32 | Kita Kapan Nyusul?

177 22 58
                                    

Tibalah hari yang ditunggu untuk Narumi. Sahabat sesama pengajar Akira itu resmi melangsungkan pernikahannya hari ini. Selesai akad yang digelar pukul sepuluh tadi, acara dilanjutkan dengan resepsi yang cukup meriah. Bertajuk garden party, resepsi dilangsungkan segera setelah akad nikah selesai.

“Nggak nyangka ya Narumi udah nikah aja. Kayaknya baru kemarin dia malu-malu ngelamar jadi guru magang di sekolah, eh sekarang udah berani nikah aja,” celetuk Akira sambil melipat tangan di depan dada. Dia masih tidak percaya jika salah satu orang terdekatnya dari lama itu telah menikah. Namun lebih dari itu, Akira turut senang juga. Senyum manis tidak luntur dari bibirnya melihat kebahagiaan Narumi. Meskipun sebagian kecil hatinya merasa sedikit kesal dengan segala tingkah jahil pengantin baru itu.

Di sebelahnya, Masato hanya bisa terkekeh. “Kayak cepet banget ya rasanya.”

Akira mengangguk. “Rasanya juga kayak baru kemarin dia putus-nyambung gara-gara LDR, trus tiba-tiba dateng ke rumah buat curhat sampe lupa waktu. Nggak nyangka dia sekarang udah nikah aja. Mau sebanyak apapun dia putus sama Jun, tetep aja dia nikahnya sama Jun juga. Emang bener kata orang kalau jodoh nggak kemana.”

Masato diam-diam mengulum senyum. Sambil memerhatikan Akira dari samping, laki-laki itu meredam detak jantungnya yang bertalu. Sadar atau tidak, ini selalu terjadi setiap kali dia melihat Akira tersenyum. Katakanlah itu berlebihan, tapi memang itu yang terjadi.

Sadar bahwa tatapan mata Masato tertuju padanya, Akira menoleh pada laki-laki itu. Dalam sekejap, Masato berusaha menutupi kegugupannya sendiri. Dia berdeham sebentar agar tidak terlihat terlalu aneh di hadapan Akira. “Bener. Kalo jodoh nggak bakal kemana. Tapi kalo nggak kemana-mana ya nggak bakal ketemu jodohnya.”

Akira langsung tertawa mendengar ucapan Masato barusan.

“Hmm, Bu Akira keduluan lagi nih kayaknya sama yang muda.” Di tengah pembicaraan mereka mengenai jodoh yang tidak kemana, tiba-tiba saja seorang perempuan dalam balutan gaun selutut berwarna baby blue menghampiri mereka.

Akira langsung menoleh ke samping, begitupula Masato.

“Jadi kapan nih Bu Akira sama Pak Masato nyusul mereka?” tanya perempuan itu lagi dengan senyum menggoda.

“Ah, Bu Yoshie....” cicit Akira memanggil nama perempuan itu. Dia adalah rekan sesama guru di sekolahnya. “Bu Yoshie bisa aja ngomongnya.” Akira tersenyum malu. 

“Eeeh, nggak usah malu-malu gitu, Bu Akira. Temen-temen kan udah banyak yang tahu juga. Ayo dong buruan nyusul. Nungguin apa lagi, sih? Kalian berdua ini udah cocok banget lho di mata saya. Tadi aja pas foto bareng sama pengantinnya kelihatan serasi banget gitu kalian,” ucap Bu Yoshie lagi dengan nada menggebu-gebu.

Seolah mengerti dengan perasaan Akira, Masato turun tangan untuk menanggapi kalimat Bu Yoshie. “Bu Yoshie doakan saja yang terbaik untuk kami. Nanti kalau sudah nemu tanggal yang cocok, pasti kita bakal langsung ngabarin Ibu kok,” ujarnya kalem kemudian tersenyum.

Bu Yoshie tertawa senang. “Beneran lho ya, Pak Masato. Saya nunggu kabar baiknya. Nunggu undangannya juga.”

“Pasti, Bu. Ditunggu saja.”

Lain halnya dengan Masato yang bisa terlihat santai, Akira justru hanya bisa menundukkan kepala. Mendengar penuturan Masato barusan membuat benaknya jadi memikirkan hal yang tidak-tidak. Apa maksud Masato mengatakan kalimat seperti itu? Apa mungkin benar jika Masato seperti yang dibicarakan orang-orang di sekitarnya? Mungkinkah bahwa Masato memang menaruh hati padanya? Seriuskah?

Tidak, tidak. Akira berusaha menepis semua pikiran melanturnya. Dia tidak mau berspekulasi terlalu dini. Dia tidak mau besar kepala. Pasti Masato tadi hanya bergurau. Dia berbicara begitu hanya untuk mengalihkan Bu Yoshie agar tidak terus-terusan bicara yang tidak-tidak. Ya, pasti begitu.

Growing Up (Vol. 02)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang