mantu. Beliau memberikan kasih yang sama. Ibu bagi ribuan santri pesantren ini juga tentunya.

Sebulan sudah gadis tanpa gelar seperti diriku ini tinggal di sini. Berangkat kuliah dari sini, belajar, makan, tidur, dan melakukan apapun di sini. Mengabdi kepada abah, ibu, dan suami. Tentunya.

Nikmat Allah sungguh sempurna. Bahkan, seperti tidak ada cela bagiku untuk mengeluhkan nikmat-Nya.

***

Sekilas terhirup aroma masakan dari dapur santri putri. Aroma menyengat nan nikmat, aroma bahan-bahan sambel yang di goreng. Juga aroma sesuatu yang di bakar, jagung bakar kah?

Kuhampiri segerombolan santri putri yang tengah sibuk di dapur luas itu. Suasana yang mengingatkan ku saat di pesantren dulu. Mengabaikan penampilan, satu setel baju lengkap dengan sarung yang sedikit model morot, juga jilbab yang miring dan sedikit mundur hingga beberapa anak rambut terlihat keluar. Keseruan memasak bersama lebih peting daripada penampilan. Apalagi dengan bumbu-bumbu candaan dan ghosip. Jika seperti itu, di suruh masak satu karung beras-pun mereka tak akan bosan. Candaan dan ghosip.

"Eh, Ning. Wonten nopo? Ada yang perlu kami bantu?" tanya mereka heran melihatku datang menghampiri mereka di dapur pondok.

"Ah, enggak kok Mbak. Cuma mau lihat-lihat." jawabku santai sambil ikut duduk lesehan bersama mereka.

"Monggo, Ning"

Mereka tampak sungkan melihatku duduk lesehan. Aku selalu suka jika berkumpul dengan mbak-mbak pesantren, serasa punya teman ngobrol. Juga sedikit mengenang masa-masa nyantri. Tetapi mereka seperti menaruh sungkan atau rasa ta'dzim karena aku seorang istri dari Gus mereka. Padahal berulang kali aku meminta mereka bersikap biasa saja.

"Mau ada acara apa, Mbak? Kok masak-masak?" tanyaku sambil mengotak-atik bahan masakan mereka. Ada tahu, tempe, telur, terong, beberapa sachet tepung bumbu sajiku, tomat lengkap dengan terasi, bawang dan cabai.

"Mboten wonten acara nopo-nopo, Ning. Mantun ro'an terus lapar jadinya masak." jawab salah satu mbak-mbak berpostur subur itu sambil tersenyum lebar.

Pantesan! Lah wong habis ro'an. Ro'an adalah kegiatan membersihkan pondok di beberapa sudut tertentu ataupun keseluruhan secara bersama-sama. Sama seperti gotong-royong, hanya saja kalau di pondok pesantren menyebutnya ro'an. Kegiatan seperti itu memang rawan menyebabkan lapar. Apalagi biasanya dilakukan pagi hari di hari jum'at. Pagi hari, banyak yang belum sarapan.

"Owalah, trus ini mau dimasak apa?" tanyaku mengakrabkan diri.

"Niku di goreng biasa mawon, Ning." jawabnya sopan dengan sesekali memerhatikan wajan, takut tempenya gosong.

"Lah ini terongnya kok gak di goreng?" Dengan menunjuk lima terong di sebelahku.

"Niku teronge badhe di bakar, Ning. Menghemat minyak goreng, Ning." jawabnya polos, sambil di iringi kikikan tawa dari teman-temannya. Aku pun ikut tertawa. Menghemat minyak goreng katanya. Hahaha.

Salah satu dari mereka menuangkan tepung bumbu sajiku di sebuah mangkuk, kemudian di tambahkan air hingga menjadi cair dan tidak begitu kental. Lalu menggorengnya menjadi beberapa bagian. Di goreng? Tepung bumbu sajiku di goreng tanpa di campur dengan lauk apapun? Aku kira tepung bumbu tadi akan digunakan untuk melapisi tempe atau tahu. Ternyata tidak.

Gadis Tanpa GelarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang