17. Tak Ingin Percaya

763 72 26
                                    

_Author POV_

Setengah enam pagi, Venny dan keluarganya datang di kediaman Adam. Bendera kuning sebagai simbol duka cita telah terpasang di pagar rumah bernuansa Jawa tersebut. Para pelayat yang terdiri dari tetangga dan juga kerabat telah memenuhi halaman.

Venny seolah tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya kini, dia hanya memandang kosong keramaian itu. Namun kesedihan jelas begitu nyata tergambar di wajah ayunya, bahkan untuk berjalanpun dia harus dipapah oleh kakak iparnya.

Banyak mata memandangnya iba, tak sedikit pula yang berbisik tentang statusnya sebagai calon istri Adam. Dan kini dirinya harus ditinggalkan oleh calon suaminya yang telah berpulang ke hadapan Tuhan. Venny tak peduli akan pandangan orang, dia menguatkan diri untuk segera sampai pintu rumah berwarna coklat tersebut.

Tubuhnya hampir saja luruh jika tidak ditahan oleh Malik, saat dia menyaksikan Ibu Adam tersedu dalam pelukan suaminya. Kedua orangtua yang akan menjadi orangtuanya juga pada 18 Desember mendatang duduk di depan tubuh yang terbujur kaku.

Adnan yang berusaha tegar, menyambut kedatangan keluarga Venny dan memersilahkan mereka duduk di samping kedua orangtuanya. Lelaki itu kembali menangis saat memandang Venny, karena begitu mengingatkannya pada sosok Adam.

Ibu Venny memberikan pelukan pada ibu Adam yang terus menangis sambil meracau tentang anak sulungnya. Sedangkan ayah Adam berusaha tegar dengan mengusap punggung istrinya.

"Maafin Adam ya kalau pernah buat salah sama Venny. Ikhlasin Adam ya," tutur perempuan paruh baya itu, padahal dalam hatinya belum bisa mengikhlaskan kepergian anaknya.

Sesaat setelah pelukan itu Venny pun menangis menyadari jika apa yang ada di hadapannya itu adalah nyata. Adamnya telah pergi, calon suaminya telah meninggal dan kini dia kembali sendiri. Wanita itu mendekat pada tubuh Adam yang terbujur kaku ditemani oleh Vienna.

Dengan ragu, Venny menyentuh tangan Adam dibalik kain yang telah menutup tubuh tersebut. Rasa sakit menjalari dadanya hingga air mata itu semakin deras. Venny memberanikan diri melihat wajah Adam yang tertutup kain transparan, berharap mata itu terbuka.

"Adam... Aku nggak marah kamu mau pakai baju warna hitam. Tapi kamu bangun ya."

"Ssst... Ikhlasin Adam ya Ven," tegur Vienna pada adiknya dan diapun tak bisa menahan airmatanya.

Beberapa orang yang menyaksikan Venny larut dalam tangis kesedihan. Tangisan ibu Adam yang tadinya reda kini berderai menyadari impian putranya untuk menikah harus kandas.

"Kalau Adam meninggal, Venny gimana mbak?" Gadis itu mempertanyakan nasibnya di pelukan sang kakak.

Pertanyaan itu sontak membuat keluarga besarnya turut merasakan kesedihan. Bahkan Adnan yang sedari tadi menahan kesedihannya kini mulai menumpahkan tangisnya. Tak pernah terbayang dalam benaknya akan kehilangan saudara secepat ini.

Lelaki itu mendekat dan membuka penutup wajah Adam agar Venny bisa melihat untuk terakhir kalinya. Wanita itu malah menggeleng karena tidak dapat menerima kenyataan dan tangisannya pun semakin deras. Ferhat ikut mendekat dan memberikan kekuatan pada putri keduanya itu.

"Venny temenin ayah doain Adam ya," saran pria paruh baya itu seolah berbicara dengan seorang bocah.

Venny mendongak menatap wajah ayahnya, dia mengangguk sambil memejamkan mata. Di tengah doanya, wanita itu tergugu dalam tangisnya. Ferhat memberikan pelukan erat untuk menyalurkan kekuatan. Banyak orang berdatangan, silih berganti mengucapkan kalimat duka pada keluarga Adam.

Hingga tibalah waktunya jenazah Adam harus dikebumikan. Saat para pelayat mulai meninggalkan rumah duka, teriakan Venny dan ibu Adam ikut mengantar kepergian tersebut. Kemudian keduanya luruh karena tak bisa lagi menopang berat tubuhnya.

The Bitches Series 1 : First Love [END]Where stories live. Discover now