22 | Papa dan Bu Cantik

218 32 85
                                    

Hiroki hanya menganggukkan kepala singkat melihat Akira yang baru saja berbalik dari arah ibu kantin. Perempuan yang notabene adalah guru BK sekaligus wali kelasnya itu melakukan hal yang serupa. Menganggukkan kepala singkat kemudian segera bergegas pergi. Hiroki sempat melirik tadi, Akira sedang membawa nampan berisikan dua piring gado-gado.

Kalau boleh jujur sih sebenarnya Hiroki masih sedikit kesal dengan sosok guru berparas ayu itu. Perihal waktu itu, beberapa waktu yang lalu. Dia hanya bolos sekali, tapi Akira menegurnya hingga berhari-hari. Kadang Hiroki begitu dongkol jika mengingatnya. Wali kelasnya itu benar-benar galak dan tidak bisa diajak santai. Dari dulu kerapkali membuatnya uring-uringan.

“Elah! Ngapain gue jadi mikirin Bu Akira, sih?” decak Hiroki sambil menggelengkan kepalanya.

Sementara itu, Akira yang baru saja kembali dari ibu kantin segera mendudukkan diri di bangku paling ujung dimana seseorang sudah menunggunya. Dia meletakkan nampannya di meja, kemudian menyodorkan sepiring gado-gado pada rekan kerjanya yang tengah sibuk bermain ponsel.

“Narumi, makan dulu,” celetuk Akira singkat. Membuat sosok perempuan dengan iris mata coklat berkilau itu berjengit.

“Mbak, Mbak, lihat ini deh. Ini kalau aku yang makai, kira-kira cocok nggak, ya?” Narumi memperlihatkan ponselnya ke arah Akira yang baru saja akan menyantap makan siangnya.

Narumi adalah guru termuda di sekolah tempat mereka bekerja. Mengampu mata pelajaran Matematika, perempuan yang lebih muda lima tahun dari Akira itu akan melangsungkan pernikahannya bulan depan. Gara-gara hal itu, tidak jarang Akira menerima ledekan dari rekan-rekan sesama guru karena diantara guru perempuan yang lainnya, hanya tersisa dirinya saja yang belum menikah. Bahkan Narumi yang lebih muda saja sudah siap dipersunting.

“Cocok-cocok aja sih kalau menurutku. Kamu didandanin jadi gembel pun menurutku juga masih kelihatan cantik, Na. Karena dasarnya kamu itu udah cantik.”

Terkadang Narumi tidak paham dengan maksud candaan Akira yang sedikit menohok. Iya sih dia akan dengan senang hati dipuji cantik, tapi kan tidak perlu bawa-bawa gembel juga. Begitu batinnya.

“Mbak, ntar kalau aku nikah, kan aku rencananya mau lempar bunga gitu ya. Ntar Mbak Akira tangkep ya bunganya, sama Pak Bule kalau bisa. Hihi.” Narumi sudah tertawa sendiri sambil membayangkan hal itu akan benar-benar terjadi.

Akira mencebikkan bibirnya. “Daripada kamu lempar bunga, mending kamu lempar duit-duit dolar kamu. Nah, kalau beneran gitu, aku bakal maju paling depan. Lumayan buat biaya sembuhin mobilku uangnya.”

Narumi memutar bola matanya. Merasa sedikit gemas dengan jawaban Akira. “Hisshhhh. Ya nggak gitu juga kali, Mbaaaak.”

“Lagian ngapain sih harus nangkep-nangkep bunga sama Mas David segala? Kamu pikir ini sinetron gitu?”

“Ya kan biar kalian cepet nyusul gitu maksudnya,” jawab Narumi begitu saja. “Kukasih tahu ya, Mbak, kalian berdua tuh udah cocok banget dilihat dari sudut pandang manapun. Perfecto numero uno deh. Pokoknya di mataku kalian itu udah terbaik. Aku hard shipper kalian pokoknya,” lanjutnya cukup hiperbola.

“Kita nggak ada hubungan apa-apa, Na, cuma temenan doang. Jadi stop deh nggak usah mulai jodoh-jodohin lagi. Bikin malu aja. Kamu tuh lama-lama jadi kayak Bu Yoshie tahu, nggak?” Akira memprotes kesal, namun pipinya terlihat memerah. Hal itu tak urung membuat Narumi semakin ingin menggodanya.

“Kan emang sekarang lagi musim temen tapi menikah, Mbak. Jadi nggak masalah kali. Awalnya temen, eh lama-lama demen, trus dinikahin deh. Hahaha.”

“Calon penganten baru bawel bener ya. Udah-udah buruan makan.” Akira berusaha menghentikan pembicaraan yang sedikit mengusiknya itu.

Narumi baru saja ingin menjawab, ketika seseorang sudah lebih dulu menginterupsi. “Bu Narumi, Bu Akira, boleh saya ikut gabung?”

Growing Up (Vol. 02)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz