10. Biarkan Berusaha Dengan Cara Sendiri

4.1K 340 6
                                    

Usai mengadu kepada Tuhan, air mata Barina tidak dapat berhenti. Bahkan dia lupa kapan terakhir kali menangis. Selama ini dia merasa tangguh dengan kemandirian. Dia lupa bahwa dirinya juga wanita yang memiliki batas. Kini dia merasa tak ada tempat untuk berkeluh kesah selain kepada Tuhan. Bahkan sahabatnya pun tidak bisa membantu untuk menyelesaikan masalah ini. Mereka hanya memberi solusi klasik yang cenderung dipakai oleh kebanyakan orang dan kata 'sabar'. Memang terdengar simpatik tapi mereka tetap menikmati kebahagian dengan keluarga kecilnya.

Dari luar terdengar suara Marina memanggil namanya. Barina menghapus air mata. Dia merapihkan penampilan yang berantakan. Meneteskan cairan penyejuk mata di pelupuk untuk menghilangkan mata merah. Dia juga mengaplikasikan sedikit bedak tabur ke wajah untuk menyamarkan muka sembab dan menyisir rambut yang tidak beraturan. Setelah yakin penampilannya tidak memperlihatkan situasi menyedihkan, gadis itu keluar dari kamar. Di sana dia mendapati kedua orangtuanya sudah duduk di meja makan.

Barina mendekati mereka. Pandangannya menyapu piring yang tertata di meja makan. Tanpa banyak bicara, gadis itu duduk.

Marina memperhatikan wajah Barina. "Kamu kenapa, Bar?"

"Kenapa apanya, Bu?" jawabnya dengan muka datar.

"Muka kamu sembab."

Barina diam sejenak. Ternyata bedak tabur tidak bisa menutup kesembapan. Gadis itu menyendok nasi ke piring. "Perasaan Ibu aja."

"Ah, enggak, kok. Ibu ya ...." Ucapan Marina dipotong Barata.

"Bu, nasi buat Bapak." Barata mengangkat piring.

Barina merasa terselamatkan oleh bapaknya. Gadis itu sempat melirik lelaki itu. Lirikannya disambut dengan senyuman dari Barata. Dia tahu bahwa lelaki ini sangat mengenalinya. Dia paling tidak suka dipaksa untuk mengakui suatu hal yang tidak ingin diakui. Ada kalanya privasi miliknya tidak ingin dikonsumsi oleh siapapun, termasuk orangtuanya.

"Bar, besok kita pulang." Barata memulai pembicaraan yang lebih nyaman.

Barina menghentikan suapan lalu menoleh. "Pulang? Kok, cepat banget, Pak?"

"Bukannya kamu senang kita pulang?" Marina menjawab dengan pertanyaan sinis.

Barina melempar pandangan kesal ke Marina. "Ibu, kok, ngomong gitu? Barina senang Ibu Bapak di sini."

"Oh, ya? Bukannya kamu lega nggak ada lagi yang desak kamu nikah?" Marina menyendok nasi ke piring.

Barina mulai kehilangan kesabaran. Dia benar-benar tidak mengenali sosok ibunya yang hangat. Marina sudah berubah. "Bu, Bari mohon cukup. Bari udah sangat mengerti kemauan Ibu. Asal Ibu tahu, Bari lagi berusaha untuk memenuhi keinginan Ibu yang terkesan konyol ini. Menikah itu bukan perkara siap nggak siap, Bu. Tapi, Bari berhak untuk menentukan jalan terbaik buat kehidupan Bari." Dia menjauhkan piringnya. "Andaikan Bari menikah besok dengan lelaki pilihan Ibu, apa Ibu bisa mejamin kebahagiaan Bari?" Barina merasa saat ini bukan saatnya lagi bermain dengan kesabaran. Semua harus dibicarakan.

Mendengar perdebatan dua wanita ini, membuat Barata kehilangan nafsu makan. Apa salahnya makan dulu. Setelah makan, baru dibicarakan. Barata sudah hilang kesabaran. Lelaki itu mengangkat piringnya sedikit lalu dilepaskan begitu saja. Suara nyaring sisi piring yang bertabrakan, sendok yang terhempas ke piring membuat dua wanita ini terdiam. Barata memang jarang marah. Dia lelaki tersabar yang kedua wanita ini kenal. Namun, mereka tahu bahwa lelaki ini juga bisa marah. Lelaki sabar akan terlihat menyeramkan ketika sudah di ambang batas kesabaran. "Bisa nggak makan dulu?" tanyanya dingin.

Barina menunduk malu. Dia menarik piringnya lagi dan melanjutkan makan. Begitupun dengan Marina. Suasana makan malam mereka terasa hening. Tidak ada kehangatan di dalamnya. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sebenarnya, Barina ingin sekali berteriak atau menangis sebentar.

Thirty SucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang