Chapter 9

102 25 9
                                    

Lyam tidak suka menjadi buta

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Lyam tidak suka menjadi buta. Dia sudah membuka matanya selebar yang dimungkinkan, tapi yang yang dilihatnya hanya warna hitam.

Kakinya terasa nyeri karena terantuk batu. Saat berhenti dan memeriksanya, Lyam tak sengaja menyentuh cairan hangat berbau anyir melelehi kelingking--tempat di mana sebuah goresan dalam menyayat kulitnya.

Gadis itu tidak tahu bagaimana dia bisa sampai di sini. Hal terakhir yang diingatnya adalah pertemuan singkatnya dengan Bunga Latibuleia, saat dia mengambil sedikit air dari Air Terjun Biru. Si bunga cantik nan pemarah memberinya sebuah kata kunci, serta-merta gelombang ingatan menerjang Lyam, menenggelamkannya. Dia ingat pandangannya mengabur dan berputar. Setelahnya tahu-tahu dia sudah terbaring di tempat ini, berselimut kegelapan nan senyap.

Selagi terpincang-pincang mencari jalan keluar, Lyam menyusurkan sebelah tangan pada dinding batu--mencoba mengenali lekukan dan teksturnya. Tidak banyak berguna memang, tapi setidaknya dia punya sesuatu untuk berpegangan. Namun, semakin jauh dia melangkah, kegiatan itu pun melukai tangannya. Dinginnya batu serasa menggigit, teksturnya setajam gigi binatang. Sama seperti kelingkingnya, jari-jari tangan Lyam sudah tergores dan berdarah.

Tangannya yang lain digunakan untuk meraba-raba apa pun di sekelilingnya. Namun, selama dia terjebak di lorong itu, tangan Lyam hanya menggapai udara. Seolah selain batu, tempat itu hanya menampung kehampaan kosong dan kegelapan, tambahnya dalam hati. Saking gelapnya, Lyam bertanya-tanya apakah matanya mampu melihat cahaya lagi.

Gadis itu sempat berniat untuk berteriak meminta bantuan, tapi saat kata-katanya berada di ujung lidah, dia menelannya kembali. Lyam tidak ingin ambil risiko atas siapa yang akan mendengar suaranya. Bisa saja Cass, si teman kancilnya (yang sekarang pasti sudah mencari-cari Lyam) atau raksasa lebah lain, atau selusin makhluk aneh dan menyeramkan. Dari pengalaman selama mengembara bersama Cass, Lyam menduga kemungkinan besar yang menemukannya adalah tebakan kedua atau ketiga.

Lyam terus menggerakkan kaki, selangkah demi selangkah. Hawa beku membelai tengkuknya mirip jemari kurus, mengirimkan sensasi merinding nan ganjil. Tenggorokannya kering dan dia kelaparan. Dia sedikit tergoda untuk meminum air yang telah diambilnya, setelahnya dia menggelengkan kepala keras-keras, mengusir ide itu. Air yang dibawa Lyam adalah pesanan dari Mak Savius, dan dia tidak ingin mengecewakan emaknya.

Lyam tidak tahu sudah berapa lama dia menyusuri tempat itu. Satu jam? Enam jam? Seharian penuh? Dia bahkan tidak bisa menebak. Rasanya dia sudah berjalan selamanya.Tubuhnya begitu lelah, hingga Lyam menduga jika dia berhenti untuk duduk, dia tidak akan bisa bangkit lagi.

"Satu langkah lagi dan berhenti," ucap Lyam dengan suara tipis. Kakinya melangkah dengan gemetaran lalu dia mengulangi kata-katanya,  "Satu langkah lagi dan berhenti." Ratusan kali Lyam mengatakan itu, tapi tidak sekalipun dia berani untuk beristirahat.

Entah di hitungan yang keberapa kala Lyam benar-benar kehilangan seluruh tenaga dan jatuh. Tubuhnya kelu, luka-lukanya berdenyut nyeri. Hawa dingin tempat itu membuatnya menggigil. Dia berusaha bangkit, tapi tubuh seolah mengkhianatinya.

"Ayolah, aku ingin keluar." Lyam mulai terisak, dirasakannya cairan hangat bergulir dari matanya. "Jika aku berhenti, aku tidak akan pernah pergi dari tempat ini. Ayolah, tubuh lemah! Berdirilah!" Sia-sia, kakinya terlalu lemah untuk sekadar memijak.

Lyam meringkuk dan menangis, memikirkan Cass dan Mak Savius. Apa yang akan mereka lakukan seandainya Lyam tidak pernah kembali? Lyam hampir bisa membayangkan wajah tua mak Savius yang dipenuhi garis kesedihan, dan Cass ... dia teringat akan mata cemerlangnya yang berkilat penuh tekad kala membicarakan mimpinya berubah menjadi manusia. Namun, sekarang dia ragu. Dialah si timun perak, sosok yang tengah mereka cari. Saat Cass tahu kebenarannya, apakah dia akan menyerahkan Lyam pada raksasa untuk mewujudkan mimpinya? Lyam tidak tahu.

Pikiran-pikiran itu membuatnya semakin lelah. Dia menyandarkan punggung ke dinding, memejamkan mata. Meskipun tidak ingin, Lyam terpaksa melakukannya untuk mengenyahkan pusing akibat menangis. Dia menghirup napas banyak-banyak, dan mencoba mengingat rasa kala cahaya matahari menyapu wajahnya. Lyam merasakan setitik kedamaian, lalu lepaslah kesadaran dari tubuhnya.

Gadis itu bermimpi begitu indah hingga dia sangsi bagaimana bisa mimpi itu muncul di tempat sekelam ini. Dia merasakan hangat matahari, dia mencium aroma bunga-bunga wangi, dia mendengar gemerisik daun tertiup angin dan deburan air di kejauhan. Lebih dari itu, dia melihat sesosok jangkung datang menolong.

"Lyam, bangunlah." Sentuhan di pipinya selembut kepak sayap kupu-kupu, tapi sudah cukup untuk membuatnya terjaga. Lyam bangkit dari posisi berbaring dan membuka mata. Hal pertama yang dilihatnya adalah seorang wanita muda dengan telinga runcing mencuat dari kedua sisi kepala.

Lyam beringsut mundur, waspada. "A--anda siapa?"

Sosok itu tersenyum ramah, sepasang matanya berkilau dalam warna. "Kau tidak perlu takut, Lyam. Namaku Calandra, lorong Camou adalah rumahku."

KANCIL & TIMUN PERAK (Siluet Berkarya)On viuen les histories. Descobreix ara