Chapter 10

64 21 2
                                    

Langit senja telah mengubah warnanya menjadi gelap layaknya arang, membawa resah pada hati seseorang. Mak Savius duduk sendirian di depan gubuk tua yang selama ini menjadi tempatnya dan Lyam melindungi diri dari hujan dan panas. Rasanya seperti sudah bertahun-tahun putri semata wayangnya itu pergi bersama Cass.

Meskipun tidak ada sedikit pun darahnya yang mengalir pada Lyam namun, Mak Savius begitu menyayangi Lyam seperti darah dagingnya sendiri. Bukankah seperti kata orang-orang? Cinta itu mengikat seseorang lebih dari hubungan darah.

Beberapa penduduk sempat melintas di hadapannya dan mengajaknya berbicara, namun itu tidak dapan mengurangi kegelisahan dalam hatinya. Mak Savius masih menerka-nerka apakah yang mengganjal hatinya hingga membuatnya gelisah sedemikian rupa. Selama kepergian Lyam, Mak Savius memang selalu mendapatkan kabar dari beberapa orang yang melihat Lyam dan Cass.

Namun, hingga malam ini belum ada satu orang pun yang memberinya kabar mengenai Lyam.

Mak Savius pun bangkit dan masuk ke dalam rumah. “Mungkin aku hanya terlalu mengkhawatirkannya. Tidak akan terjadi apapun pada Lyam, aku sudah memberikannya 3 biji ajaib agar mereka bisa melindungi diri,” ujar Mak Savius sambil merebahkan tubuhnya di atas dipan.

Mak Savius pun berusaha memejamkan matanya, namun enggan terlelap juga. Ia meyakini ada sesuatu yang terjadi pada Lyam atau Cass. Embusan napas berat kembali terdengar dari Mak Savius, ia hanya bisa melakukan itu untuk sekadar menenangkan dirinya sejenak.

Pada menit ke lima, Mak Savius pun menyerah. Ia mengambil kain untuk menutupi tubuhnya dari hawa dingin angin malam, dan memutuskan pergi menemui Peri Calandra. Entah bagaiman ia bisa mengingat Peri yang memberikan timun perak padanya itu. Ia berharap jika Peri Calandra bisa membantunya untuk mengetahui keadaan Lyam saat ini.

“Hendak ke mana malam-malam begini?” tanya Hime, salah satu penduduk yang kebetulan saat itu bertugas untuk berkeliling desa.
“Aku hendak pergi menemui Peri Calandra,” jawab Mak Savius tanpa menutupi kekhawatiran pada nada bicaranya.

“Bukankah Peri Calandra tinggal di Lorong Camou?” Mak Savius pun mengangguk. “Jalan ke sana akan sulit dilalui malam-malam seperti ini, tidak bisakah Mak menunggu sampai matahari terbit?”

“Tidak bisa!” seru Mak Savius sambil berlalu meninggalkan Hime yang mematung, namun pada akhirnya Hime melanjutkan kegiatannya berkeliling menjaga keamanan desa.

Angin berembus semakin kencang kala Mak Savius memasuki hutan, lolongan anjing hutan pun saling bersahutan menemani langkah Mak Savius. Langit pun nampak gelap, padahal seharusnya saat ini tengah bulan purnama. Obor di tangan Mak Savius sedikit meredup saat terkena embusan angin namun, ia berusaha mempertahankan cahaya dari obor tersebut.

Beberapa duri dari tanaman liar mulai melukai kaki Mak Savius, jalan menuju Lorong Camou bukanlah jalan yang sering dilewati oleh para penduduk mau pun pengembara. Mak Savius benar-benar harus memperhatikan langkahnya, karena Peri Calandra memasang beberapa jebakan menuju lorong Camou.

Sebuah senyuman tercetak pada wajah Mak Savius saat melihat pintu masuk menuju Lorong Camou. Tetapi, kegelisahan dalam hatinya tidak kunjung berkurang, justru semakin menjadi. Ia tidak tahu apa yang terjadi di depan sana.

Mak Savius merapalkan mantra untuk masuk ke dalam Lorong Camou. Setelah mantra itu dirapalkan, cahaya keperakan melingkupi tubuh Mak Savius dan masuk ke dalam Lorong Camou.

“Ibumu datang,” ujar Peri Calandra saat melihat Mak Savius yang masih menutup matanya.

Mak Savius pun membuka matanya dan terkejut melihat kehadiran putrinya di dalam lorong Camou bersama Peri Calandra.

KANCIL & TIMUN PERAK (Siluet Berkarya)Where stories live. Discover now