Pertemuan

15 1 0
                                    

Kata orang, pertemuan itu indah.

Mempertemukan dua insan yang pernah berpisah adalah hal terindah dalam kehidupan manusia. Bagaikan alam mimpi yang terus menceritakan suasana bahagia yang tak pernah luruh dengan kejadian buruk sekalipun.

Tapi bagaimana jika pertemuan itu terjadi hanya untuk saling mengingatkan? Bukan untuk kembali bersama ataupun bersatu dalam ikatan yang sah.

-o0o- -o0o- -o0o-

Fabian meniup kedua tangannya yang terasa dingin setelah berjalan terlalu lama dengan motornya. Hari ini cuacanya dingin, tapi dia lupa membawa sarung tangan saking terburu-burunya sebelum berangkat kerja. Berdiri di depan pintu berwarna coklat muda, hanya memakai jaket kulit dan rompi anti angin, ia mati-matian menahan rasa dingin yang terus menerpanya.

"Aduh, kemana sih dia? Ditelfon nggak diangkat. Gak ngasih kabar. Awas aja kalau ketemu," gerutunya saat melihat pintu di depannya tidak kunjung dibuka.

Ia mengetuk sekali lagi, berharap kali ini pintunya terbuka dan ia bisa mengomeli kekasihnya--si pelaku yang membuatnya harus menghampirinya ke dorm dan tidak kunjung memberi kabar lebih lanjut.

Tiba-tiba saja, suara kunci yang dibuka mengalihkan perhatiannya. Senyumnya terpatri di wajahnya, jantungnya berdebar, dan perasaan senang itu melingkupi isi kepalanya, berharap itu adalah kekasihnya yang sedang membukakan pintu.

"Iya, si—Bian?"

Senyum di wajah bulat itu luruh seketika. Fabian merasa bodoh seketika karena berekspektasi terlalu tinggi, berharap itu adalah kekasihnya. Namun, yang kini berada di hadapannya adalah sosok yang tidak pernah diharapkannya lagi

"Hai, Jim," sapanya seraya kembali mempertahankan senyum lebarnya.

Wajah Jimin terlihat berantakan,dengan mata bengkak, rambut berantakan, dan kaos yang masih terlihat lipatan yang mungkin tercetak karena sehabis tiduran. Berbeda dengan matanya, tatapannya memancarkan binar kesenangan dan kerinduan teramat dalam saat menatap Fabian.

"Ah, iya," suara Fabian menyadarkan Jimin kembali ke dunia nyata. "Apa ada Kak Yoongi di dalam?"

Pertanyaan Fabian membuat binar di mata Jimin luntur seketika. Matanya memberikan binar penyesalan yang amat dalam. Belum lagi hati Jimin yang menyerngit sakit saat mendengar pertanyaannya, seolah-olah ada yang menggenggam hatinya terlalu kencang. Jimin harusnya tahu bahwa ia seharusnya tidak berharap tinggi.

"Yoongi hyung? Ada di studio seperti biasa. Kenapa?" tanya Jimin balik, mencoba mempertahankan senyum ramahnya saat melihat Fabian juga berusaha untuk ramah padanya.

"Ah, begitu," gumam Fabian.

"Kenapa nyari ke sini? Biasanya juga Yoongi hyung ada di studio," Jimin menambahkan.

"Oh, kalau itu mah tahu. Cuman tadi siang janjian mau ketemuan. Makanya sempet kukira dia ada di dorm buat siap-siap. Udah disamper, ternyata malah gak ada," kekeh Fabian pelan, mencoba mencairkan suasana.

Jimin tidak lagi membalas, ia menatap pakaian Fabian dari atas sampai bawah lalu melirik ke belakang perempuan itu, menatap motor matic terparkir di sana. "Kamu baru pulang kerja?" Tanyanya tiba-tiba seraya bersandar pada pintu dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada.

Fabian menoleh, "Iyap, aku baru pulang kerja. Niatnya mau makan malam bareng Kak Yoongi. Tapi ya udah, nanti aku cek ke studionya. Makasih ya, Jim. Akh duluan."

Entah mengapa, mendengar penjelasan Fabian, darah di dalam tubuh Jimin mendidih. Seketika Jimin menjadi benci pada hyung-nya sendiri, mengetahui bahwa Fabian masih tetap bekerja walaupun sekarang sedang punya status dengan hyung-nya.

