O4

4.1K 684 47
                                    

Jeongin terbangun tepat pukul dua dini hari. Changbin masih setia tertidur dengan pulas di sampingnya. Sebelum tidur semalam, pemuda itu sudah memperingatkannya untuk tidak mengganggu waktu tidurnya yang terhitung sedikit.

Keduanya memang tidur di ranjang yang sama. Alasan pertama, rumah Changbin hanya memiliki satu kamar kosong yang layak ditempatiㅡ tak lain adalah kamarnya sendiri sementara kamar lain masih dalam tahap renovasiㅡ dan baik Changbin maupun Jeongin tidak ada yang mau mengalah untuk tidur di atas sofa.

Jeongin menggerakkan badannya yang terasa kaku. Terkadang jauh dari rumah dan ranjang tidur milikmu juga ikut mempengaruhi kualitas istirahatmu. Jujur saja, jika bukan karena kelelahan dia takkan mau tidur di atas ranjang milik orang lain.

Kaki-kakinya yang jenjang dan kurus itu melangkah menuju dapur. Tenggorokannya terasa begitu kering sampai-sampai ia merasa tercekat begitu saja.

Tangannya bergerak untuk menuangkan air dari teko ke dalam gelasnya. Namun, belum sampai ia menuangkannya, tiba-tiba saja tubuhnya terjatuh begitu saja.

PRANGG!

Teko air itu jatuh tak jauh dari tempatnya merebahkan diri. Jeongin tidak bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi dengan teko tersebut. Namun, dari cipratan air yang mengenai tangannya bisa dipastikan jika teko itu hancur berkeping-keping.

Jeongin meremat dada sebelah kirinya yang terasa begitu nyeri. Nafasnya tercekat dan semakin lama nafas yang ia hembuskan semakin pendek.

Rasa sakitnya tidak jauh berbeda dengan apa yang ia rasakan sebelum ini. Bahkan, rasanya mungkin bertambah dua kali lipat lebih menyakitkan.

Ingin rasanya ia berteriak meminta tolong. Namun, untuk sekedar berbicara saja rasanya sulit. Seolah-olah semua hal ini turut menguras energinya.

Sebelum akhirnya terlelap, Jeongin mendengar langkah kaki seseorang mendekat padanya.

Jeongin yakin itu pasti Changbin!

*

Betapa terkejutnya Changbin saat mendapati tubuh kurus Jeongin tergeletak tak berdaya di dapur rumahnya. Tak jauh dari sana ia melihat teko airnya pecah tidak berbentuk.

Memilih untuk mengabaikan barang kurang penting tersebut, buru-buru dihampirinya Jeongin yang tengah merintih kesakitan sekalipun ia telah terlelap.

"Astaga, Jeongin! Apa yang terjadi denganmu?" Ia menepuk-nepuk pelan pipi yang lebih muda, namun Jeongin tetap tidak sadarkan diri.

Tak ingin menunggu lebih lama dan membiarkan hal yang lebih buruk menimpanya, Changbin buru-buru menggendong yang lebih muda dan membawanya ke kamar kembali.

Setelah membaringkan pemuda dalam gendongannya ke atas kasur, tangannya dengan gemetar berusaha menekan nomor telepon yang sudah ia hafal di luar kepala. Tak lama, panggilan itu tersambung dan suara seseorang mulai terdengar dari ujung sana.

"Ibu! Cepat pulang! Yang Jeongin sekarat, bu!"

*

Kini Changbin dan ibunya tengah duduk bersebelahan. Beberapa saat yang lalu, ibunya datang membawa seorang dokter yang tidak dikenali olehnya.

Changbin beberapa kali hendak bertanya, namun urung lantaran raut wajah ibunya terlihat begitu tegang. Keduanya sama sama cemas akan kondisi Jeongin yang secara tiba-tiba menurun secara drastis.

Changbin menggenggam tangan sang ibu dengan erat. "Ibu, dia akan baik-baik saja 'kan?"

"Berdoalah, Changbin." Sang Ibu kembali menatap ruangan tempat di mana Jeongin dan dokter yang tengah memeriksanya berada.

Tak lama berselang, seorang dokter melangkah keluar dari kamarnya. Changbin dan ibunya buru-buru menghampirinya. Dengan hanya melihat raut wajah yang ditunjukkannya, Changbin langsung mengerti ke mana pembicaraan ini akan pergi.

"Dia sekarat," katanya dengan sedih. "Tubuhnya mengalami komplikasi dan usianya takkan lama lagi. Tolong, hibur dia di sisa-sisa hidupnya."

Tak terasa setitik air mata jatuh membasahi pipinya. Changbin akui, Jeongin memang menyebalkan untuk seukuran teman lama yang bahkan tidak mengingat siapa dirinya. Namun, bukan berarti ia merasa baik-baik saja saat tahu pemuda manis itu sedang ada di ambang maut.

"Bagaimana bisa? Bukankah kaumnya terkenal dengan usianya yang panjang?" Tampaknya ibu Changbin masih tidak bisa menerima kenyataan.

Dokter itu menggeleng, "Setelah seorang werewolf di-reject oleh mate-nya, maka yang akan terjadi tak jauh berbeda dengan apa yang ia alami."

"Apalagi, setahuku, Jeongin menolak untuk me-reject balik mate-nya."

Changbin terdiam, jadi ini maksud sesungguhnya dari 'dicampakkan-oleh-tunangannya-?'. Ia tak habis pikir, makhluk mana yang dengan tega meninggalkan mate-nya sendiri demi orang lain.

*

Jeongin tidak mengerti.

Kenapa bisa dia ada di dimensi lain seperti ini. Ya, secara umum bentuknya sama persis dengan distrik di mana dia besar dan dilahirkan. Namun, yang membuatnya heran adalah para penghuni yang berkeliaran di sini.

Mengapa banyak orang ㅡyang setahunya sudahㅡ mati?

Di persimpangan jalan menuju rumahnya tadi, ia bertemu dengan suami ibu angkatnya. Park Chanyeol yang terlihat tidak menua sama sekali.

Dan masih banyak lagi.

"Yang Jeongin?" Sapa suara lembut yang begitu familiar di telinganya.

Ah, betapa terkejutnya Jeongin saat melihat sosok ibu dari Hwang Hyunjin tengah berdiri di hadapannya. Senyumannya merekah, sosok cantik itu tak pernah berubah semenjak terakhir kali ia bertemu dengannya sekitar lima tahun yang lalu.

"Bibi!" Jeongin membalas sapaannya tak kalah riang. Dirinya semakin yakin, ini semua bukanlah mimpi.

Namun, sorot mata wanita itu memudar. "Apa yang kau lakukan di sini, Jeongin? Kau tidak seharusnya ada di sini."

Jeongin tertegun, "Ah itu." Lagi-lagi dadanya terasa nyeri, "entahlah. Aku juga tidak mengerti apa yang aku lakukan di sini. Sebelumnya aku sedang mengambil minum dan tiba-tiba saja semua tubuhku terasa sakit."

"Apa kau sakit, Jeongin?" Tanyanya dengan sorot cemas, "apa Hyunjin tidak menjagamu dengan baik?"

Jeongin menggeleng kuat, tidak setuju. "Bukan begitu! Dia sangat baik kepadaku." Ia terdiam sebelum melanjutkan, "hanya saja, pada akhirnya kami memilih untuk berpisah dan bahagia dengan jalan kami masing-masing."

"Tapi kau sekarat, Jeongin." Jemarinya menyentuh wajah pemuda manis itu yang lebih pucat dari terakhir kali ia bertemu. "Apa yang Hyunjin lakukan padamu?"

"Tidak, tidak. Hyunjin orang yang baik. Dia tidak pernah sama sekali mengecewakanku bahkan membuatku sedih. Dia terlampau baik dan tidak layak bersanding dengan diriku yang serba kekurangan ini." Jeongin menatap kerikil di bawah kakinya dengan sedih.

Wanita itu ikut menitikkan air mata kesedihannya. Ia mengusap wajah Jeongin dengan lembut. "Jangan bersedih, Yang Jeongin. Kau pasti bisa bertahan. Ingatlah janjimu padaku untuk selalu menjaga Hyunjin."

"Nah, sekarang kembalilah ke duniamu."

Mates ㅡ hyunjeong✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang