Propaganda rasa-3

231 24 1
                                    

Aku mencintaimu
Dan kamu harus demikian
Karena tidak ada waktu
Untuk aku dilukai

***

Dia mengamati seseorang di depannya dengan intens, menatap manik matanya yang sayu. Namun gadis setinggi seratus lima puluh senti itu belum menemukan sesuatu yang aneh dalam diri Atharik.

Bahkan cowok itu masih sama. Dari gaya rambut yang monoton, tidak pernah berubah dari kecil, perutnya yang sedikit buncit, giginya yang gripis, hidungnya, matanya. Mukanya pun dia rasa tak pernah berubah sejak kecil. Terlihat sama saja memang.

Namun, Atharik yang Aletta kenal tidak pernah banyak melarangnya. Dia lebih ke "terserah lo", atau mungkin "bodo amat". Berbeda di masa SMA ini. Dia menjadi lebih ketat dengan Aletta. Lebih-lebih ketika Arlen memutuskan untuk sekolah di Amerika.

Dia meminta gadis itu untuk belajar, melarang gadis itu berteman dengan cowok, mewajibkan Aletta untuk berangkat sekolah dan pulang sekolah bersamanya. Lama-lama seperti ini, gadis penggemar coklat itu merasa risih dengan perlakuan Atharik.

Dia merasa tak ada kebebasan lagi di dunia ini. Merasa seakan hidupnya terikat banyak peraturan. Dan Aletta tidak. suka dengan itu. Terlalu banyak diatur. Atau mungkin saja, Atharik sedang berlatih menjadi polisi lalu lintas? Mengatur ketertiban kendaraan? Please Atharik, dia manusia bukan benda mati yang bisa kamu atur letak posisinya.

"Letta maunya deket sama kak Caka."

"Gue kan udah bilang, jangan! Kek gak ada cowok lain aja. Caka itu gak baik buat lo!" tegasnya, mengubah duduknya di pagar rooftop menjadi berdiri di hadapan gadis itu.

"Kok Atha larang-larang sih? Letta pengen jadi pacarnya Kak Caka! Masalah di Atha?" Dia melipat tangannya di depan dada.

"Belajar yang serius, nanti Oma marah, jangan main pacar-pacaran. Gue bilangin sama Arlen lo kalau masih deketin Caka. Pokoknya nanti pulang bareng gue!" Kedua tangannya memegang bahu Aletta, dan mendapat tepisan kasar.

"Ish kalian sama aja. Bang Alen sama Atha gak boleh larang-larang. Kalian itu bukan sahabat Letta lagi. Coklat aja gak bagi-bagi. Gak ada sahabat yang pelit!" Kini kakinya melangkah ke arah tangga, meninggalkan cowok yang dirasa menyebalkan itu. Belum melanjutkan langkahnya untuk turun, dia membalikkan tubuhnya.

"Jangan main ke rumah Letta, jangan chat Letta, jangan temuin Letta!" Bagaimana, dia masih pantas menjadi anak kecil bukan? Bahkan tidak ada yang menunjukkan bahwa dia sudah menjadi seorang gadis remaja, mungkin karena terbiasa dimanja. Eh tidak, Aletta sudah mengenal "pacar" kali ini.

***

Ruang kelas sebelas Ipa satu sangat hening. Para siswa berkutat dengan soal ulangan bahasa Indonesia. Soal yang dibilang mudah, namun ternyata banyak kesulitan. Bagi Atharik, itu hanyalah angin lewat. Pasalnya kini dia telah menyelesaiakan soal berjumlah dua puluh soal itu.

Kini dia menyandarkan kepalanya di atas meja. Rasanya percuma, ketika dia sudah selesai namun bu Susi belum memberikan izin keluar sampai bel istirahat berbunyi. Sesekali dia melihat kursi di sampingnya. Menunggu Adit, yang izin ke toilet namun belum juga kembali. Sudah dia duga, mungkin Adit menghafalkan contekannya di kamar mandi.

Tak sampai lima menit, cowok berotak sedikit gesrek itu sudah kembali duduk di kursinya, pura-pura sibuk dengan soal yang belum rampung dia garap. Atharik hanya menggeleng heran melihat temannya yang pandai beraction itu.

"Lima belas menit lagi, Adit sayang."

"Diem lo Bambang!"

"Jangan panik Abang, makanya jangan lama-lama semedinya." Ucapan Atharik membuat dia teringat sesuatu.

Propaganda Rasa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang