Bab 3 -:- Satu Rahasia yang Membuka Rahasia Lainnya

3.6K 290 11
                                    

Ketika Tuhan mengambil sesuatu dari hidupmu, percayalah bahwa Dia sudah menyiapkan sesuatu yang lain sebagai penggantinya. Selamanya akan begitu. Tidak ada kehilangan yang sia-sia. ~ Fii

***&***

Joanne menelan ludah, lalu mengubah posisi duduk menjadi tegak ke depan karena Darren belum juga bersuara. Ia menatap lurus jalanan dengan wajah yang seperti tanpa darah. Jari telunjuknya menggaruk-garuk punggung ibu jari yang tidak gatal.

Darren melirik sekilas gadis berambut hitam lurus di sampingnya. Ia berdeham, lalu berkata, "Benar. Aku sudah tahu siapa kamu sebenarnya."

Joanne seketika menoleh. Raut wajahnya berubah kesal. Sepasang iris cokelat keemasannya menatap tajam Darren.

Jika laki-laki itu sudah tahu identitas dirinya, lalu kenapa sekarang mereka bersama seperti ini? Apa sebenarnya yang akan Darren lakukan atau inginkan?

"Ada yang salah?" Darren yang merasa ditatap pun bertanya.

"Ke-kenapa Kakak justru menemuiku, ha?! Apa kalian menyuruhku untuk berhenti mengunjungi makam Steffie?" Joanne tidak dapat lebih lama menahan unek-unek.

Darren berdecak, lalu terkekeh pelan. Kalimat tersebut berhasil membuatnya tersenyum tipis dan menggelengkan kepala pelan. "Kamu sebenarnya bertanya atau menuduh, heum?"

Ada sorot harap-harap cemas di kedua mata Joanne yang masih enggan beralih dari wajah berahang tegas itu. Telunjuknya masih saja bergerak menyiksa ibu jari-kebiasaannya ketika sedang bimbang. Ia sering tidak sadar bahwa hal itu bisa menimbulkan lecet di bagian atas pinggir kuku jempol.

"Oke. Kalau itu yang kamu takutkan, hal itu tidak akan terjadi," lanjut Darren sambil menoleh sekilas ke arahnya.

Dahi Joanne mengernyit. Ia tidak serta merta percaya dan lega mendengarnya. "Lalu ...?"

"Aku tadi hanya tidak sengaja bertemu denganmu dan yaaa berlanjutlah seperti sekarang." Darren berkata tanpa beban meski berbohong. Mengingat sekarang adalah hari kematian Steffie ke-40, ia menduga Joanne berkunjung ke makam dan ternyata benar. Di samping itu, sebenarnya seminggu lalu ia juga sempat datang ke tempat perempuan tersebut bekerja untuk menanyakan beberapa hal, termasuk kapan biasanya Joanne ke makam. Ternyata, ia mendapatkan informasi yang memang dibutuhkan.

"Ha! Aku tidak percaya," gumam Joanne sambil mengalihkan tatapan ke jalan di depan. Tepat setelah Darren menghentikan mobil karena lampu merah.

Mendengarnya, ia pun sedikit memutar tubuh untuk menghadap Joanne. "Ya sudah kalau kamu tidak percaya. Kita berteman saja mulai sekarang, oke?" Ia mengulas senyum.

"Apa?" Lagi-lagi Joanne menoleh dengan cepat dan mata melebar.

"Iya, kita berteman saja." Darren meyakinkan.

Joanne speechless. Bibirnya yang terpoles lipgloss bening pun membuka dan menutup beberapa kali. Ia sungguh tidak paham dengan situasi yang sedang terjadi padanya saat ini. Bukankah jika dilogika, Darren akan marah karena kedua orangtuanya dibohongi? Terlebih lagi, ini ada sangkut pautnya dengan anak mereka, Steffie.

Darren sebenarnya ingin tertawa lepas melihat wajah cengo gadis itu, tetapi takut menyinggung. Lagi pula, suasananya sedang tidak mendukung.

Hingga lampu berubah hijau, Joanne masih saja begitu. Sepertinya, ia sedang sibuk menyusun puzzle di dalam kepala. Darren pun memutuskan menekan klakson sebelum kembali menginjak pedal gas. Membuat Joanne berjengit kaget dan meremas handuk di atas pangkuan secara refleks.

"Kakak!" teriaknya begitu menyadari Darren sengaja melakukannya. Ia melihat raut wajah jail.

Laki-laki berkemeja hitam dengan lengan digulung hingga siku itu pun terkekeh pelan. Ia tiba-tiba merasa seperti sedang menjaili adiknya. Belum ada setengah jam mereka bersama, tetapi ia sudah dapat mengambil kesimpulan. Ada satu hal yang membedakan keduanya; Steffie lemah lembut, sedangkan Joanne cenderung bar-bar.

If You Were A SeedOnde histórias criam vida. Descubra agora