Bagian [05]

16.1K 1.6K 92
                                    

Happy Reading.

💞💞💞

Satu kekurangan Ergi dan menjadi sifat yang paling aku enggak suka adalah bertindak tanpa musyawarah. Di luar kebiasaannya yang selalu kasih kabar, dia jarang bilang-bilang untuk rencana yang mendadak. Tahu-tahu aku telah dibawanya ke rumah ibunya.

Kejadiannya satu minggu yang lalu. Setelah minggu sebelumnya Ergi menjemputku dari kos-kosan ke rumah Pak Hadi, Sabtu berikutnya dia membawaku ke rumah Bu Mala. Seharusnya pekan itu aku memiliki kebebasan tanpa dia, bokap, atau ibunya. Karena itu bukan jadwalku untuk pulang ke rumah.

Eh, tunggu.

Kenapa aku masih memikirkan jadwal pulang seolah aku masih anaknya Pak Hadi yang dulu. Well, maksudku aku tidak perlu menjalankan kegiatan itu setelah menikah. Ibaratnya begini, setelah lo menikah, apakah lo masih rutin balik ke rumah orang tua lo? Misalnya aja nih lo udah tinggal jauh sama suami lo. Enggak mungkin 'kan? Kenapa gue bego banget waktu itu?

Kembali ke minggu lalu di mana Ergi dengan seiyanya membawaku ke rumah orang tuanya. Bukannya aku pernah bilang enggak bisa tidur kalau ada suara-suara berisik. Itulah yang membuatku malas menginap di rumah Bu Mala. Setiap malamnya Yogi tak pernah absen untuk berpesta pora. Suara televisinya itu benar-benar bikin mabuk. Dan karena sampai sekarang aku masih kesal kepadanya. Bombardir pesannya masih datang sampai detik ini.

Ergi
Masih marah?

Ergi
Malam ini kamu jangan keluar rumah, mendung pekat, Ay. Kalau lapar, pesan gofood aja. Nanti hujan menurut prakiraan BMKG.

Ergi
Aku minta maaf, Ay.

Semua pesannya hanya kubaca. Biar dia tahu kesalku belum hilang. Agar dia paham kalau ada dua kepala, bukan hanya satu yang dipakai untuk mencari keputusan.

"Malam, Ayla."

Arya. Dia menutup daun pintu dari dalam. Lelaki itu meletakkan sepatunya di rak dekat pintu.

"Sendirian? Nada belum pulang?" tanyanya sembari berjalan ke dapur. Kudengar dia membuka pintu kulkas. Dia kembali ke tempatku dengan sebotol air mineral dan gelas kosong.

"Lo kayak nggak tahu Nada aja. Matahari masih di timur pacarnya udah jemput."

Lelaki itu ber-Oh. "Sepertinya mau hujan." Arya bicara setelah meneguk minumannya.

"Iya."

"Gimana kuliahmu, Ayla? Kalau ada yang bisa kubantu, bilang. Nggak usah pakai malu-malu."

"Beneran? Menurut lo, gue orangnya pemalu? Bukan Ayla kalau gitu, Ar. Kalau gue butuh bantuan lo, gue pasti akan bikin lo repot sampai mampus. Dan lo bakalan nyesel pernah kasih tawaran ke gue."

"Dan kamu belum tahu aku, Ayla. Aku akan melakukan apa saja untuk kamu."

"Ya ya ya, serah lo dah."

Suara gemuruh mulai terdengar. Aku segera mematikan televisi yang sebenarnya hanya menemani kesendirianku. Masalahnya sejak tadi aku tak pernah memperhatikan apa yang ditayangkannya. Kedua kaki kembali kutekuk di atas sofa panjang.

"Sudah makan? Ah, pasti belum," katanya.  "Kamu bisa menunggu aku sebentar? Aku hanya butuh beberapa menit untuk mengganti kemeja ini."

"Memangnya kenapa?"

"Kita makan sebelum hujannya turun. Aku ke kamar dulu. Tunggu sebentar. Ok."

Aku mengetuk pintu kamar Arya hingga dia berteriak dari dalam menanyakan ada apa.

Ayla (Pindah ke Ungu)Where stories live. Discover now