Bagian 9

635 37 0
                                    

Sabtu pagi ini, Ayra terlihat sedang sibuk memastikan kembali bahwa beberapa barang yang akan ia bawa pulang telah ia masukkan kedalam totebagnya. Sesekali ia kembali membuka lemarinya untuk mengecek apakah tidak ada barang yang tertinggal.

Pasalnya, ia ternyata terlalu banyak membawa barang dan kebanyakan barang tersebut hanya bisa tersimpan dilemari dan tak terpakai. Padahal tempat pada lemari tersebut terbatas, untuk itulah ia perlu membenahi barang-barang tersebut untuk ia bawa pulang.

"Mbk Afi nggak pulang?" tanyanya saat melihat Afi yang sedang membuat mie rebus dengan menggunakan panci elektrik.

Afi menggeleng, "lagi mau menikmati kesendirian Ay," ujarnya diikuti dengan tawa kami yang pecah.

"Idih, buncin banget deh mbk."

"Wkwkwkwk"

Tak lama kemudian, suara motor  yang tak terdengar asing bagi Ayra membuat dirinya langsung berlari kecil memastikan bahwa dirinya telah dijemput. Setelah mengintip dari pintu sekilas, buru-buru ia kembali masuk kedalam sembari membawa totebag dan mencangklong ranselnya.

"Udah dijemput?" tanya Afi melihat diriku yang sudah berkemas

"He'em, udah. Aku pulang dulu ya mbk Afi," pamitnya

"Sip, hati-hati dijalan"

"Okeyy, Inget! Jangan pacaran mulu sama mas Ali lho. Dosa mbk Fi," celetuknya sembari terkekeh yang membuat dirinya mendapatkan delikan tajam dari Afi.

"Siapa juga yang pacaran AYRA!" jawabnya dengan mengerucutkan bibirnya satu centi kedepan tak lupa dengan delikan tajamnya.

Ayra tertawa bukan main, menggoda Afi adalah salah satu hobinya.

Jujur pertama kali ia menginjakkan kakinya diasrama, Afi lah yang pertama kali ia lirik. Dalam artian dari beberapa manusia lainnya dan diantara kakak kelas lainnya, entah mengapa Ayra merasa nyaman saat dekat dengan Afi bak seorang kakak baginya.

Sikapnya yang perhatian dan selalu peduli kepada orang lain membuat dirinya merasa ada seseorang yang menjaganya, terlepas dari Ayra yang tak memiliki kakak. Dalam artian, dia adalah anak pertama dari dua bersaudara.

Dari itulah hingga saat ini, hanya kepada Afi lah ia sangat dekat dibandingkan dengan penghuni asrama lainnya.

"Teman-teman kamu pulang semua?" tanya Hendra- sang ayah.

"Enggak, ada yang gak pulang," jawabnya

Setelah meletakkan totebagnya didepan, Ayra pun kemudian langsung menaiki motor.

"Yuk, Yah."

Motor melaju dengan pelan, namun tetap saja, suara bisingnya melebihi suara toa. Maklum, motor butut yang sudah tua dan juga pemakaiannya yang sudah lama pula. Apalagi suara mesin yang sangat tidak beraturan terkadang membuat telinganya berdengung bukan main.

Namun Ayra harus bersyukur, apapun yang ia punya belum tentu orang lain miliki. Teringat dulu saat ia belum memiliki motor untuk berobat ke puskesmas saja ia dan ibunya berjalan kaki, sebelum itu dari rumahnya ia akan menaiki angkot hingga sampai pasar dan dari pasar menuju puskesmas ia berjalan kaki. Selain karena tak memiliki kendaraan sendiri, kendala uang adalah masalahnya. Sehingga ia memilih untuk berjalan kaki daripada naik ojek.

Namun untungnya jarak antara pasar dan rumah sakit tak terlalu jauh, sehingga memudahkan mereka untuk sampai.

"Berapa orang yang nggak pulang Ay," tanya Hendra ditengah-tengah motor melaju.

"Satu," jawabnya singkat

"Kenapa nggak pulang?" tanyanya lagi tak terdengar dengan jelas namun masih bisa terdengar oleh telinga Ayra.

"Nggak ada yang jemput."

"Orang mana emang teman kamu itu?"

"Asli Makassar."

"Wah, jauh amat. Makassarnya mana?"

"Nggak tahu, " jawabnya malas

Ayra menghembuskan nafas dengan kasar, ini adalah salah satu hal yang tidak disukai dari ayahnya. Kebanyakan bertanya dan selalu mengulang kembali pertanyaan yang sama. Entah mengapa, ia tidak menyukai seorang laki-laki yang banyak bicara. Walaupun itu ayahnya sendiri.

Terkadang malah dengan tidak sopannya, hati Ayra begitu dongkol hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan dari sang ayah yang menurutnya tidak terlalu penting.

Sejujurnya Ayra memaklumi bahwa ayahnya bukanlah seorang manusia yang sempurna. Ia tetap manusia biasa yang tak lepas dari khilaf dan dosa begitu juga dengan dirinya, namun mengingat sikap-sikapnya yang buruk membuat rasa kebencian itu mulai memenuhi hatinya. Apapun yang ayahnya lakukan, baik ataupun buruk baginya tetap sama saja. Tak ada gunanya.

Apalagi mengingat bagaimana ayahnya memperlakukan ibunya, Ayra sungguh sakit hati. Bahkan ia berfikir perceraian akan lebih baik daripada melihat ibunya tersiksa sedemikian rupa hanya karena dirinya dan adiknya.

Bertahun-tahun ibunya berjuang seorang diri, menjadi seorang ibu dan juga menjadi tulang punggung keluarga. Dan hal itu sama sekali tak membuat ayahnya berterima kasih kepadanya.

Ayra tak menyangkal bahwa ayahnya sangat menyayanginya dan begitu juga adiknya, namun semua kasih sayang itu sirna saat kepingan-kepingan perlakuan kasar ayahnya kepada ibunya berputar.

Bagaimana sang Ayah yang ketika bertengkar akan selalu mengucapkan kalimat yang sama dan selalu berulang
'Sana, pulang kerumah ibumu'. Sebuah kalimat singkat yang berkali-kali menusuk hati terdalamnya.

Bukan hanya hati ibunya yang begitu terluka, namun hati Ayra lebih merasa tersakiti karena tak mampu berbuat apa-apa untuk ibunya.

Sungguh, perpisahan mungkin lebih baik bagi keduaorangtuanya. Terlebih lagi untuk ibunya, untuk kebahagiaannya dan kedamaian hidupnya. Ayra tak keberatan jikalau orangtuanya untuk memutuskan hak tersebut, malahan ia merasa lega karena telah mengeluarkan ibunya dari jurang kegelapan dan ketidaknyamanan. Namun seringkali sang ibu memilih bertahan dengan alasan kedua anak-anaknya. Bahkan tanpa ia tahu, sang anak sebenarnya menginginkan hal tersebut terjadi.

***

Selamat membaca
Jangan lupa kritik dan sarannya

~ Hehehe ~

BaskaraWhere stories live. Discover now