9. Tangisan dalam diam

67K 8.8K 315
                                    

Kamu tidak akan tau sesesak apa orang-orang yang nampak terlihat begitu tegar dari luar. Bisa jadi, ia lebih tersiksa dari orang yang menangis meraung di dalam pelukannya.

💦

“Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.”

Debaran jantung seakan terhenti. Dada terasa sesak saat itu juga. Napas pun semakin tak beraturan. Ada tangis yang teredam dari kedua bola mata yang berusaha tegar meski sudah nampak memerah dan berkaca-kaca. Di dalam pelukannya sudah ada sosok yang menangis hingga membuat pakaian yang dikenakannya basah karena air mata. Sedangkan laki-laki itu tetap berusaha keras menahan dirinya untuk tidak menumpahkan segala emosi yang dirasa.

“Pukul sepuluh pagi lewat tiga belas menit,” sang dokter menyebutkan waktu kepergian wanita yang berbaring di atas ranjang rumah sakit itu.

Wajahnya nampak tersenyum, hal itu yang membuat Ikhwan ikut menerbitkan senyumnya dan mengeratkan pelukannya pada Miya seraya membisikkan sesuatu. “Nek, Umi senyum. Nenek gak boleh nangis. Nanti Umi ikut sedih.”

Tidak. Bisikan itu tidak membuat Miya berhenti. Ikhwan pun mengerti. Miya butuh waktu mengikhlaskan Ismi yang telah berpulang untuk selamanya.

💦

Malam ini digelar pengajian di rumah Ikhwan. Bukan tahlilan seperti kebiasaan orang-orang saat ada yang meninggal dalam keluarganya. Melainkan pengajian yang hanya diikuti sanak saudara sang keluarga. Febrian juga berada disana, ia ada di rumah Ikhwan ketika mengetahui kabarnya dari Ikhwan. Bahkan ijin dari sekolah dan ikut mengantar ke tempat peristirahatan terakhir.

Sedari tadi, Febrian memperhatikan Ikhwan. Sahabatnya itu tidak terlihat menangis dan tidak menjatuhkan satu tetes air matanya sedikitpun. Bahkan Ikhwan tersenyum saat menyapa saudara-saudaranya. Febrian janji ia akan bertanya setelah orang-orang ini pulang.

Dan akhirnya, pukul sepuluh, satu persatu keluarga pulang ke rumahnya masing-masing. Meski ada beberapa yang menginap karena rumahnya berada di luar kota.

“Feb.”

Febrian yang merasa terpanggil segera menoleh menatap Ikhwan.

“Boleh minta tolong, anter ke minimarket depan.”

Tidak menjawab, Febrian langsung berdiri menghampiri Ikhwan yang berada di depan teras lalu memakai sandalnya. “Pake motor—”

“Jalan aja. Deket.”

Oke, ini kesempatan Febrian untuk bertanya-tanya. Tapi, apakah tidak papa? Sepertinya tidak papa. Lagipula Ikhwan tidak akan marah padanya. Setelah diingat-ingat, Ikhwan memang tidak pernah marah.

“Mau beli apa?” tanyanya sambil berjalan.

“Cemilan. Saudara gue kan pada nginep. Sedangkan gak ada apa-apa di rumah.”

“Mereka juga pasti ngerti lah, Wan.”

“Iyah. Tapi tetep aja gak baik kalo ada tamu di rumah tapi gak disuguhin apa-apa.”

Baiklah, Febrian tau kalau Ikhwan lebih tau apa yang harus dilakukannya.

Ada jeda sebentar dan hanya terdengar suara gesekan sandal dengan aspal. Sesekali Febrian menendang kerikil kecil yang ia temui di jalanan sembari berpikir-pikir lagi apa tidak papa bertanya pada Ikhwan padahal suasana masih dalam keadaan berduka.

“Makasih yah. Lo bantuin gue dari siang.”

“Ck, ngomong apa sih lo. Sejak kapan ada makasih makasih di dalam persahabatan.”

Ikhwan terkekeh. “Sok puitis lo,” begitulah katanya. Febrian pun sama terkekehnya. Lihat! Bahkan di suasana yang masih sangat berduka, Ikhwan masih bisa membuat orang lain tertawa. Febrian harus benar-benar bertanya.

“Lo gak sedih?”

Febrian yakin Ikhwan mendengarnya. Namun tak ada respon apa-apa dari wajah itu. Ikhwan masih menatap jalanan di depannya dengan wajah yang selalu nampak tersenyum.

“Semua orang yang ada di muka bumi ini, pasti sedih kalo orang yang dia sayang pergi.”

Fabrian merasa, setiap jawaban yang Ikhwan berikan padanya mampu membuat ia terbungkam dan tak bisa berkata apa-apa lagi.

“Apalagi untuk selamanya,” dan penambahan kalimat itu membuat Febrian menyesal karena telah memberikan pertanyaan bodoh.

“Mungkin lo heran kenapa gue gak keliatan nangis.”

Febrian reflek menganggukkan kepala. Ikhwan tersenyum ketika meliriknya. “Gue nangis, Feb.”

Kentara sekali nada kesedihan dari kalimat itu. Febrian bahkan dapat merasakannya. Mungkin Ikhwan menangis di belakang semua orang.

“Tapi bukannya gak boleh yah nangisin keluarga kita yang meninggal. Nanti mereka disiksa kalau kita nangisin mereka,” kiranya itulah yang pernah Febrian dengar. Ikhwan pun menoleh padanya. Lantas menggelengkan kepala.

“Nangis itu gak papa. Yang gak boleh itu meratap. Imam Thabrani meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid mengatakan: diberi keringanan menangis itu, jika tidak disertai ratapan. Adapun tangis yang berkelanjutan dan disertai pekikan. Maka demikian itu salah satu sebab tersiksanya dan pahitnya penderitaan si mayat. Nabi Muhammad salallahu 'alaihi wa sallam juga nangis waktu anaknya —Ibrahim— meninggal.”

Febrian mengangguk mengerti. Jadi ternyata Ikhwan pun menangis. Hanya saja ia tidak berlebihan.

“Sebagai manusia, wajar kalo kita nangisin kepergian orang yang berarti buat hidup kita. Tapi ini yang udah Allah tetapin. Karena hanya kepada-Nya lah kita kembali. Jangan sampe nyalahin Allah buat apa yang terjadi. Hidup dan mati kita itu milik-Nya.”

Febrian menghela napasnya. Ia selalu merasa takut kalau sudah membicarakan maut. Padahal siap tidak siap, mau tidak mau, maut tetap akan datang jika waktunya sudah tiba.

Yang jadi pertanyaannya adalah, sudah sebanyak apa bekal yang ia persiapkan untuk menghadapinya?

Dan mari pertanyakan itu juga pada diri sendiri. Sudahkah melakukan apa yang Allah perintahkan dan meninggalkan larangannya? Sudahkah melengkapi shalat fardhu lima waktu? Sudahkah mulai membaca Al-Qur'an dan mempelajari isinya? Untuk yang wanita, sudahkah memakai jilbabnya?

Jangan sampai kita menyadarinya saat semua sudah terlambat. Saat malaikat maut sudah bertamu untuk menjemput kita pergi bersamanya.

💦









Republish
1 mei 2020

Instagram
adelia_nurrahma

Ikhwan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang