Part 14. Pria Yang Marah

49.2K 2.8K 60
  • Dedicated to All Readers
                                    

Song by : Pink

Tittle : Just give me a reason.

Paginya Aisa terbangun seperti biasa, dan melihat ke sebelah tempat tidurnya merasa bingung karena bagian Fahmi masih rapi belum ditiduri. Ternyata Fahmi tidak tidur disini semalam bersamanya. Biasanya Aisa terbangun karena tangan kekar Fahmi yang suka mampir dipinggang memeluknya erat, kakinya menghimpit kaki Aisa seperti bantal guling hidup, dan berakhir dengan cubitan tajam Aisa di perut rata Fahmi dan membangunkan lelaki itu. Posisi yang sudah paling intim yang sampai saat ini mereka lakukan.

Dengan lesu Aisa bangkit merapikan sedikit rambutnya yang awut-awutan, terus keluar kamar. Hari masih sangat pagi. Aisa berjalan kearah kamar tidur yang berada di sebelah kamarnya, membuka pintunya dan mengintip kedalam. Fahmi memang ada di kamar itu sedang tidur. Aisa menghela napas panjang, dengan perlahan Aisa merapatkan pintu kamar itu lagi dan bersiap untuk aktifitas paginya.

Seperti tidak ada terjadi apa-apa Aisa membuatkan sarapan pagi untuk Fahmi sebelum berangkat ke tempat kerjanya. Roti sandwich dan segelas kopi susu seperti biasa. Tak lama kemudian, Fahmi turun dari lantai dua sembari mengancingkan lengan kemeja polos biru tuanya, celana bahan hitam. Rapi dan tampan seperti biasa, dasi yang belum terpasang terlihat menyembul dari kantong kemejanya.

Fahmi menaruh tas kerjanya di atas meja batu pantry dapur, melirik Aisa sebentar yang sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi untuknya. Tak ada percakapan sama sekali, sampai sarapan terhidang di depan mereka. Mereka pun menikmati sarapannya dalam diam. Aisa mengamati Fahmi diam-diam, merasa heran kenapa pagi ini lelaki ini nampak begitu berbeda. Fahmi menjadi begitu diam, biasanya dia selalu berkicau seperti burung menyambut pagi. Raut wajahnya yang selalu sumriangah itu mendadak begitu dingin dan datar. Ada apa? Marah kah ? Sakit gigi? Aisa bertanya-tanya dalam hati. Jadilah pagi itu mereka makan dalam diam.

"Tanganmu bagaimana?" Tanya Aisa mengurai kebisuan mereka.

"Lumayan," jawab pendek Fahmi memakan rotinya dengan tangan kiri tidak meminta bantuan Aisa seperti semalam.

"Bisa setir mobil sendiri? Atau....

Perkataan Aisa menggantung di lidah, suara klason mobil menyela pertanyaannya yang berhenti di depan rumah mereka.

Tinnn..tinnnn .....

"Aku pergi dulu, sopir kantor sudah datang." Fahmi meraih tas kerjanya dan berjalan keluar tanpa menoleh lagi ke Aisa.

Sopir kantor? Ternyata Fahmi tidak bisa pergi dengan mobilnya sendiri karena mungkin tangannya masih sakit. Separah itu kah? kenapa tidak mengatakannya? Fahmi bisa memintanya mengantarkan ke kantor, begini-begini dia punya SIM mobil. Berbagai kemungkinan berganti bermain dibenak Aisa

"Eh tunggu!" suara Aisa berseru menahan langkah Fahmi. "Dasinya sini aku pasangkan,"

"Tidak perlu, aku bisa sendiri," tolak Fahmi ketika dia memakai sepatunya.

Tak banyak kata Aisa menarik dasi itu dari kantong kemeja Fahmi, memasangkannya di kerah baju. Konsentrasi agar ikatan dasinya tepat. Jarak yang dekat sekali, sehingga Aisa bisa merasakan napas Fahmi berhembus di atas kepalanya. Harum parfum musk segar yang menguar dari tubuh tegap itu selalu bisa membuat Aisa berdebar tak menentu.

"Sudah." Aisa mendongak, melihat Fahmi karena jarak tinggi tubuh mereka yang dengan sangat kurang ajarnya begitu sangat jauh berbeda. Mata Aisa menangkap mata Fahmi yang menatapnya lama dengan pandangan yang tidak dimengerti oleh Aisa. Untuk sesaat mata mereka terkunci satu sama lain.

Lets Get Married ( Tersedia E-Book)Where stories live. Discover now