6. Coba Dulu Saja!

4.9K 386 1
                                    

"Lebih baik lo bicara baik-baik ke nyokap!" nasihat Ranita.

Barina mengangguk. "Gue coba."

"Gue balik, ya." Karmila pamit tiba-tiba. Dia menunjukkan ponselnya. "A Darma udah jemput." Karmila memasukkan ponsel ke dalam tas dan mengenakkan jaket.

"Mana Darma?" tanya Alexa. Bisa dibilang, Alexa satu-satunya dari mereka bertujuh yang paling mudah membaur dengan suami-suami sahabatnya. Mungkin, karena karakternya yang supel. Pernah suatu ketika saat malam tahun baru, ketika para istri sibuk di dalam, dia menjadi seksi bakar bersama para suami. Untungnya, Marcus tidak mempermasalahkan hal itu. Malah bagi lelaki itu, lebih baik agar dia tidak canggung dengan lelaki-lelaki ini.

"Udah di luar," jawab Karmila.

"Gue juga balik, deh, ya. Mas Pram udah nanyain kapan pulang. anak-anak juga udah rewel minta pulang." Ranita mengenakkan jaket anak-anaknya.

"Ya, udah bubar jalan aja kalau gitu." Alexa ikut pamit.

Barina membantu Nare berdiri. Mereka mengantarkan sahabatnya sampai depan rumah. Di depan pagar, mereka mendapati Darma sudah menunggu di dalam mobil.

"Bumil muda sehat-sehat, ya!" Ranita mengelus perut Karmila yang belum begitu terlihat membesar karena tubuhnya yang kecil.

Darma keluar mobil membantu istrinya membuka pintu mobil. Mereka menggapaikan tangan sebelum melajukan mobil. Lalu, diikuti Ranita meninggalkan rumah Nare.

Alexa masih sibuk mengenakkan sepatu anaknya. Dia menggendongnya ke dalam mobil lalu kembali ke Barina dan Nare. "Bar, lo harus bicara sama nyokap lo. Jangan kayak orang musuhan," nasihatnya kepada Barina sebelum pergi. Matanya beralih ke Nare. "Re, lo sehat-sehat, ya! Kabari kita kalau mau lahiran! Ya udah gue balik. Salam ke Uda Asril."

Asril adalah nama suami Nare. Dia orang Bukit Tinggi. Sama-sama orang Minang. Mereka dijodohkan oleh kedua orangtua. Bagi mereka, perjodohan di kampungnya sudah biasa. Nare memanggil Asril dengan sebutan Uda karena lelaki itu lebih tua tiga tahun (kakak dalam bahasa Minang). Asril bekerja di kantor Akuntan Publik sebagai Auditor. Mungkin, karena itu orangtua Nare percaya bahwa anaknya akan bahagia dengan lelaki ini. Setidaknya dari segi ekonomi. "Siap, Komandan!"

Alexa pun pergi. Rumah Nare kini kembali sepi, tinggal Barina yang masih berada di sana.

"Lo nggak balik juga?" tanya Nare sambil ngeloyor masuk rumah. Dia memindahkan piring bekas tiramisu dan gelas minum ke tempat pencuci piring. Dia mengambil vacum cleaner di area terbuka dekat ruang keluarga.

"Lo ngusir gue?" tanya Barina sedikit berteriak dari luar.

"Sensi banget lo."

Barina menyeringai sambil mengenaikkan sarung tangan berwarna kuning berbahan karet. Dia memasukkan sabun cuci piring ke dalam mangkuk plastik bening lalu diisikan air sedikit. Dia remas busa yang ada di atasnya. "Perasaan lo gimana waktu dijodohin?" Dia membuka percakapan ringan sambil mencuci piring.

