Bab 5 -:- Janji untuk Mimpi

2.5K 233 2
                                    


Akan ada seribu jalan lain ketika satu jalan ditutup dan hanya satu hal yang dibutuhkan untuk membukanya, yaitu niat.

***&***

"Jangan membuatku untuk membantah lebih keras lagi, Ma!" ancam Darren dengan intonasi rendah, tetapi kentara tegas. Seolah ada sosok Harith yang tengah masuk ke tubuhnya.

Venny cukup terperanjat mendengar sahutan yang tidak terduga itu. Entah setan apa yang merasuki Darren hingga makin sering membantahnya.

"Darren?!"

"Ma, please! Biarkan aku menjalani hidup atas keputusanku sendiri."

Iris hitam itu menjatuhkan tatapan ke lantai marmer ruangan. Untuk sesaat, ia berpikir begitu keras. Menimbang dampak jika ia menurut ataupun menolak permintaan anak laki-lakinya.

Senyum Darren mengembang saat mendengar sahutan positif dari mamanya. Tanpa membuang-buang waktu karena akan berangkat kerja shift siang, ia mencium kedua pipi Venny yang masih ada jejak blush on. Kemudian, bergegas bangkit menuju kamarnya di lantai dua.

Sebuah notifikasi muncul di layar ponsel laki-laki itu yang tergeletak di sofa, tepatnya di samping kiri Venny. Kakinya yang baru melangkah 3 meter pun berhenti karena mendengar dering. Ia menepuk jidat, lalu balik badan untuk mengambil benda terlupakan itu.

"Darren, HP kamu ...." Venny menoleh ke sumber dering. Mata hitamnya menangkap sederet huruf yang membuat dahinya mengerut.

Belum sempat Venny mengintip isi pesan dari nama tersebut, tangan panjang Darren meraihnya. Diam-diam ia mengamati raut wajah anaknya ketika membaca notifikasi tadi. Ada sebuah senyum mengembang di bibir merah muda alami Darren. Hal itu membuat Venny makin penasaran dan berpikir, apakah Darren sedang dekat dengan seseorang?

Tiba di kamar berdinding kayu kasmir, Darren segera men-dial nomor ponsel perempuan yang belakangan ini sering memenuhi pikirannya. Sahutan seseorang dari seberang telepon menembus indra pendengarannya di dering ketiga.

"Wa'alaikumsalam, Jo."

"Waah, sepertinya ada kabar baik nih!" Joanne menangkap cepat nada semangat dari si Penelepon. Ia bahkan menebak bahwa Darren tengah menyunggingkan senyum puas saat ini.

Laki-laki yang duduk di kasur berlinen putih itu pun makin menarik bibir ke atas mendengarnya. Joanne sepertinya orang yang pandai menganalisis. "Kamu benar. Aku baru saja mendapat izin Mama untuk mengambil spesialis bedah saraf."

"Wah, benarkah?! Selamat kembali berjuang kalau begitu." Joanne ikut mengembangkan senyum.

Kemudian, Darren menceritakan apa saja yang tadi dibicarakan dengan mamanya. Joanne yang baru 5 menit memasukkan adonan cake pesanan tetangga ke oven pun memutuskan duduk di teras depan rumah sambil mendengarkan. Ia terus mengucap syukur dalam hati karena akhirnya Darren benar-benar menuruti kata hati sendiri.

Seulas senyum di bibir tipis gadis itu sirna ketika Darren menceritakan sesuatu yang membuat hati ketar-ketir. Ia secara refleks berdiri dengan mata membelalak.

"Apa Tante Venny tahu itu aku?" Joanne terdengar panik.

"Sepertinya, tidak karena aku buru-buru mengambilnya," sahut Darren singkat, lalu terdengar helaan napas lega dari seberang sana.

Ketika mengembalikan handuk sekitar dua bulan lalu, Joanne meminta Darren merahasiakan pertemanan mereka meskipun tahu bahwa rahasia tersebut akan tercium oleh Venny cepat atau lambat. Namun, setidaknya bukan dalam waktu dekat ini karena Joanne belum siap jika harus ketahuan. Ia yang sebenarnya tidak ingin berhubungan dengan keluarga Steffie lagi pun tidak dapat menolak permintaan Darren waktu itu.

If You Were A SeedWhere stories live. Discover now