Wonwoo menatap hampa ke luar jendela taksi, lampu-lampu jumat malam yang sibuk di Parlemo berkelip-kelip. Tapi lampu-lampu itu mengabur saat mata yang sia-sia memenuhi matanya. Ia baru saja melarikan diri bagai pengecut yang menyedihkan. Marah pada diri sendiri karena mereka begitu emosional, Wonwoo menyingkirkan perasaan itu, menghindari tatapan penasaran sang sopir di kaca spion.
Ia benci betapa mudah Mingyu disambut kembali dalam keluarganya. Ia benci betapa mudahnya Mingyu menjamin kesembuhan ayahnya. Dan ia membenci dirinya karena merasa seperti ini.
Mingyu menegaskan keberadaan Wonwoo sebagai kesalahan besar dalam keluarganya sendiri. Hoseok-lah yang menjadi tumpuan harapan dan impian keluarganya. Jadi, Wonwoo bisa dikatakan terlupakan. Karena memang bukan siswi yang cerdas, Wonwoo berhenti sekolah pada usia enam belas untuk bekerja dengan neneknya di restoran kecil.
Hoseok tahu ambisi Wonwoo untuk sukses dan mencapai sesuatu dalam hidupnya. Tapi ketika Hoseok meninggal, hubungan tersebut lenyap dan orangtuanya putus asa, hanya dengan anak mereka satu-satunya yang tak memiliki potensi cemerlang.
Itulah sebabnya Wonwoo bekerja begitu keras untuk membangun bisnis. Tapi bahkan ketika bisnis itu mulai berkembang, orangtuanya malah cemas, bukannya bangga. Mereka orang-orang kolot dan menganggap kualifikasi akademik serta karier bagus sebagai hal yang paling penting. Juga supaya Wonwoo menemukan pria baik-baik dan berkeluarga... dan mereka. Memberi mereka cucu.
Tapi sebaliknya, musuh Wonwoo, Kim Mingyu, menjadi orang yang melakukan itu. Dalam lebih dari satu cara. Sedikit demi sedikit, Wonwoo berutang semakin banyak padanya. Ia membenci Mingyu karena itu, tapi dialah yang mengundangnya kembali dalam hidup mereka, jadi ia hanya bisa menyalahkan diri sendiri.
Wonwoo ingat bagaimana rasanya memandang mata Mingyu, melihat kepedihan menyediakan di mata itu. Bagaimana jantungnya serasa diremas, bagaimana hati nurani Wonwoo mengejeknya. Dan lebih buruk lagi, bagaimana jantungnya berdebar tak menentu hanya karena berada di dekat Mingyu. Seperti yang selalu terjadi, seperti yang selalu terjadi dulu. Kenapa pria itu masih membawa pengaruh seperti ini padanya?
Taksi menepi di luar gedung apartemen dan Wonwoo membayar sopir serta tak membiarkan Mingyu menguasai benaknya lagi. Hanya setelah ia terlelap dalam tidur yang gelisah Mingyu datang menghantui mimpi-mimpinya.
"Apa ini?"
Wonwoo berdiri di hadapan Mingyu pada hari Senin pagi berikutnya dalam ruang kerja pria itu. Kepalanya masih pusing karena betapa cepat berbagai hal terjadi hanya dalam 36 jam. Ayahnya sudah berada di klinik swasta di Syracure dan ia sudah pindah ke tempat tinggal para staf kemarin malam.
Mingyu duduk di belakang meja, terlihat tak cocok berada di sana dalam balutan kaus abu-abunya. Pria itu terlihat terlalu penuh semangat, maskulin, serta seksi untuk duduk di belakang meja.
Wonwoo kembali berkonsentrasi pada pertanyaan Mingyu. "Ini uang muka dari gaji yang kauberikan padaku. Aku perlu membayarmu kembali atas apa yang kau lakukan untuk ayahku. Aku sadar akan membutuhkan banyak-"
Mingyu mendadak berdiri, membuat Wonwoo terdiam. Wajahnya menggelap dan ia mengulurkan cek itu kembali pada Wonwoo. "Jangan hina aku, Wonwoo. Tolong."
Wonwoo tak bersedia menerima cek itu, wajahnya juga menggelap saat darahnya berpacu. Ia malu. "Ketika aku menemuimu untuk mencari pekerjaan, itu supaya aku menghasilkan cukup uang untuk menyokong dan merawat orangtuaku. Penghasilanku harus digunakan untuk perawatan mereka dan karena saat ini kaulah yang membayarnya..." Ia terdiam, sedikit takut melihat bagaimana mata Mingyu menggelap hingga hampir hitam sekarang.
"Aku menawarkan diri untuk membiayai perawatan ayahmu tanpa persyaratan apa pun."
Wonwoo menatap tajam, "Selalu ada persyaratan."
Mingyu menggeleng dan menatap Wonwoo iba, membuat dirinya malu. Pria itu mengintari meja untuk menghadapinya dan Wonwoo berharap dia tak melakukan itu. Dengan sepatu kets datar, Mingyu menjulang tinggi dibandingkan dengan Wonwoo.
"Apa yang terjadi denganmu? Apa yang membuatmu begitu sinis?" Mingyu mengeryit. "Apakah hubungan asmara yang berantakan?"
Wonwoo hampir tersedak. Kisah asmara yang berantakan? Mingyu sama sekali tak tahu. Banyak pria yang mengejar Wonwoo, tapi ia menghindari mereka. Takut karena bagaimana dalam semenit orang yang kaucintai bisa ada, dan menit berikutnya mereka bisa pergi. Selamanya. Kesadaran tersebut seolah meledak dalam benaknya, seperti bom. Ia bahkan belum pernah mengucapkan ini pada diri sendiri sebelumnya. Ia hanya secara naluriah selalu menghidari hubungan asmara. Kehilangan Hoseok membuatnya sinis. Hal itu mengubah sesuatu dalam jiwanya.
Merasa lemah karena pemahaman ini, Wonwoo hampir tak menyadari saat Mingyu menarik tangannya dan meletakkan cek itu kembali, menangkupkan tangan Wonwoo di atas cek tersebut. Tangan Mingyu besar dan hangat di tangannya, dan Wonwoo mendongak menatap pria itu. Mereka berdiri terlalu dekat daripada yang Wonwoo sadari dan aroma Mingyu, tajam dan hangat, menimbulkan berbagai kenangan dalam benaknya.
Wonwoo menyentakkan tangan yang memegang cek dari tangan Mingyu dan melangkah mundur. Satu-satunya yang ia pikirkan hanyalah ia harus keluar dari sini sekarang. Sebelum Mingyu melihat sesuatu yang bahkan Wonwoo sendiri tak sepenuhnya sadari.
Ia beranjak ke pintu lalu menoleh ke belakang dan berkata, "Kau. Kau yang membuatku seperti ini."
Satu-satunya yang dilihat Wonwoo sebelum pergi adalah wajah Mingyu yang semakin muram. Ia kembali ke dapur dan menyibukkan diri, dalam hati memohon pada orang-orang di sekelilingnya agar tidak mengusiknya.
Dari mana ia mendapat keberanian untuk mengatakan itu semua pada Mingyu? Seolah setiap kali Mingyu berada di dekatnya, ia harus menyerang pria itu.
Secara rasional, Wonwoo tahu kematian Hoseok merupakan kecelakaan tragis; Mingyu tak memaksa kakaknya menunggang kuda kesetanan itu. Awalnya, ia bahkan mendengar Mingyu membujuk Hoseok agar tidak melakukannya. Mengetahui orangtuanya terkesan bisa memaafkan Mingyu menjadi pukulan keras bagi pembenaran diri Wonwoo untuk tetap marah pada pria itu. Tapi kenyataannya, sudah sekian lama ia menganggap Mingyu bertanggung jawab.
Kemarahannya bertambah karena cara Mingyu menghilang setelah kematian Hoseok, muncul dengan memainkan peran sebagai playboy yang hanya berniat memuaskan kebutuhan dasarnya. Meski jijik pada diri sendiri karena begitu memperhatikan setiap gerak-gerik Mingyu, Wonwoo mengingat setiap tingkat sembrono Mingyu sementara mereka berduka atas kepergian Mingyu.
Kemarahannya pada Mingyu sedikit-banyak selalu membuat Wonwoo merasa nyaman. Kemarahan itu terasa akrab dan... penting. Untuk kewarasannya. Jujur saja Wonwoo tahu ia sangat takut memandang apa yang tersisa jika tak bisa menyalahkan Mingyu lagi. Jika ia tak bisa marah pada pria itu. Pikiran tersebut begitu menakutkan hingga pasti terlihat di wajahnya.
"Won? Kau baik-baik saja?"
Wonwoo menarik napas dalam dan pura-pura tersenyum pada Changmin, yang memandangnya dengan serius dari seberang meja dapur tempat mereka sedang bekerja. Ia mengangguk cepat. "Ya... aku, ah, baru ingat ada sesuatu yang harus kukerjakan."
Syukurlah Changmin tak lagi bertanya dan malam itu Wonwoo pergi ke klinik untuk melihat keadaan orangtuanya, bukannya menyusun barang-barang di tempat tinggal barunya, meyakinkan diri sendiri itu lebih dari sekedar siasat agar tidak bertemu Mingyu lagi.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
A Shadow of Guilt (Meanie)
RandomJeon Wonwoo selalu menyalahkan Kim Mingyu dan kesembronoan pria itu atas kematian Hoseok, kakaknya. Terakhir kali ia melihat Mingyu adalah ketika ia membanting pintu di hadapan wajah pria itu bertahun-tahun lalu. Kebencian begitu mengakar hingga men...