Natsu No Ai - Sougo x Reader

892 64 3
                                    

Angin sore berhembus membuat berpuluh-puluh ilalang di sebuah tanah lapang bergoyang seirama, serta mengakibatkan untaian rambutku terkibas kesana kemari.

Senja hari ini begitu indah, semilir angin begitu merdu diikuti tarian lembut sang ilalang dan bunga dandelion bertebangan dengan indahnya diudara.

Bulan Maret yang panas, bulan Maret yang memekakkan, dimana matahari seperti berada di atas ubun-ubun manusia.

Sejatinya, aku sendiri tak mengerti mengapa aku berada di sini ketika cuaca begitu panas. Entah apa yang mendorongku berada di tempat ini, mungkin karena tempat ini istimewa dan menakjubkan.

Aku mendesah, beberapa kali kuseka tiap butiran keringat yang menghiasi wajahku. Namun meskipun aku merasakan panas yang mengusik, aku tetap enggan berdiri dari tempatku berpijak saat ini.

Angin kembali berhembus, membuat ilalang menari dengan indahnya, sedangkan dadelion berhamburan di langit mengikut arah perginya angin.

Bunga dandelion dikenal sebagai bunga yang rapuh dan mudah terombang-ambing. Namun disadari atau tidak, kendati bunga ini mudah sekali terbawa angin, namun dia bisa menjaga keutuhannya.

Bahkan dalam keadaan terhempas angin dan bunganya tersebar sekalipun, bagian bunga tersebut tidak rusak. Sebaliknya, bunga dandelion tetap mampu mengikuti arah angin dan memberi keindahan kepada siapa saja yang melihatnya.

Entah kenapa, tiba-tiba aku teringat pertemuan pertamaku dengan dia. Seorang laki-laki yang tiba-tiba muncul entah darimana dan memintaku untuk menolongnya.

"Maaf, bisakah kau menolongku?" tanyanya pelan.

"A-ap ..." Aku masih belum menyadari apa yang terjadi.

"Onegaii…" Dia memohon dengan nada memelas.

Mukanya merah. Warna kulitnya yang seputih salju menjadi kemerahan terlihat karena kelelahan. Mungkin habis berlari. Berlari? Berlari dari apa?

"Apa yang bisa kubantu?" tanyaku pelan.

"Tolong, sembunyikan aku."

Aku tidak mengerti, sungguh. Tapi aku merasa kasihan padanya. Melihat keadaan laki-laki itu, apa ada orang yang berniat jahat padanya?

Sudahlah. Menolong orang itu mulia, kan? Setelah berkutat dengan pikiranku sendiri, aku lantas menarik lengan tuxedonya yang lembut, selembut sutera. Kubawa dia berlari menuju jalan setapak kecil yang menghubungkan asramaku dengan taman ini. Sejauh yang kutahu, jalan ini yang menjadi jalan rahasia para penghuni baru asramaku untuk melarikan diri.

Aku tidak membawanya ke asramaku, melainkan ke sebuah gazebo tua yang sudah hampir ambruk. Gazebo kecil berukuran kira-kira tiga kali dua meter ini sudah ditumbuhi tanaman-tanaman liar yang merambat. Gazebo ini lumayan tinggi dan memiliki sebuah tangga yang terbuat dari kayu dan sudah sangat rapuh, menimbulkan suara berdecit ketika kami menginjaknya. Tiangnya yang keropos hanya bersisa tiga buah. Tak heran, atapnya melengkung pada salah satu bagian. Atapnya berupa genteng yang terbuat dari tanah liat.

Kami duduk begitu saja di lantai gazebo yang sudah terkoyak. Kulihat lelaki itu. Kuamati dari atas ke bawah. Dari ujung rambut hingga ujung sepatunya. Rambutnya yang berwarna putih keunguan berkilau ditimpa cahaya matahari. Rambut yang tadinya tertata rapi kini sedikit acak-acakan karena tertiup angin, dan poni laki-laki itu kini menutupi dahinya yang basah oleh keringat. Bagian leher kemejanya juga basah oleh keringat. Di saku tuxedo kirinya, tersemat setangkai bunga mawar biru yang sudah agak layu. Tubuhnya bagus seperti binaragawan muda yang baru beberapa tahun berlatih, namun sudah menunjukkan bentuk yang diharapkan. Lengannya cukup besar, cukup untuk menjatuhkanku dari gazebo yang tinggi ini.

IDOLiSH7: Oneshot's CollectionWhere stories live. Discover now