Nare menangkap sahabatnya sudah bermain dengan busa-busa. Suara keramik bersentuhan menjadi penyorak di rumah itu. Dia sudah biasa melihat Barina ikut bantu-bantu usai mereka berkumpul di rumah siapapun. Anaknya tidak berat tangan. "Perasaan gue, ya ... biasa aja karena udah biasa di kampung gue," jawabnya sambil membersihkan karpet dengan vacum cleaner. "Emang lo kira gimana perasaan gue?" tanyanya balik.

Barina memiringkan kepalanya sambil menggosok gelas dengan busa. "Gue berharap lo jawab menyedihkan, sih, tapi gue baru sadar kalau lo, kan, memegang budaya banget. Wajar aja kalau biasa aja."

"Memangnya nyokap lo mau jodohin lo sama seseorang?"

Barina membilas satu-persatu dengan air keran. "Enggak tau. Kayaknya ke arah sana. Nyokap gue kayak orang yang udah kebelet anaknya nikah."

Tak ada jawaban dari Nare. Dia mengembalikan vacum cleaner ke tempatnya. "Kalaupun iya, saran gue, coba dulu aja, Bar," sahutnya ketika kembali ke ruang keluarga. Rumah Nare memang tidak terlalu besar. Area ruang keluarga dibiarkan terbuka dan menyatu dengan dapur, hanya dipisahkan dengan sofa panjang bermotif shabby chic.

Barina menyelesaikan tugas dengan membasuh tangan dengan sabun beraroma stroberi. "Susah, Re." Dia duduk di atas sofa, diikuti Nare. "Mungkin lo bisa dengan mudah menerima perjodohan karena lo terbiasa dengan budaya itu. Sedangkan gue, nggak terbiasa. Buat gue urusan jodoh, nikah yang nentuin, ya, kita sendiri. Bukan siapapun. Gue mau, siapapun calon pendamping gue nanti, ya, itu pilihan gue. Gue yang mau. Bukan nyokap gue," jelasnya sambil mengunci bola mata sahabatnya.

Nare sudah menduga jawaban itu. Dia tahu betul siapa Barina. Dia terlalu berprinsip. Prinsip memang perlu tapi kalau prinsip itu menyusahkan diri sendiri, sama juga bohong. Nare menggenggam tangan sahabatnya. "Gue, sih, percaya sama lo, Bar. Lo pasti bisa lewatinnya. Pesan gue, semarahnya lo sama nyokap, sebisa mungkin jangan pernah lo melawan. Lebih baik diam. Dengan diam, mereka udah ngerti."

Barina menyunggingkan senyuman. Dia bersyukur banyak yang peduli padanya. Banyak teman berbagi. Dia percaya, setiap rumah tangga memiliki permasalahan berbeda-beda. Dia tinggal melihat dan mempelajari dari pengalaman sahabatnya. Barina memeluk Nare sambil berbisik. "Jaga anak gue!"

Nare segera melepaskan pelukan Barina. "Enak aja anak lo. Gue yang hamil."

Barina tertawa sambil memasukkan ponsel dan mengambil kunci mobil.

"Lo kalau mau punya anak, nikah dulu, ya, Bar!" Nare menepuk bahu Barina lalu mendekatkan mulutnya ke telinga. "Jangan kayak Alexa! Panjang nanti urusannya!" Nare menyeringai.

Barina ikut tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Ada-ada aja lo! Gue balik, ya. Lo nggak apa-apa, kan, sendiri?"

"Aman. Hati-hati, ya!" Nare mengantarkan sahabatnya sampai depan rumah.

"Siap." Barina masuk ke dalam mobil lalu melajukan mobil.

Nare kembali ke dalam rumah setelah mengunci pagar dan pintu. Dia nampak lelah dengan perut besar. Kakinya terlihat bengkak. Kenyamanan dan ketenangan terasa ketika punggungnya menyentuh kasur. Dia tertidur.

____

Acara kumpul-kumpulnya udah selesai.

Terima kasih sudah membaca.

Salam,

Author

Thirty SucksWhere stories live. Discover now