Dua | Lakuna

5.7K 536 8
                                    

Saat Ibunya meninggal, Rion masih berumur empat belas tahun. Ia kurang tahu dengan jelas penyebab kematian Ibunya apa karena saat itu, yang ia tahu Ibunya hanya sering kelelahan dan tak pernah mau untuk pergi ke dokter. Rion selalu menyarankan agar Ibu ke dokter tapi Ibu selalu berkata bahwa ia hanya butuh istirahat saja. Sedangkan saat keadaan seperti itu, di saat Ibunya membutuhkan perhatian yang lebih, Ayah jarang pulang ke rumah. Ibu sering berkata bahwa Ayah sibuk bekerja. Tapi mengapa apa yang ibunya katakan tak sesuai dengan yang ia lihat?

Sudah tiga kali ia mempergoki ayahnya jalan di hari pekan dengan seorang wanita juga seorang anak lelaki berumur sekitar tujuh tahun. Rion ingin menyapa, tapi tatapan datar ayahnya saat berpapasan dengan matanya mampu mengurungkan niatnya. Ia tak tahu orang yang bersama ayahnya siapa. Ia ingin bertanya tapi tak punya keberanian lebih untuk bertanya. Dan ketika ia bertanya pada Ibu, Ibu hanya berkata bahwa ia jangan pernah mengungkit hal itu lagi.

Sampai akhirnya, ketika Ibunya meninggal, satu bulan kemudian Ayahnya menikah dengan wanita yang pernah ia lihat dan membawa seorang anak lelaki ke rumah. Rion ingin marah tapi tak punya keberanian untuk mengungkapkan amarahnya. Ia kecewa dengan sikap ayahnya yang menganggap dirinya dan ibu tak penting, ia kecewa dengan keputusan ayah menikah lagi tanpa meminta persetujuan dari Rion, dan ia juga muak dengan segala bentuk perintah Ayahnya dan menganggap bahwa ia adalah robot yang akan selalu mengikuti perintah.

Dan cara Rion untuk mengungkapkan amarah dan kecewanya adalah dengan memberontak dan melakukan semua yang Ayahnya larang.

Sejak masuk SMA, ia memutuskan untuk melepaskan label yang ayahnya buat dan mulai hidup sesuka hati. Ayahnya juga orang-orang di sekelilingnya berkata jika ia nakal. Rion kadang merenung, sebenarnya seperti apa anak nakal itu? Tapi tak jarang juga ia menepis pikiran itu dan berkata mutlak kalau ia memang anak nakal.

Rion juga tak mau hidup seperti ini. Tapi ia merasa jika keadaan yang memaksanya untuk hidup berontak. Mungkin ia selalu terlalu terlena dengan bisikan kejahatan dan menutupi semua pikiran baiknya. Rion selalu merasa puas ketika melihat Ayah murka padanya tapi beberapa jam kemudian, ia merenungi perbuatannya. Merasa bersalah tapi tak ada niatan untuk meminta maaf atau pun memperbaiki kesalahannya.
Ia rasa Ayah pantas mendapatkan kemurkaan itu. Ia muak dengan sikap Ayah yang selalu menuntutnya ini dan itu tanpa memikirkan perasaannya. Ia juga muak dengan sikap Ayahnya yang selalu berperan sebagai Ayah yang baik dengan menasehatinya tapi malah melanggar omongannya sendiri. Rion muak dan bersikap berontak mampu membuatnya merasa puas.

Ia benci. Benci ketika melihat Ayah terlihat bahagia dengan Tante Wina dan Dennis, anak Tante Wina. Ia juga benci ketika Tante Wina hamil dan melahirkan Restu sebagai adik tirinya. Ia benci dengan sikap Ayah yang selalu menjajahnya, Tante Wina yang selalu bersikap lembut seolah ia ibu kandungnya, dan juga pada Dennis yang selalu mengajaknya bermain.

Sampai sekarang, di umurnya yang sudah menginjak dua puluh empat tahun, Rion masih membenci keluarganya. Tapi dengan perasaan ini, yang tadinya ia kira bisa melegakan hatinya malah membuat hidupnya tak tenang karena diliputi kebencian.

Sebenarnya untuk apa ia hidup jika dipenuhi dengan perasaan menyesakkan? Untuk apa Tuhan menciptakannya di saat takdir hidup yang Dia berikan tak cukup mampu membuat Rion hidup bahagia?

Eunoia Putri | Seri Self Love✅حيث تعيش القصص. اكتشف الآن