"Kamu masih tetap bekerja? Kekasihmu sudah punya penghasil sendiri. Kenapa perlu susah payah untuk bekerja? Bukankah lebih baik kamu diam di rumah?" Tanya Jimin dengan nada sinis yang jelas sekali terdengar di telinga Fabian.

Fabian yang baru saja berbalik badan ingin menghampiri motornya menjadi berhenti dan kembali berbalik badan. Ia menatap lurus pada mata Jimin yang kini menatapnya dengan tatapan tidak suka sebelum beralih menatap langit yang mulai menggelap dengan taburan bintang dan bulan di sana.

"Apa, ya? Kak Yoongi masih berstatus kekasihku, bukan suami. Jadi, aku tidak bisa bergantung padanya," Ucapnya sebelum kembali beralih menatao Jimin. "Dia memang punya hak untuk melarangku bekerja, tapi itu tidak dilakukannya karena aku yakin, Kak Yoongi memahami dan mengerti kondisiku. Dan aku beruntung Kak Yoongi mau mengerti akan hal itu."

Fabian hanya menjelaskan, tapi entah mengapa ia seperti ditampar keras oleh batang pohon nan besar. Seolah-olah penjelasan Fabian mengingatkannya pada hubungan yang tidak sehat, yang pernah ia dulu jalani dengannya.

"Karena kurasa tidak ada lagi yang ingin kau tanyakan. Aku pamit dahulu. Sampaikan salamku pada yang lain. Selamat malam!" pamitnya seraya berjalan mundur menuju motornya lalu berbalik setelah merasa dekat dengan motor kesayangannya itu. "Eh, tunggu! Jimin, tunggu sebentar!"

Padahal Jimin belum bergerak dari posisinya, tapi Fabian berteriak seakan dirinya sudah menutup pintu.

Bolehkah Jimin berharap kali ini saja, teriakan itu akan sangat berarti baginya? Membayangkan, bahwa Fabian-mungkin saja berteriak lalu berlari padanya untuk memeluknya seperti dulu? Mengatakan bahwa perempuan itu masih mencintai dirinya dan segala ceritanya dengan Yoongi itu hanya bualan belaka. Menceritakan apa saja yang baru saja ia lalui di hari ini seperti dulu kala sembari bersandar pada dadanya dan ia memeluk pinggangnya.

Lengannya merindukan tubuh Fabian untuk dipeluk. Hidungnya merindukan aroma tubuh Fabian yang tercium pinewood. Tubuhnya merindukan kehangatan dan kenyamana yang pernah Fabian ciptakan untuknya. Ia rindu. Jimin rindu akan semua hal yang ada di dalam diri Fabian.

Begitu matanya melihat beberapa kantong putih besar diserahkan padanya, ia tahu, bahwa harapannya itu hanyalah omong kosong belaka.

"Aku lupa memberikan ini. Kata Kak Yoongi, ini cemilan untuk yang lain. Katanya ini cemilan bulanan," Fabian menjelaskan apa isi kantong putih tersebut sebelum akhirnya diambil alih oleh Jimin. "Aku pamit beneran kali ini. Selamat malam!"

"Hati-hati di jalan," ucap Jimin mengingatkan.

Fabian menyalakan motornya lalu berdadah ria pada Jimin sebelum menarik gasnya, meninggalkan dorm milik teman-teman kekasihnya menuju studio kekasihnya. Serta meninggalkan Jimin yang masih bergeming di depan pintu.

"It still hurt, Bian. Apa kau tidak merasakan apa yang kurasa sekarang? Tak bisakah aku berharap kita kembali bersama seperti dulu lagi?" –Jimin.

"Kepada Jimin, kusampaikan bahwa kamu hanyalah masa lalu yang telah menyadarkanku akan arti cinta yang sebenarnya. Terimakasih telah menjadi pengalaman dan pelajaran yang tidak akan pernah kulupakan." –Fabian.

" –Fabian

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

-END-

a/n : ini udah dari lama belum di up up juga. Dan kebetulan ada ide buat memperbaiki kata-kata dan kalimatnya. Hehe. Enjoy ya!

Random ThoughtsWhere stories live. Discover now