Enam Belas | Manifestasi (Part 3)

3.5K 370 3
                                    

"Jadi, apa kabar?"

Rion bertanya dengan senyum yang tak pernah lepas sejak melihat gelengan kepala Rana. Mereka saat ini sedang berjalan-jalan mengelilingi halaman kampus yang masih mengadakan festival. Lomba-lomba untuk anak berkebutuhan khusus sudah beres, sekarang hanya ada penampilan-penampilan dari mereka.

Anak-anak yang Rana bilang dari Rumah Cinta sudah pulang tadi. Dijemput oleh Om Ghani, yang katanya salah satu teman Rana yang juga mengurus Rumah Cinta. Rana tak ikut pulang bersama mereka karena Rion sempat meminta waktunya.

Rana tersenyum, "Bukannya kita udah saling tanya kabar, yah?" jawab Rana.

Rion terkekeh, "Tadi saya kurang fokus. Jujur aja, Saya agak salah paham sama kehadiran Ilham tadi. Saya mikir kalau Ilham anak kamu."

Rana pun ikut terkekeh,"Iya, Ilham emang anak saya. Di rumah Cinta semua anak manggil saya dengan sebutan Bunda, sih."

Dan saya berharap anak saya juga manggil kamu Bunda, Ran batin Rion tak tahu diri.

"Kamu.. Dari kapan pulang ke Bandung?"

"Sebenernya setahun setelah kamu pulang, saya juga pulang ke Bandung, alhamdulillah saya bisa nyelesain kuliah lebih cepet. Saya juga sempet kerja di Jakarta dua tahun lebih dan yah, saya baru sepuluh bulan di Bandung. Kalau kamu?"

Sebelum menjawab Rion mengajak Rana untuk duduk di salah satu bangku yang jaraknya agak jauh dengan keramaian. Rion butuh ketenangan untuk berbicara serius dengan Rana.

"Selama tiga tahun lebih ini saya di Bandung. Sempet dua kali ganti pekerjaan. Dan udah setahun ini saya kerja jadi reporter di salah satu koran, Ran. Saya kesini juga buat ngeliput acara ini."

"Kayaknya kamu seneng dengan pekerjaan kamu." balas Rana.

"Yeah, i think so. Kamu sekarang kerja juga?"

“Saya dosen di kampus ini, Yon."

Dan Rion pun berdecak kagum dalam hati.

"Selain ngajar, saya juga sibuk sama ngurus anak-anak. Teman-teman lain udah punya keluarga masing-masing yang mesti diurus, jadi, yah, saya yang masih lajang cukup sibuk ngurus mereka sendirian."

"Kamu.. " Rana diam, seperti ragu untuk mengutarakan perkataannya.

"Apa?" tanya Rion.

Rana tersenyum, "Kamu udah nikah?"

"Belum, Ran." jawab Rion. Ia menatap Rana yang sedang menunduk. Wajahnya terlihat malu, entah karena apa.

"Kamu berubah, Yon."

"Oh, yah? Apanya yang berubah?"

"Saya juga nggak tau, sih. Tapi kamu berubah cukup banyak."

"Saya harap perubahan itu kearah positif."

Sejenak hening. Rion mendadak blank tak tahu harus berkata apa. Dulu ketika ia berpisah dengan Rana, cukup banyak yang ingin ia sampaikan pada gadis itu, tapi sekarang lidahnya seakan kelu untuk berkata. Sebenarnya dulu, mereka bisa saja terus saling berkomunikasi lewat media sosial. Tapi entah karena malu atau karena tak ingin, tak ada yang memulai untuk saling menghubungi. Dulu Rion berpikir, jika ia memang benar-benar serius memperbaiki hidup juga memantaskan dirinya. Ia rasa Rana juga seperti itu. Dan ia tak mau menodai kesungguhan mereka dengan adanya rasa cinta yang bahkan bisa merusaknya. Rion hanya tak ingin jika yang ada dipikirannya hanya Rana dan Rana. Keputusannya untuk tidak memperjuangkan Rana juga adalah keputusan yang terbaik yang ia ambil saat itu.

"Takdir yang mempertemukan kita lagi, Ran."

Masih dengan menunduk, Rana menggangguk sambil tersenyum. "Saya juga nggak nyangka bakal ketemu lagi sama kamu. Dulu bahkan saya sempet berpikir kalau semesta cuman berniat buat mempertemukan kita mengingat nggak ada satu pun diantara kita yang mau saling menghubungi atau bertemu. Kita bener-bener lost contact di zaman yang teknologinya udah super canggih." Rana terkekeh pelan, merasa lucu entah karena apa.

"Karena saya cuman mau takdir yang mempertemukan kita, Ran. Karena saya yakin, kalau emang takdir mempermukan kita lagi berarti ada maksud lain di dalamnya." ujar Rion yakin. Rana menatap Rion dengan kekehan geli, "Yakin banget kamu?" kekehnya.

Rion tersenyum lebar, "Yah, saya cuman mencoba positif thingking aja, sih. Mau bagaimana pun juga, saya masih ingat kata-kata kamu, Allah itu Maha Membolak balikan hati. Dan saya juga percaya nggak menutup kemungkinan kalau emang hati kamu udah berganti sama nama orang lain. Yang saya tau cuman satu-" Rion menggantungkan perkataannya membuat Rana penasaran, "Apa?" tanya Rana.

"Allah belum membolak balikan hati saya, Ran. Mungkin belum mungkin juga nggak akan berubah. Tapi saya benar-benar berharap kalau itu nggak pernah berubah."

Rana diam, Rion pun ikut diam. Berbeda dengan dulu, ia begitu rendah diri ketika mengakui perasaannya pada Rana. Tapi saat ini, Rion sudah siap juga sudah merasa yakin. Dulu keadaannya belum tepat, karena masih ada dirinya yang mesti dipikirkan dan sekarang ia rasa ini waktu yang tepat. Waktu yang tepat untuk memperjuangkan Rana.

"Saya masih suka sama kamu, Ran. Dan ini adalah waktu yang tepat untuk saya memperjuangkan kamu. Karena saya udah siap."

Rana masih diam. Rion menunggunya dengan perasaan berdebar. Ia sempat mengingat kejadian empat tahun lalu ketika ia mengungkapkan perasaannya pada Rana. Dua kali mengungkapkan perasaan pada orang yang sama.

"Saya nggak bisa menjanjikan perasaan seperti ini untuk selamanya, Yon. Seperti yang kamu tahu, perasaan itu bisa berubah wujudnya karena Allah yang membolak balikkan perasaan kita. Kalau maksud dari memperjuangkan yang kamu maksud adalah kearah yang lebih serius yaitu menikah. Saya bisa mempertimbangkannya, Yon. Tapi seperti yang tadi saya bilang, saya nggak bisa menjanjikan perasaan ini untuk selamanya. Karena nggak menutup kemungkinan kita bahkan bisa saling tak suka sama lain nanti. Mungkin juga rasa bosan akan datang di hari-hari kita nanti. Atau mungkin juga perasaan-perasaan lain yang tak pernah di duga akan datang.".

"Saya tau kalau kita emang nggak bisa menjanjikan soal perasaan, Ran. Tapi, bentuk perasaan apapun itu nanti, yang saya tau, saya mau bertahan buat kamu, Ran. Saya mau melaksanakan salah satu kewajiban saya yaitu menikah. Entah apa yang terjadi nanti, saya cuman mau bertahan sama kamu, Ran. Jadi-"

Rion menarik napasnya sebelum melanjutkan perkataannya, "Kamu mau ngabisin hidup kamu sama saya?"

Jantungnya masih terus berdebar, wajahnya juga mulai pucat. Ayolah, meskipun Rion tahu dulu Rana menyukainya bukan berarti gadis itu akan menerimanya sekarang. Ia melirik Rana yang masih menampilkan wajah santainya, berbeda dengan dirinya sudah tak tenang. Bagaimana pun juga ia sedang melamar seseorang. Melamar Rana Putri. Apalagi ini pertemuan mereka sejak empat tahun berpisah. Ia baru saja bertemu dengan Rana satu jam yang lalu dan ia langsung melamarnya. Apa ini terlalu cepat?

Kekehan kecil tiba-tiba keluar dari mulut Rana, "Kalau kamu nggak keberatan nikah sama perempuan yang udah punya delapan belas anak, saya mau."

Tanpa sadar Rion tersenyum lebar,"Saya nggak keberatan sama sekali, Ran." Serunya langsung.

Rana tersenyum malu membuat Rion gemas sendiri melihatnya,"Saya mau, Yon jadi istri kamu. Saya juga mau bertahan sama kamu sampai nanti."

Cinta itu kadang datang di waktu yang tidak tepat. Kadang juga datang di waktu yang tepat pada orang yang tidak tepat. Dulu, Rana adalah orang yang tepat tapi datang di waktu yang tidak tepat. Dan saat ini ketika semuanya sudah tepat, Rion tak mau melepaskannya. Karena Rana adalah orang sudah membawa kehidupannya ke arah lebih baik. Yang memegang tangannya hingga akhir nanti. Rion sangat tahu bahwa perasaan atau bahkan apapun itu semua berada di bawah tangan Allah. Allah yang mengkehendaki semuanya, termasuk sebuah benda bernama perasaan. Tapi apapun yang terjadi nanti ia ingin bertahan. Bertahan dan terus memperjuangkan Rana bahkan sampai perasaan baik ini hilang di telan waktu.

Eunoia Putri | Seri Self Love✅Where stories live. Discover now