Korban Baru

2.7K 191 5
                                    

Siang hari, saat matahari sedang bersinar terik-teriknya, seorang warga mengadatangi rumah puang Juma. Lagi, orang itu meminta bantuan untuk memindahkan jenaza seorang warga yang ditemukan di kebunnya.

Segera saja kupanggil pak Timbo yang kebetulan berada di kebun belakang rumah.

"Rie tau mate." (Ada orang yang meninggal)

"Nai?" (Siapa?)

"Saya tidak tau. Tapi ada seorang warga yang mendatangi rumah puang Juma untuk meminta pertolongan tadi."

Setelah mendengarku, pak Timbo bergegas menuju rumah puang Juma.

"Nai mate?" (Siapa yang meninggal?)

"I Kadaso." (Kadoso)

"Apa mpakua i?" Tanya puang Timbo tergesa. (Kenapa bisa?)

"Nakua i Salama sumpae, nakanrei kapang parang ka loko-loko i kalenna." (Kata Salama tadi, mungkin dia dimakan parakang sebab badannya luka-luka)

Tak ada lagi perbincangan, aku dan pak Timbo naik ke mobil pick up puang Juma. Saat mobil sudah melaju meninggalkan halaman, aku memutuskan bertanya.

"Apa ini ulah makhluk semalam? Apakah makhluk semalam parakang?"

"Punna pangisenganku ia, nuttea sihanggi parakang" jawab pak Timbo dengan suara pelan, mungkin takut puang Juma mendengarnya. (Kalau menurut pengetahuanku, yang kamu lihat semalam itu Parakang)

"Kusaring, inni tanra nadahuang ki. Arai napapiteang kalenna ngkua labalasai rigette" katanya masih dengan berbisik (Kurasa, ini tanda darinya. Dia ingin memperlihatkan kepada kita bahwa dia akan melakukan pembalasan)

Dan benar saja, jasad yang tergolek di dalam rumah kebun kecil di tengah kebun beliau atau yang kerap dinamakan bola-bola oleh mereka itu benar-benar memprihatinkan.

Sebelum dikatupkan oleh warga, matanya ditemukan terbuka bagai orang kaget.

Pada kaki kirinya terdapat luka berlubang, mungkin terbentur pada paku yang ada di tiang rumah kayu itu. Sebab ukurannya yang kecil.

Untunglah perutnya dalam keadaan yang terbilang cukup baik dibanding jasad puang embang dulu.

Pada perutnya hanya terdapat luka lebam dan sedikit luka cabikan, sehingga tak memperlihatkan organ dalamnya. Hanya daerah dadanya yang cabikannya cukup besar.

Tangan kanannya lebam sedang tangan kirinya terdapat cakaran memanjang dari siku hingga ke pergelangan tangan. Memperlihatkan urat nadinya.

Kurasa puang Kadaso meninggal akibat kehabisan darah. Sebab darah kering disekiranya sangat banyak. Belum lagi darah yang menetes ke tanah karena rumah kayu itu hanya beralaskan bambu.

Sebenarnya aku ingin muntah melihat tangannya itu. Kedua tangannya terlihat amat sangat berbeda. Tangan kirinya hampir seukuran paha beliau.

***

Setelah tandu darurat yang terbuat dari bambu serta sarung sebagai tempat pembaringannya selesai dibuat warga, jasad puang Kadaso segera dibawah ke mobil untuk dipulangkan ke kediaman.

Dan hal yang tak kuinginkan terjadi lagi. Mobil puang Juma belum merapat di halaman rumah puang Salama, tapi suara tangis itu sudah terdengar.

Teriakan histeris itu kembali mengayung. Tapi kali ini ditambah dengan umpatan-umpatan kasar yang tak terima kematian beliau dikarenakan ulang bengis parakang.

"Parakang lamate. Anre atinna. Aranna ia mate." jerit mereka. (Parakang sialan. Tidak punya hati. Harusnya dia yang mati.)

Oke. Sekarang merindingku menjadi dua kali lipat. Mayat dengan luka-luka ditambah tangis histeris serta umpatan kasar adalah perpaduan yang pas untuk membuat reflels pilomotorku aktif.

Sekarang bulu kudukku tak lagi berdiri karena merasakan aura seram akibat ulah hantu dan parakang tapi karena teriakan ibu-ibu di hadapanku.

***

Menjalang magrib, Lani kembali dari kediaman almarhum puang Salama. Kebetulan, anaknya adalah teman sekelas Lani.

"Bagaimana keadaan mereka?" tanyaku saat Lani mendudukkan diri pada kursi di hadapanku.

"Tidak sehisteris tadi."

"Apa yang puang Salama lakukan di kebun semalam?" karena tadi tak sengaja mendengar seorang warga yang mengatakan bahwa beliau menginap di kebunnya.

"Akimmi i."

Aku mengangguk mengerti. Akammi
Atau menjaga babi agar tidak menganggu tanaman mereka. Biasanya itu dilakukan mereka saat musim jagung seperti sekarang.

"Sepertinya kita harus benar-benar berhati'hati sekarang. Kita sedang diincar dan sialnya, kita tidak tau siapa yang mengincar kita."

"Lalu apa yang harus kita lakukan?"

"Entah. Akan kutanyakan pada bapak nanti malam."

"Jadi kita akan mengadakan rapat?" kataku bercanda untuk menghilangkan raut resahnya. Sungguh, melihat wajahnya saat ini membuatku tidak tahan untuk melemparnya dengan bunga beserta vasnya. Muka yang terbiasa datar itu sangat tidak cocok dengan ekspresinya saat ini.

"Bodoh!" umpatnya, lalu ia berlalu meninggalkanku.

***

Seperti yang dikatakan Lani siang tadi. Malam ini kami berkumpul untuk membicarakan perihal parakang itu.

"Jarilani hoja-hoja na ja inni?" Lani memulai pembicaraan. (Apa kita akan terus melihat-lihat saja?)

Aku menyetujui, "akan semakin banyak korban jika kita tidak bertindak."

"Pasannang ngase i kalennu. Tala nikulle anripi-ripi lageo." (Kalian semua tenangkan diri. Kita tidak bisa bertindak gegabah.)

"Tania sallo asimata erang Parakang naerang," lanjutnya. (Takutnya bukan hanya ilmu parakang yang dibawahnya.)

Kami saling berpandangan, mengira-ngira maksud pak Timbo. Buk Muhaira lebih dulu memutuskan kontak mata.

"Apa nuare?" tanyanya. (Apa maksudmu?)

"Anre kusse'i. Mingka tania hawa parakang ji naerang. Rie hawa maraeng." (Aku tidak tahu. Tapi bukan hanya hawa parakang yang dibawanya. Ada hawa lain.)

Apa mungkin maksud Puang Timbo hawa lain itu semacam hal-hal gaib lain seperti doti misalnya.

Aku masih ingat, Lani pernah mengatakan hal itu saat kematian puang Hamma. Tentang dia yang menduga bahwa beliau meninggal karena didoti.

"Jagai mami kallennu. Punna sumpumi papisaringku, nampa nihoja nai injo parakang berua." (Kalian jaga diri saja. Kalau aku sudah benar-benar sehat, baru kita cari siapa parakang baru itu.)

Setelah dirasa perbincangan sudah cukup, Pak Timbo dan buk Muhaira masuk ke kamar, menyisakan aku dan Lani yang masih menjelajahi pikiran masing-masing.

"Menurutmu, apa masih akan ada korban lain?"

"Korban tidak akan berhenti sampai parakang itu dihentikan."

Jadi selama kami diam, akan ada banyak korban?



PARAKANGTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon