Rintangan Pertama

498 138 12
                                    

(Coba untuk membaca diiringi lagu 첸 (CHEN) - 벚꽃연가 (Cherry Blossom Love Song) untuk suasana membaca yang lebih menarik)

Yuta sudah duduk di mejanya. Yamato yang sedari tadi hanya mengamati yuta kemudian menggelengkan kepalanya.

"Dibalas?" tanya Yamato setengah berbisik.

Yuta mengangguk dengan mantab, "Iya. Dia bahkan mengatakan menunggu surat balasan dari saya".

"Selamat jikalau begitu." Yamato menghela nafasnya.

"Kamu yakin akan hal ini?" tanya Yamato sekali lagi meyakinkan Yuta.

"Setiap malam, banyak perempuan dari bangsa- bangsanya di culik dan di paksa untuk melayani dan memuaskan nafsu kita. Mmmm, atau lebih tepatnya mereka yang memimpin kita dan beberapa teman- teman kita." Yamato belum melanjutkan kalimatnya namun Yuta sudah menjawabnya.

"Entahlah, namun bagi saya ini adalah hal yang harus saya perjuangkan. Saya menyayanginya. Kamu tahu itu bukan?" Yuta memalingkan pandangannya dari Yamato. 

Yuta tersenyum nanar, di pandanginya surat dengan amplop berwarna putih yang ia keluarkan dari kantong dan ia letakkan di mejanya.

"Saya akan berjuang untukmu, seberat apapun nanti hal yang harus saya hadapi." Tangannya kembali sibuk mengetik berkas.

Pengeras suara tiba- tiba menggema ke seluruh ruangan. Terdengar suara berat dari laki- laki yang mulai membacakan pengumuman.

"Ohayo. Jayakarta e no butai no iten nit suite no joho ga aru node, subete no heishe e no happyo wa chou no b ani atsumaru yo ni yokyu sa remashita. Arigato. (Selamat Pagi, Pengumuman kepada seluruh prajurit dimohonkan untuk berkumpul di lapangan tengah dikarenakan akan ada informasi mengenai pemindahan pasukan ke Jayakarta. Terima Kasih)".

Jantung Yuta berdegup, ia khawatir namanya akan masuk ke dalam daftar yang akan di pindahkan ke Jayakarta. Tentu saja ia tidak akan dapat melakukan penolakan atas perintah namun di satu sisi berat ia harus meninggalkan Kath.

Semua tentara sudah berbaris rapi di lapangan tengah. Satu persatu pemimpin pasukan membacakan nama yang harus ikut dipindahkan ke Jayakarta.

Tomochiro Aizawa

Aurame Imawari

Azumeto Husame

Karobuto Kakami

Mekaguro Hazubuci

Watanabe Kakasahi

Nakamoto Yuta

Deg. Jantungnya berhenti setelah mendengar Namanya di sebut. Matanya membelalak. Di pandanginya Yamato yang berdiri di sampingnya.

Yamato hanya diam dan menepuk pundak Yuta.

"Bagaimana ini?" suara Yuta lirih. Dadanya terasa sakit. Baru saja ia bisa mendekatkan diri dengan Kath namun rintangan kian menyulitkan sebuah jalan yang baru saja terbuka.

"Nama- nama yang tadi sudah disebutkan akan mulai dipindahkan ke Jayakarta 2 minggu terhitung sejak hari ini. Persiapkan diri kalian. Banyak perlawanan di Jayakarta." Ucap laki- laki dengan postur tubuh tegap dan kaca mata hitam serta kumis yang menghiasi wajahnya.

Setelah hormat kepada pemimpin, para prajurit mulai membubarkan diri dan kembali ke aktivitas masing- masing. Langkah Yuta lemas, enggan rasanya ia untuk kembali ke ruangan. Rasanya, ia hanya ingin berlari menuju kantor Kath dan memeluknya dengan erat. Ia betul- betul masih belum ingin untuk berpisah dengan Kath, gadis yang betul- betul ia sayangi. Yuta ingin marah, namun tidak bisa ia lampiaskan.

"Mungkin nanti betul- betul aku akan menitipkan Kath padamu." Ucap Yuta kepada Yamato.

"Mohon untuk memastikan ia baik- baik saja selama saya tidak disini." Yuta menatap Yamato dengan raut wajah serius. Yamato hanya mengangguk. Ia kebetulan tidak masuk dalam daftar nama yang tadi di sebutkan.

"Kamu juga harus menjaga dirimu baik- baik, pastikan kamu kembali masih bersama ragamu." Suara berat terdengar dari bibir Yamato.

 Kesedihan yang ia rasakan untuk berpisah dari seorang sahabat baik yang sudah ia kenal lebih dari setengah usianya dilepas untuk melakukan perlawanan di lokasi yang berada jauh darinya.

Malam sudah tiba suasana gelap dan sunyi menyelimuti kota. Yuta duduk di pos jaga seorang diri. Suara serangga- serangga malam mulai bersahutan, suara kodok pun ikut nyaring bernyanyi mengiringi hari pertama hujan yang turun di malam itu. Angin yang dingin menusuk kulit. Dikeluarkannya surat yang tadi pagi diberikan oleh Kath dan di bacanya di bawah lampu temaram yang menerangi pos jaga.

Kepada,

Nakamoto Yuta

Selamat malam saya ucapkan. Pertama, nama saya adalah kathelijn, kamu salah menuliskan nama saya. Kemudian, sudah saya sudah memaafkan atas apa yang sudah terlalui di waktu itu. Namun saya berterima kasih kepada mu untuk menyelamatkan nyawa saya pada hari tu. Jika boleh jujur, ya, memang saya sangat membenci bangsamu pada saat itu. Saya selalu mengumpat dan membuang muka jika bertemu dengan bangsamu. Namun, entah mengapa perlahan rasa benci itu hilang sejak saat saya bertemu denganmu di kantor pada saat itu. Teduh saya melihat sorot matamu, tenang dan aman saya diantara senyum mu, terenyuh saya kepad surat kecil yang kamu berikan pada saya ketika ada suara yang sangat tidak asing bagi saya, yakni suara dari pembunuh ibu saya. Saya bahkan sudah lupa, kapan terakhir kali saya mengumpat saat berpapasan dengan tentara Jepang setelah saya bertemu denganmu. Kamu tahu? Saya merasa sangat senang ketika mendapatkan surat darimu dan bagaimana usaha mu untuk mengirimkan surat kepada saya. Yuta, sekali lagi saya ucapkan terima kasih kepadamu. Kamu, menjadi salah satu alasan dimana saya bisa perlahan menyembuhkan luka hati saya kepada bangsamu. Dan kamu, menjadi salah satu alasan pula dimana jantung saya dapat merasakan degup yang hebat hanya dengan membaca surat dan membayangkan wajahmu. Terima kasih saya ucapkan sekali lagi. Saya akan senantiasa menunggumu untuk kembali membalas surat saya.

Tertanda,

Kathelijn

Yuta tersenyum namun dadanya terasa sesak. Ia mempertanyakan mengapa di saat gadis yang ia sayangi mulai dapat membuka hatinya, ia harus terpaksa berada jauh darinya. Berada di lokasi yang mana ia tidak bisa melihat gadis itu setiap harinya. 

Yuta mulai berpikir bahwa ini menjadi salah satu karma yang Tuhan berikan atas kejahatan yang ia lakukan. Atas pembunuhan- pembunuhan keji yang ia rasa telah ia lakukan. Tuhan membalasnya dengan memisahkan dirinya dengan Kath. Hatinya pedih, bibirnya kelu tak dapat mengucap sepatah katapun.

 Di remasnya kain celananya dengan kedua tangannya, ia tahan air matanya agar tidak jatuh sekuat yang Yuta bisa.

"Tuhan, atas semua rintangan ini, setidaknya izinkan kami memiliki akhir yang bahagia." bisiknya pelan. 

Rintihan hatinya semakin pilu diiringi air hujan yang tak kunjung mereda. Ingin rasanya ia berteriak untuk mengeluarkan semua beban di dadanya namun ia urungkan. Diambilnya lagi kertas dan pena yang sudah ia bawa untuk membalas surat Kath. Namun tak satupun kalimat tertulis di kertas itu. 

Yuta merasa akan lebih baik untuk langsung berjumpa dengan Kath dan mengutarakan semua yang ada dalam pikirannya. Ia menitikkan air mata sembari terus memikirkan kata yang sama sekali tidak dapat ia tuangkan dalam kertas kosong itu untuk Kath ditengah malam yang sunyi dan dingin, kalut dalam pikirannya dimana ia harus berpisah dalam waktu dekat dengan pujaan hatinya, Kathelijn. Surat yang biasanya ia tulis dengan penuh semangat, namun berbeda dengan hari ini.

One Last Kiss | NCT YUTAWhere stories live. Discover now