Bab 4. Sebab, Hati Tak Pernah Salah

3.2K 257 4
                                    

Dengarkan dan turuti kata hatimu sebelum masa sekarang menjadi masa lalu yang akhirnya akan berujung menjadi sebuah penyesalan di masa depan.

***&***

Seorang gadis berponi tipis menatap remeh orang yang duduk di hadapannya. Tidak menyangka hanya karena hal seperti itu, orang tersebut berani berhenti dari pekerjaan. Dirinya baru tahu beberapa menit lalu meskipun sudah banyak yang mereka bahas sejak pertama bertemu.

Dalam rentang waktu tiga bulan mengenal, ini adalah kali ketiga mereka bertatap muka. Seperti yang dikatakan Darren saat pertama bertemu bahwa waktu luangnya terbatas. Meskipun demikian, mereka tidak jarang bertukar kabar melalui pesan atau telepon sesekali.

"Apa cuma segitu mental Kakak untuk jadi dokter?" tanya Joanne sarkastik sambil melipat kedua tangan di depan dada, sedangkan punggungnya bersandar pada salah satu kursi kafe.

Darren yakin jika ia menuruni ego mamanya yang setinggi langit berlapis tujuh. Maka jika sang mama mendengar kalimat meremehkan tersebut, Joanne tidak akan selamat.

"Apa alasanku yang seperti itu terdengar sepele?" Darren balik bertanya dengan suara tenang.

"Steffie pasti tidak akan suka ketika tahu kakaknya berhenti jadi dokter, apalagi alasannya karena dia." Joanne berusaha memberikan pengertian pada laki-laki yang rambutnya selalu tersisir rapi itu. Sejauh ini, membahas Steffie dengan Darren lumayan dapat mengobati kerinduan pada almarhumah.

Darren tersenyum miring dan tidak segera menyahut, kemudian menyesap coffee latte panas beberapa kali. Mencium dan menikmati aroma dari uap yang menguar dari cangkir kopi adalah kesukaannya.

"Kamu benar-benar memahami adikku ternyata," pujinya sambil meletakkan cangkir. Ia kemudian menatap intens Joanne dan lanjutkan berkata, "Memang sebelum aku memutuskan untuk kembali bekerja, Steffie mendatangiku di mimpi. Ya ... sepertinya, dia memang tidak suka dengan keputusanku itu. Namun, rasanya, aku enggan untuk melanjutkan pendidikan ke bedah jantung seperti kemauan Mama."

Suara Steffie yang menceritakan tentang Darren berputar di kepala Joanne. Ia mencocokkan permasalahan tersebut dengan cerita Steffie. Wajahnya terlihat sedang berpikir keras.

Joanne menegakkan punggung dan menatap tajam Darren. "Jangan bilang, Kakak tetap akan menurutinya?"

Darren menaikkan sebelah alis, lalu balas menatap. "Entahlah! Mama memang beberapa kali mendesakku untuk mengambil itu."

Darren kemudian memutuskan tatapan. Arah matanya beralih ke dinding kaca tembus pandang di sisi kiri. Fokusnya kini berada di jalan raya berhias kendaraan yang berlalu lalang.

Lima detik kemudian, ia kembali menatap Joanne dan berkata, "Sebenarnya, sejak kuliah di kedokteran, aku tertarik membahas neurologi. Selain itu, menjadi dokter bedah artinya pekerjaanku dekat dengan kematian di mana hidup dan mati hanya dipisahkan oleh sebuah garis sangat tipis. Dan menurutku, saraf adalah sistem tubuh terpenting. Jantung saja bisa kalah jika sistem sarafnya rusak."

Joanne memperhatikan raut wajah persegi itu yang terlihat bersemangat ketika bercerita. Ia juga dapat menangkap sorot penuh harap dari sepasang mata Darren. Intonasi bicaranya pun meyakinkan.

"Wuaah, ck, ck, ck!" komentarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Dahi Darren mengernyit. "Kenapa?"

Joanne berdeham, lalu memperbaiki posisi duduk dengan sedikit memajukan kursi agar lebih dekat dengan meja. Kedua lengannya berada di atas meja. "For the first time, aku lihat Kak Darren semangat begini," ucapnya dengan jari telunjuk mengetuk-ngetuk meja.

If You Were A SeedWhere stories live. Discover now