-17- Painful

206 63 39
                                    

🐾🐾

"Terserah." jawab Arga pasrah.

Masih di tempat yang sama dan dengan topik yang sama. Matahari sudah menampakkan dirinya lebih banyak dari sebelumnya.

"Kira-kira siapa nama yang bagus buat ikan ini?"

Arga menoleh. "Nemo?"

Bibir Anna mengembung. "Ini ikan cupang bukan ikan badut, Ga." kesal Anna, pasalnya itu adalah nama ikan yang sering ia tonton di tv.

"Ya terserah lo lah! Kan itu ikan lo."

"Kan gue minta pendapat lo, Ga!"

"Gue udah usulkan nama Nemo, tapi lo gak mau kan?" kata Arga sengit. Sebenarnya ia senang diajak berdebat dengan Anna.

"Ya, yang lain kek kan banyak. Yaudah lo diem, biar gue yang mikir."

Arga mengangguk. Anna kembali diam, terlihat seperti sedang berpikir keras.

"Uci nama kucing gue," Anna menggaruk hidungnya. "Gimana kalau ikan ini namanya Ica?" seru Anna ceria.

Sontak Arga melotot. "Ica bendahara kita bego!"

"Bodo amat, emang dia tau ikan gue namanya Ica?" jawab Anna santai.

Arga geleng-geleng heran. "Serah lo, Na."

Beberapa saat setelah perdebatan kecil itu, Anna merasakan kantong celana nya bergetar. Dengan cepat Anna merogoh ponselnya.

Disana tertera nama Tina. Ada sedikit rasa lega karena Tina mau menelponnya, namun ada rasa bingung ada apa Tina menelponnya pagi-pagi begini.

Langsung saja ia menggeser ikon hijau di layar ponselnya.

"Hallo, Tin? Ada apa?" tanya Anna setelah panggilan terhubung.

Namun ternyata bukan Tina yang menelponnya, itu suaranya Bi Ina.

"Ada apa, bi?"

Anna mematung, tangannya melemas ketika mendengar penjelasan Bi Ina. Dengan cepat Anna menarik Arga.

"Ga! Ayo ke rumah sakit sekarang! Buruan!"

Arga yang tidak mengetahui apapun, terdiam. Merespon dengan wajah bingungnya.

"Siapa yang sakit?"

"Tina, dia masuk rumah sakit. Kita harus kesana sekarang, Ga! Dia butuh gue!" Anna yang terlihat cemas sangat mengundang simpati Arga. Saat ini Arga juga bingung harus kesana dengan apa? Semua kendaraanya ada dirumah.

"Itu ada angkot, ayo."

Dengan cepat mereka berlari menuju angkot yang dilihat Arga. "Pak anter ke rumah sakit Tjika Medika."

Namun kemungkinan mereka akan terlambat sampai di rumah sakit, karena sedari tadi angkotnya masih belum memberikan tanda-tanda akan bergerak.

Dengan kesal Arga berteriak. "Pak bisa jalan sekarang gak? Kita buru-buru pak! Perlu saya bayar lebih?"

"Sabar ya mas. Saya lagi nunggu penumpang, kalo angkotnya belum penuh saya gak bisa berangkat sekarang." jelas supir  paruh baya itu, yang sedang mengelap pelipisnya dengan handuk yang warnanya sudah tidak putih lagi, tersampir di bahunya.

"Bapak mentingin penumpang daripada teman saya yang lagi kritis di rumah sakit?" Kini giliran Anna yang menimpali.

"Ya sudah." Dengan berat hati meninggalkan penumpangnya, akhirnya supir itu menurut dan segera menuju rumah sakit.

Anna hanya bisa berharap-harap cemas. Seketika pikiranya teringat saat ia tak sengaja menemukan Tina yang batuk berdarah di toilet sekolah. Penyakit apa yang Tina derita? Mengapa ia tidak mengetahuinya.

Saat itu juga Anna merasakan genggaman hangat yang Arga berikan. "Semua pasti baik-baik aja."

Mendengar sederet kalimat menenangkan yang terlontar dari Arga, membuat ia sedikit merasa lega bahwa masih ada orang yang mau mendampinginya.

Anna menunduk seraya tersenyum tipis.

***

Begitu angkot berhenti di depan rumah sakit, tanpa menunggu apapun Anna berlari kedalam meninggalkan Arga yang sedang membayar ongkos.

Anna memasuki lift dibelakangnya ada Arga yang berhasil menyusulnya. Di tekannya angka 4 dan lift pun bergerak. Saat diperjalanan tadi Bi Ina telah mengirim letak ruangan perawatan Tina.

Setelah menyusuri beberapa koridor yang panjang, akhirnya ia melihat Bi Ina yang berdiri cemas di depan pintu ruangan itu.

Anna menghampiri Bi Ina dan langsung memeluknya. "Bi, Tina dimana?" tanya Anna berusaha menahan air matanya agar tidak keluar saat melihat Bi Ina menangis.

"Tina di dalam, non."

Anna mengusap punggung Bi Ina mencoba untuk menenangkan. Ia tidak berani menanyakan lebih jauh tentang Tina, karena takut membuat Bi Ina tambah menangis. Anna tau Bi Ina telah menganggap Tina seperti anaknya sendiri.

Disana Arga hanya terdiam, ada sedikit rasa menyesal karena telah memberikan Tina perkataan yang kasar tempo hari.

Tak lama seorang pria yang tampak beberapa tahun lebih tua dari Anna keluar dengan jas putih kebesarannya.

"Dok, gimana keadaan anak saya?" Bi Ina langsung mendahului untuk bertanya. Anna mendengar ketulusan saat Bi Ina mengatakan 'anak saya'.

"Anak ibu sudah kami berikan antibiotik dan obat penenang. Apa anak ibu sedang banyak pikiran akhir-akhir ini?" tanya dokter itu.

"Saya tidak tahu, dok. Dia tidak pernah bercerita apapun dan selalu mengurung dirinya di kamar." jelas Bi Ina.

"Tolong, jangan biarkan anak ibu terbebani dengan pikirannya. Itu akan memperburuk keadaannya, bu. Baik kalau begitu saya permisi."

"Iya dok, terima kasih." Bi Ina terduduk lemas dengan Anna yang ikut duduk di sebelahnya, di susul Arga.

Sebegitunyakah besar beban Tina selama ini? Semua ini salah Anna. Kalau saja ia dan Tina tidak bertengkar, mungkin saat ini Tina masih baik-baik saja. Ini salah dirinya, membiarkan Tina berpikir keras di setiap harinya. Ini salah dirinya yang telah merebut Arga, sehingga membuat gadis itu tersakiti dan sakit seperti itu.

Air mata Anna terjatuh. Ia menyesali semuanya. Sahabat macam apa dirinya? Hanya karena satu masalah kecil yang bisa diselesaikan dengan baik, justru malah berakhir seperti ini.

Anna merasakan tangan besar yang mengusap pipinya. Anna menurunkan tangan Arga, dan mengusap air matanya. Dan tersenyum menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja.

Walau sebenarnya jauh dari kata baik.

***

Happy Halloween pembaca setia Annelise hehe. Ini special loh aku ngetiknya malem-malem.

Kasih vote dan komentar kalian ya.

See ya♥

AnneliseWhere stories live. Discover now