Propaganda Rasa-24

75 8 0
                                    

Suatu hal entah baik ataupun buruk, terjadi atas kehendak Tuhan.
Dan setiap kehendak-Nya, terjadi karena memiliki sebab dan akibatnya.

****

Atharik memarkirkan mobilnya di halaman rumah Aletta. Ia bersama Ladisty terburu-buru melihat keadaan sahabatnya.

"Gimana keadaan Letta, Len." Atharik menghampiri Arlen yang tengah duduk di kasur Aletta.

"Dia panas banget Tha, gue binggung harus apa. BTW muka lo kenapa lebam-lebam?"

"Biasa urusan cowok. La, lo bujuk Aletta biar mau makan dulu gih!"

Ladisty menggoyangkan tubuh Aletta pelan, "Let, makan ya? Lo mau dibikinin apa?" Suara lembut gadis itu membangunkan Aletta.

"Letta mau susu cokelat satu gelas." Mendengar permintaan Aletta, membuat ketiga sahabatnya sedikit lega. Atharik lalu buru-buru ke dapur untuk membuatkannya susu. Sementara Arlen menunggu Aletta di sana, dan Ladisty mempersiapkan kompres untuk Aletta.

Sakit panas Aletta tidak kunjung menurun, hal itu tentu semakin membuat sahabat-sahabatnya cemas. Ditambah lagi Aletta yang kekeh untuk tidak dibawa ke rumah sakit. Susu yang dibuatkan Atharik pun dibiarkan dingin lantaran Aletta tidak segera meminumnya.

“Guys,  tubuh Letta menggigil"!paniknya selepas meletakkan kompres di dahi Aletta.

"Ha? Serius? "

"Let, bangun ih, jangan gini!" cemas Atharik.

"Len, siapin mobil, kita bawa letta ke rumah sakit." Atharik mulai membopong tubuh Aletta. Disusul Ladisty yang membawakan bantal untuk sahabatnya. Digendongannya, Aletta tidak tersadarkan diri. Sebuah cairan merah pun keluar dari lubang hidungnya.

"La, mending lo aja yang nyetir," pinta Atharik karena ia berpikir bahwa kondisi dia dan sepupunya sedan berada dalam kecemasan yang sangat tinggi.

"Oke,"

Kepala Aletta dibaringkan di pangkuan Atharik, sementara Arlen duduk di bawah kaki Aletta. Kedua cowok itu saling memalingkan mukanya ke arah luar. Tidak bisa mereka bayangkan jika gadisnya mengalami hal seperti dulu, harus menjalani hari beratnya dengan penyakit kangker darah. Sudah sekitar satu tahub belakanan ini, Aletta sudah tidak melakukan kemoterapi, lantaran sel kangkernya sudah hilang. Selain itu, Aletta yang pada saat itu merasa lelah jika harus terus melakukan pengobatan teratur, ia meminta untuk berhenti melakukan terapi. Dengan ancaman khas dari gadis itu,   membuat Oma Sukma dan sahabat-sahabat terdekatnya menuruti kemauannya.

Mereka takut apabila sesuatu hal buruk terjadi pada gadisnya. Cukup kali itu saja, mereka menyaksikan gadisnya memperjuangkan hidup dan matinya di ruang ICU. Cukup kali itu saja, kedua sahabatnya merasa terpuruk dengan keadaan Aletta, hingga merasa kehilangan arah. Mereka takut dan tidak ingin hal itu terjadi untuk yang ke dua kalinya. Mana  ada yang tega ketika melihat sahabat yang sejak kecil bersamanya, sahabat yang selalu mereka jaga, tersakiti?

"Gue gagal buat ngejagain Aletta!" ucap Atharik memecahkan keheningan.

Hmmm, jujur gue kecewa sama lo, karena nurutin kemauan Aletta agar nggak Kemoterapi lagi. Arlen menatap Atharik dengan wajah penuh kekecewaan.

"Terus lo ngerasa bener gitu, dengan ninggalin kita ke Amerika?"

“Stop!!! Nggak ada yang salah di sini, semua terjadi karena takdir. Harusnya kalian berdoa buat kebaikan Aletta, bukan saling menuntut kesalahan!" Ladisty yang tengah fokus menyetir itu melerai perdebatan diantara keduanya. Hal itu membuat kedua cowok itu terdiam.

"Kalian nggak ngabarin ke Oma?"

"Nanti dulu, kita harus mastiin keadaan Letta baik-baik aja."

****

"Dok, gimana keadaan Aletta dok? Seorang dokter keluar dari ruang UGD."

“Sahabat saya nggak kenapa-napa kan dok?"

"Ada keluarga pasien, tolong untuk segera ke ruangan saya."

"Saya kakaknya dok," alibi Atharik yang sangat penasaran dengan kondisi Aletta.

"Dok, dia pasti baik-baik saja kan, dok?"

"Mari ikut saya ke ruangan!"

Seperti pukulan yang teramat menghantam ketika Atharik tahu bahwa sahabatnya mengalami kritis, untuk ke dua kalinya. Begitu juga dengan Arlen dan Ladisty. Kini Aletta dipindahkan ke ruang ICU, dan dengan keberanian yang amat kecil, Atharik memberikan kabar kepada Oma Sukma.

Tangan kanan Atharik memijat pelipis, sungguh dia merasa kehilangan hidupnya. Memikirkan sahabatnya yang tengah memperjuangkan hidup dan matinya di dalam ruangan itu. Sementara Arlen menyender di pintu ICU, rasanya ia ingin menerobos pintu itu, dan menggantikan posisi Aletta yang sedang terbaring  dengan berbagai alat medis.

Tiba-tiba saja, Ladisty berlutut memohon di hadapan Atharik yang tengah duduk di kursi tunggu itu, "tolong maafin gue Tha, gue penyebab semua ini. Apa yang bisa gue lakuin buat nebus semua kesalahan gue?" Atharik yang masih frustasi itu hanya bisa terdiam, mengabaikan apa yang Ladisty lakukan di depannya. Pikirannya sanat kacau kali ini.

"La, ayo diri." Arlen yang paham betul akan sepupunya itu, menghampiri Ladisty dan memegang pundaknya dari belakang, menuntunnya untuk berdiri.

"Seperti apa yang lo bilang, ini takdir! Kita doakan apa yang terbaik!" ucapnya mengulangi apa yang pernah diucapkan Ladisty.

"Tapi Len," Gadis itu tak henti-hentinya menangis.

"La, lo di sini dulu ya! Gue cari makan dulu sama Arlen."

"Oke, Rik."

Atharik dan Arlen lalu beranjak meninggalkan gadis itu. Sebenarnya Atharik ingin membicarakan sesuatu dengan sepupunya. Tentunya, hal itu berkaitan dengan Aletta, sahabatnya.

Sesampainya di kantin rumah sakit, mereka memesan makanan dan duduk di salah satu meja makan. "Rik, Oma udah on the way kan?"

"Udah, gue nggak tahu apa yang mesti gue omongin pas ditanya Oma nanti, Len." Sesaat kemudian pesanan mereka datang.

"Hmmmmmm," Arlen bernapas panjang, "Nanti kita pikir bareng-bareng ya," ucapnya dilanjut menyantap nasi Rames.

"Iya Len. BTW, mengenai Propaganda itu, dan mengenai persaingan kita. Lo lupain dulu aja ya, kita harus kasih yang terbaik buat Aletta,"

"Iya, gue ngerti. Kita harus kerja sama buat ngejagain Aletta."

"Siap bosku!"

**** 
Plak,

Plak,

"Benar-benar tidak ada yang bisa diandalkan!" Kedua cowok yang memperoleh tamparan itu hanya tertunduk diam. Mereka menyadari bahwa mereka memang tidak bisa merawat sahabatnya itu dengan baik. Kalau saja malam itu mereka datang untuk menemani Aletta, mungkin tidak akan seperti ini jadinya.

Siapa yang tega ketika melihat cucu semata wayangnya terbaring koma? Oma Sukma menangis sejadi-jadinya. Ia memang tidak seharusnya menyalahkan sahabat-sahabat kecil Aletta itu, ia merasa gagal, ia tidak bisa menjaga cucunya dengan baik.

"Oma, maafkan Arlen sama Atharik. Kami memang tidak becus menjaga Aletta." ucap Arlen mewakili teman-temannya.

"Kalian kenapa tidak sekolah?"

"Letta sakit, oma. Mana mungkin kita tega ninggalin dia?" Atharik melakukan pembelaan, lagipula hari ini adalah hari jumat, hari pendek. Tentu mereka lebih memilih menemani Aletta dari pada harus mengikuti pembelajaran. Sedangkan Ladisty, mereka sudah meminta gadis itu untuk tetap ke sekolah. Tentunya, dengan paksaan Atharik.

"Dengan kalian jaga Aletta di sini, apa bisa menjamin ia sembuh?" Kedua cowok itu kembali tertunduk.

"Di sini sudah ada Oma, lagi pula Aletta aman di tangan dokter. Kalian jangan sampai bolos sekolah lagi!" tegas oma Sukma menasehati kedua cowok yang sudah ia anggap seperti cucu sendiri.

"Maaf Oma,"

"Baik, Oma."

Sejak saat itu, mereka memutuskan untuk bergiliran menjaga Aletta saat libur ataupun malam hari. Sesekali mereka membolos dengan berbagai alasan, demi menemani sahabatnya menjalani masa-masa kritisnya.
****

Propaganda Rasa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang