O5

4K 692 42
                                    

Hyunjin terbangun dengan keringat dingin yang membanjiri sekujur tubuhnya. Sosok mendiang ibunya yang tengah berbincang dengan seorang pemuda yang begitu ia kenal, Yang Jeongin, terus membayanginya.

Ia masih tidak mengira bagaimana mungkin Jeongin bisa ada di dunia, di mana para roh berkumpul?

Maksudnya, apakah Jeongin saat ini baik-baik saja?

Hyunjin merasa tidak tenang, sebelum ia mendengar sendiri suara pemuda manis itu. Sebelum Jeongin sendiri yang mengatakan bahwa ia baik-baik saja.

Kakinya yang jenjang itu dibawa menuruni ranjang. Meninggalkan Lee Felix yang tengah bergelung dalam selimutnya dengan lelap. Tangannya meraih ponsel miliknya yang ada di atas nakas.

Hyunjin melangkah menuju balkon, tempat di mana ia biasa menenangkan diri saat dilanda rasa cemas. Sebenernya, kebiasaan barunya ini muncul tak lama setelah Felix datang kemari. Sebab saat-saat sebelumnya tak pernah sekalipun rasa cemas datang melandanya.

Sumber rasa cemasnya hanya satu. Yang Jeongin, dulunya.

Jika Jeongin selalu ada di sisinya, ia merasa baik-baik saja sekalipun langit yang ada di atasnya runtuh dan tanah tempat ia berpijak ambruk begitu saja.

Tapi, sekarang semuanya telah berbeda. Jeongin, adik manisnya itu, memilih pergi jauh ke tempat di mana ia pernah belajar dulu. Tempat di mana dirinya dipertemukan dengan sang kekasih. Tempat yang membuatnya kesulitan untuk mengawasi adik laki-lakinya.

Panggilannya tersambung, membunyikan nada tut panjang. Sebelum akhirnya terjawab dan suara seorang laki-laki menginterupsi dari ujung sana.

'Halo?'

Hyunjin terdiam.

Tunggu dulu!

Ini bukanlah suara Jeongin!

*

Changbin mengernyit saat tak lagi terdengar suara seseorang dari ujung sana. Ia kembali memastikan nama pada layar ponselnya itu.

Hwang Hyunjin.

Begitulah yang tertera.

"Akan kututup," katanya final, tapi orang di ujung sana kembali bersuara. Jadi Changbin memutuskan untuk menunggunya berbicara terlebih dahulu.

'Maaf, aku mengganggumu malam-malam begini. Tapi, bisakah aku berbicara dengan Yang Jeongin?'

Changbin mendadak bingung. Haruskah ia memberitahukan kondisi Jeongin yang sebenarnya? Dia takut pemuda Hwang itu tak bisa menerima kenyataan akan kondisi Jeongin yang makin memburuk karena dirinya.

Tiba-tiba saja ibu Changbin datang menghampiri. Ia bertanya, memelankan suaranya, "Siapa itu?"

Changbin menjauhkan ponsel itu dari jangkauannya dan berkata, "Hwang Hyunjin."

Kedua mata wanita itu sontak melebar. "Apa dia menanyakan Jeongin?" tanyanya cemas.

Changbin mengangguk. "Ya, apa yang harus kukatakan?"

"Katakan, dia sudah tidur. Jangan pernah memberi tahunya tentang apa yang terjadi pada Jeongin," ujarnya begitu. Ia bergumam lebih pelan, "sudah cukup sekali saja dia menyakiti Jeongin."

"Maaf, tapi Jeongin sudah tidur dan agak susah untuk membangunkannya. Dia agak kelelahan karena perjalanan jauh dan Jeongin memintaku untuk tidak mengganggunya," katanya pada Hyunjin.

Dari seberang sana terdengar helaan nafas kecewa. 'Ah, baiklah. Kalau begitu tolong sampaikan padanya untuk menghubungiku jika ia sudah bangun nanti.'

"Baiklah."

Dan panggilan terputus begitu saja.

Baik Changbin maupun sang ibu hanya saling berpandangan. Lalu, keduanya kembali memandang Jeongin yang masih setia tertidur. Entah kapan dia akan bangun.

Diam-diam Changbin bergumam lirih, nyaris tidak terdengar, "Dasar jahat."

*

Jeongin merasakan tubuhnya yang terasa lebih ringan daripada hari-hari kemarin. Otaknya berusaha mengigat-ingat apa yang telah terjadi padanya kali ini. Memori yang terakhir tertangkap olehnya adalah saat di mana ia mendadak terjatuh di dapur.

Suara cemas Changbin.

Mimpinya bertemu para penghuni distrik yang telah tiada. Mimpinya bertemu sesosok wanita cantik yang tak lain adalah ibu dari mate-nya, dulu.

Jeongin termenung, "Apa ini maksudnya waktuku di dunia tidak akan lama lagi?" Ia menatap refleksi dirinya pada cermin di depannya, "John, apa kau berpikiran sama sepertiku?"

Namun, tak kunjung ada sahutan.

Apa lagi ini? Aneh sekali. Padahal kemarin John masih sering mengoceh pada dirinya tentang tidak setujunya dia akan keputusan Jeongin yang menolak untuk me-reject Hyunjin.

Apakah pada akhirnya John juga memilih meninggalkannya? Setelah semua yang mereka lewati bersama?

Aneh.

Padahal, John sudah bersamanya. Tumbuh bersamanya bahkan sejak sebelum ia mengenal Hyunjin.

Apa mungkin John bisa hidup tanpanya, tapi tidak tanpa Sam? Wolf milik Hyunjin?

'Berhenti berpikiran yang tidak-tidak, Yang Jeongin!'

Ah, suara menyebalkan itu!

Jeongin tersenyum lebar, sementara refleksi dirinya memantulkan wajah kusutnya. Sosok itu tak lain adalah John, wolf miliknya. Jeongin memang tak bisa melihat atau bahkan bertemu dengannya secara langsung.

Jadi, berbicara dengan bayangannya sendiri adalah alternatifnya. Lagipula kalau dipikir-pikir, John itu bagian dari dirinya juga 'kan?

"John, kau sakit?"

John mendecak pelan, 'Kalau kau sakit, aku juga akan sakit, bodoh. Harusnya aku yang menanyakan hal itu padamu.'

Jeongin terkekeh, "Baiklah. Ternyata kita sama-sama sakit." Ia menggenggam erat kedua tangannya dan bergumam pelan, "tinggal menunggu hari di mana aku tidak bisa berbicara lagi denganmu, John."

'Jeongin bodoh, heiㅡ' John tercekat, 'Berhenti berbicara menyedihkan seperti itu. Kau hanya membuat dirimu semakin lemah.'

Jeongin mulai terisak, "Jangan pergi, John. Aku sendirian."

Ah, andai saja John bisa melompat keluar dan menjadikan dirinya sebagai manusia, mungkin sekarang ia akan menjadi orang pertama yang merengkuh Jeongin.

Jeongin, setelah ini ada baiknya jika kau dan aku sama-sama menjadi manusia. Aku akan menjagamu dengan baik. Batinnya pilu.

Bukan maksudnya menyalahi kodratnya sebagai seorang werewolf. Hanya saja, ia terkadang lelah jika hanya bisa memandangi tubuh yang kau huni tanpa bisa menenangkannya di saat ia sedih.

John bergumam perlahan, namun Jeongin masih bisa mendengarnya. 'Aku harap setelah ini baik Sam maupun Hyunjin mendapatkan balasan yang setimpal.'

Jeongin mendecih, "Jangan berbicara seolah-olah kau bisa menerima jika Sam-mu terluka, John."

Mates ㅡ hyunjeong✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang