Part 17. Warna Cinta.

56.9K 3.1K 111
  • Didedikasikan kepada All Readers
                                    

Song : MLTR

By : Paint My Love.

It was the time when they loved each other best, without hurry or excess, when both were most conscious of and grateful for their incredible victories over adversity.

~Gabriel García Márquez, "Love in the Time of Cholera"

Aisa menggeliat dan membalikkan tubuhnya, seketika pandangannya membentur sosok lain disebelahnya. Matanya menyipit setengah malas, memastikan bahwa ada seseorang yang sedang mengamatinya. Aisa mengira dirinya sedang bermimpi, tangannya terulur menyentuh perlahan wajah yang sangat dekat dengannya. Dari hidung mancungnya, terus ke mata semi sipit itu, turun lagi ke pipi lalu ke bibir. Fahmi mendiamkan saja ulah istrinya ini denganmemamerkan senyum miringnya menatap penuh arti , alih-alih dia merasa tegang dan dadanya berdesir. Fahmi begitu merindukan istrinya ini, bisa-bisa dia kehilangan akal dan menerkam Aisa langsung.

"Sialan, bahkan dalam mimpi pun aku masih bertemu dengan si kucing buduk ini," gumam Aisa tak menyadari kalau efek dari sentuhannya itu dapat membangkitkan dorongan primitif dalam diri Fahmi.

Senyum miring Fahmi berubah menjadi sebuah senyuman lebar. "Kenapa kamu kira ini mimpi?" Fahmi berupaya menekan hasrat sedalam-dalamnya.

Aisa mengerjapkan matanya, mencerna kata-kata itu dalam kantuknya. "Mimpi yang terasa nyata sekali."

Fahmi mengangkat alisnya sebelah seolah mengejek, membuat mata Aisa melebar terkejut, langsung terduduk shock ternyata yang disentuhnya tadi bukan mimpi. Apaa?!

"Kenapa kamu ada disini?!" sentak Aisa geram.

"Kok tanya begitu sih? Wajar dong kalau aku tidur berdua sama istriku."

Aisa mengecilkan suaranya, "Kapan kamu pulang?" Aisa memerhatikan tampilan acak-acak dari Fahmi. Lengan kemeja yang digulung setengah sampai siku, dasi yang dimasukkan ke dalam saku kemeja, rambut potongan classicnya berantakan. Wajah yang terlihat lelah dan kusut

"Baru saja, begitu seminar selesai aku langsung terbang kemari. Ketempat seseorang yang telah mereject telepon dan pesanku dari kemarin," jawab Fahmi menelentang sambil melipat tangan, menyelipkannya di bawah kepala. "Ada apa sih? Kamu mengacuhkan semua panggilanku?" seraya matanya melirik Aisa yang juga sedang menatapnya sadis, rambutnya awut-awutan seperti singa. Matanya agak sedikit bengkak dan sembab.

Aisa mendengkus kesal, hilang sudah rasa kantuknya. "Ada apa katamu?" seru Aisa. "Dasar playboy mata keranjang! Kamu nggak sadar apa yang telah kamu lakukan?!" Aisa meraih bantal dan memukuli Fahmi dengan benda itu. "Pembohong! Pembohong!" Aisa terus-terusan memukul, rasa frustasinya dilampiaskan pada orangnya langsung. Dia merasa sedikit lega.

Fahmi terkejut dengan perubahan sikap Aisa berusaha bangkit berdiri menghindari pukulan bertubi-tubi dari Aisa. "Ai, apa-apaan ini?! Jelaskan padaku, kenapa aku dibilang mata keranjang, Playboy(dalam hati dia membenarkan walau sekarang dia mantan playboy), pembohong?"

"Ya, kamu pembohong yang mata keranjang! Siapa yang mengangkat ponselmu kemarin malam pas aku menelponmu? Perempuan yang mengatakan kamu sedang mandi karena kelelahan, Hah?! Siapa perempuan itu yang bersama denganmu tengah malam buta, dengan suara mendesah-desah menjijikan?!" sembur Aisa keras, napasnya memburu. Hatinya benci mengakui kalau dia cemburu.

Fahmi termangu tak mengerti sama sekali masalahnya. Aisa menelpon? Kapan? pikirnya bertanya-tanya. Namun dia teringat malam itu yang ada di ruangan hotelnya hanya asistennya. Dinda, karena masalah pekerjaan dan ponselnya sedang dicharge. Apa mungkin Dinda yang menjawab telepon dari Aisa ketika dia berada dalam kamarnya? Kenapa Dinda berani berbohong? Lancang! Pantas tingkahnya aneh, seperti habis kepergok berbuat salah.

Lets Get Married ( Tersedia E-Book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang