37. Kehancuran

56 5 0
                                    

Jangan Lupa Tekan (⭐)

Waktu terus berdetak. Berjalan maju tanpa sekali pun ingin berhenti. Kehidupan tetap berlanjut apapun yang terjadi di sekeliling kita tetapi kehidupan tidak akan bertahan jika tak ada sebuah kekuatan. Kekuatan itu bisa berasal dari mana saja dari diri sendiri, keluarga, sahabat, maupun cinta.

Semahal-mahalnya perhiasan mungkin suatu saat kita bisa membelinya tapi untuk satu orang yang mencintai kita dengan tulus apakah kita sanggup membeli itu? Aku rasa tidak. Karena cinta bukan suatu hal yang bisa dibeli melainkan rasa yang muncul dari hati tanpa paksa tanpa bisa berbicara tetapi kekuatannya selalu bisa terasa.

Kalut. Kacau. Sedih. Takut. Itulah perasaan di keluarga Darpa saat ini. Kemungkinan terburuk yang harus mereka terima adalah kehilangan Davina. Dan mereka tahu itu sejak penyakit Davina terdeteksi dari awal. Ibunya pasti hancur saat ini. Ibu mana yang tidak hancur melihat putri kandungnya terbaring lemah dengan penyakit mematikan yang siap memisahkan mereka kapan pun.

Seseorang pria berpakaian lengkap ala rumah sakit dengan masker yang menutup mulutnya keluar dari ruang ICU. Disingkapnya maskernya itu ketika berbicara dengan Ayah Darpa. Pasti tidak mudah baginya menjalani pekerjaan ini. "Keadaannya sekarang sedang kritis. Kami sedang berusaha semaksimal mungkin." Kata Dokter yang menangani Davina.

"Apa tidak bisa di operasi dok?" Tanya ayah Davina.

"Maaf pak tapi kami sudah berdiskusi jika keadaanya tidak memungkinkan kami melakukan operasi saat ini. Seandainya Davina setuju melakukan operasi dari awal mungkin keadaanya akan sedikit berbeda." Tutur si dokter yang tidak ku ketahui namanya.

Ayah Davina terduduk tak percaya. Sedangkan istrinya masih saja menangis tersedu-sedu tiada henti sedari tadi. Darpa melangkah mundur. Darpa berlari entah kemana. Aku tidak mengikutinya. Aku bingung harus menenangkan siapa. Hatiku juga sangat takut dan khawatir akan kondisi Davina. Bagaimana bisa aku membantu menenangkan mereka jika aku sama khawatirnya.

Darrel berdecak kesal. Dihampirinya dokter yang menangani Davina. Dicengkramnya kerah baju dokter itu,  "Tugas dokter itu sembuhin pasiennya kenapa lo jadi dokter kalau lo gak bisa apa-apa di saat pasien lo sekarat." Teriak Darrel lantang tepat di hadapan dokter itu. Dokter tersebut hanya menjawab, "Saya akan berusaha semaksimal mungkin. Saat ini doa adalah hal terbesar yang dapat mengubah keadaan."

"Percuma doa kalau lo gak guna." Perkataan Darrel benar-benar menyakiti perasaan dokter itu. Untunglah si dokter masih bersikap profesional.

Aku dan Radha berusaha menarik Darrel dari dokternya Davina. Dokter tersebut langsung pergi entah kemana. "Bisa gak jangan cari masalah satu hari aja?" Geram sekali rasanya aku melihat tingkah Darrel.

Dasar sok berani si kucrit tikus.

Tangan Darrel mengepal. Wajahnya memerah menahan amarah pada dokter. Padahal dokter juga manusia. Benar ucapannya, saat ini doa adalah kekuatan terampuh untuk memberi kita keajaiban. Davina tidak membutuhkan perkelahian Darrel. Yang dibutuhkannya adalah doa dan pertolongan terbaik.

"Kiara." Suara Radha memanggilku yang berada di hadapin Darrel.

"Iya?" Aku berjalan mendekat ke arahnya.

Ku lihat tatapannya begitu sendu dan menyedihkan. Disaat seperti ini, maaf Radha aku tidak bisa menguatkan mu. Dulu saat kita di Santorini aku menggunakan pundakmu sebagai sandaranku padahal aku baik-baik saja. Tapi sekarang disaat kamu membutuhkan dukunganku aku bahkan tidak bisa untuk duduk di sampingmu. Apalagi memeluk mu dan menjadikan pundakku sebagai tumpuanmu. Sungguh, aku tidak mengerti mengapa mendadak sedih seperti ini.

'Radha kamu harus kuat. Maafkan aku yang tidak bisa berada di sisimu.' Batinku sangat sakit ketika aku tidak bisa menguatkannya.

Aku bingung menyebutnya siapa dalam hidupku. Tapi aku sungguh tidak mau melihatnya rapuh seperti ini. Sendiri tanpa ada yang menemani.

Semesta Untuk Kiara [COMPLETED]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang