Bab 2 -:- Mengaku atau Bunuh Diri?

4.2K 334 9
                                    

Kita tidak dapat memilih bagaimana akhir sebuah takdir. Namun, kita bisa memilih jalan mana yang akan ditempuh untuk menemui takdir itu.

- Fii

***&***

Mata elang laki-laki berjaket kulit cokelat itu menangkap sosok yang sejak 5 menit lalu ada di samping makam adiknya. Ia menghentikan gerak kaki sesaat untuk mengamati dari jarak 7 meter sebelum akhirnya menghampiri. Gadis itu tidak segera menoleh ketika payungnya menghalau rintikan air hujan. Dahinya langsung berkerut dan berpikir bahwa mungkin saja langkahnya tidak terdengar.

Lima detik berlalu dan kepala gadis itu mulai bergerak. Dua pasang iris mata dengan warna hampir serupa itu akhirnya saling berserobok. Darren menatap tenang, sedangkan Joanne terkejut hingga terduduk di tanah dan membekap mulut. Jantung Joanne terasa lepas dari tempat seharusnya tetap berada.

"Anne?" panggil Darren masih dengan mempertahankan tatapan.

Nama itu ... hanya Steffie yang memanggilnya demikian! Namun, kini ada orang lain dan itu kakak sahabatnya. Hal itu membuatnya tersadar dan buru-buru berdiri. Darren dan ia ... tidak seharusnya bertatap muka.

Muncul satu hal yang langsung terlintas di benak gadis berusia sembilan belas tahun itu ketika menyadari Darren berdiri tepat di samping. Ia tidak boleh berurusan lagi dengan keluarga Steffie atau kebohongannya selama ini akan terbongkar. Jika itu sampai terjadi, ia yakin akan dilarang ke makam Steffie. Tangan kiri Darren yang bebas berlari menyentuh lengan kanan Joanne meskipun hanya 3 detik. Pasalnya, Joanne kemudian berlari keluar dari area pemakaman.

"Anne?!"

Joanne menuli dan terus melangkah cepat untuk segera sampai di pinggir jalan raya. Ia juga harus segera mendapatkan angkot atau ojek supaya pergi dari sini secepatnya.

Darren tentunya tidak diam saja. Ia berlari mengejar gadis berkemeja denim lengan pendek itu tanpa ragu. Begitu jarak mereka terjangkau, tangan bebasnya mencekal lengan kanan Joanne secepat kilat. Ia berhasil menghentikan langkah menjauh itu berkat kaki panjangnya.

"Kenapa lari?" tanya Darren ketika wajah mereka bertemu. Ia menatap mata Joanne yang lebih merah daripada tadi.

Joanne tidak segera menjawab karena harus mengatur napas dulu. Ia juga mengusap wajah basahnya, lalu mendongak menatap sosok laki-laki itu. "A-aku mau pulang," sahutnya sambil melepas cekalan.

Sejurus kemudian, ia kembali mengambil langkah cepat. Namun, terjatuh akibat menginjak tali sepatu yang terurai. Ia dalam hati menggeram kesal karena jatuh di waktu tidak tepat.

"Kenapa harus jatuh sekarang, sih?!" gerutunya lirih. Kini pakaian bagian depannya ikut berlumuran tanah basah.

"Itu artinya, kamu tidak diizinkan menghindariku, Anne." Darren kembali memayungi.

Joanne segera menoleh ke belakang setelah berdiri sempurna. Laki-laki itu seperti tahu apa yang baru saja dipikirkannya. Ia bersikap tidak acuh dan kembali menghindar, tetapi lagi-lagi diadang.

"Stop panggil aku Anne, Kak!" pinta Joanne tegas dan lantang. Ia tidak peduli meskipun laki-laki itu lebih tua tiga tahun darinya. Yang ada di benaknya hanya menjauh segera mungkin.

Darren tidak memedulikan permintaan tersebut. Ia tidak menyahut dan kembali mencekal lengan Joanne, lalu menariknya pelan untuk keluar dari pemakaman.

"Kak!"

Darren menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya. "Kamu memanggilku Kak, artinya kamu sudah tahu siapa aku dari Steffie. Benar, kan?"

Sudut bibir Darren bergerak membentuk senyum puas ketika melihat raut kebingungan Joanne. Gadis itu bahkan tidak berani menatapnya dan membuang muka. Ia juga menangkap pergerakan jari telunjuk Joanne yang terus menggaruk ibu jari. Mendiang adiknya pernah cerita jika itu adalah kebiasaan Joanne ketika sedang tidak dalam zona nyaman.

If You Were A SeedKde žijí příběhy. Začni objevovat